Rabu, September 04, 2013

Menulis Politik




Menulis politik bukan keahlianku. Sepanjang sejarah ngeblog, baru tiga kali aku membuat postingan yang berbau politik: Wajah ItuDemokrasi, dan Jadikan Selubung Kerandaku.

Bukannya tak pernah mencoba untuk menulis tentang politik yang lain.

Tajuk dari koran lokal lima tahun silam yang bunyinya "Amin Rais Tunggu Petunjuk Langit" mengilhamiku untuk membuat tulisan Petunjuk Langit (13/01/2008).
Judul halaman yang tertera pada sepotong koran lokal Senin yang lalu:
Amin Rais Tunggu Petunjuk Langit.
Menarik perhatianku, karena kulanjutkan dengan membaca isi. Ternyata tentang Amin Rais yang belum memutuskan akan ikut mencalonkan diri menjadi Presiden tahun depan atau tidak.
"Sedang menunggu petunjuk dari langit," katanya.
Tapi ada embel-embel lagi.
"Biaya ikut pemilihan presiden banyak. Kalau cuma 100 milyar mana cukup." Kira-kira begitu bunyinya, karena korannya bekas pembungkus kacang rebus.
 Selanjutnya....buntu.

Ada lagi yang judulnya 2000 Pengacara (25/11/2008) yang terinspirasi dari nawaitu Khofifah Indar Parawansa mengerahkan 2000 pengacara ke MK untuk menggugat hasil pemilukada Jawa Timur. Sumber aslinya koran lokal yang sama, tapi aku lupa tanggal dan judul aslinya.
Mudah-mudahan Khofifah tidak jadi menyiapkan 2000 pengacara untuk mengurus gugatan pilkada Jatim 2008
Buntu juga.

Apakah karena idenya kurang inspiratif sehingga membuatku tak sanggup menelurkan gagasan yang mungkin bisa jadi rujukan (ceileeee!) sejarah demokrasi Indonesia bagi generasi yang akan datang?

Ide awal untuk tulisan pertama cukup cemerlang (tentu saja menurut ku).

Inilah sinopsis tulisan pertama:

....akhirnya mendengar suara dari langit yang menyatakan bahwa beliau terpilih sebagai pemimpin Nuswalantara. Sang Satria Pamungkas, Ratu Adil.
Dengan wajah bercahaya dengan aura halo seperti pada lukisan tentang orang-orang suci, beliau mulai mengumpulkan para peniagikut dan berjalan dari satu wilayah pemilihan ke wilayah pemilihan lainnya. Mengunjungi kantong-kantong suara, menyebarkan pencerahan sesuai wangsit yang didapatnya setelah melakukan puasa mutih sehingga menguasai ajian lampah lumpuh (ini sih, terpengaruh drama radio Saur Sepuh). Seluruh penghuni ceruk lembah dan punggung bukit yang dikunjungi terpesona dan manggut-manggut mengamini isi pidato Sang Juru Selamat Bangsa. Sorak sorai, tepuk tangan, bahkan letusan petasan membahana di setiap kota mengelu-elukan kedatangan Bapak Referensi Bangsa. (ingat....ini parodi, bukan salah ketik). Jangan cuma seratus milyar, seratus zillion juga dengan mudah dikumpulkan untuk mengantarkan Pemangku Wahyu agar menjadi penumpang kereta kencana yang bertuliskan Nuswalantara Satu. 
Demokrasi....oh, indahnya!
Akhirnya tiba hari pemilihan pemimpin bangsa. Kokok ayam pertama disambut dengan sukacita oleh seluruh anak bangsa yang telah akil balig bukan anak-anak, merdeka bukan budak, waras bukan gila. Mereka berduyun-duyun  mendatangi tempat pemungutan suara berdesak-desakan hendak memberikan suaranya, layaknya masyarakat yang berebut lembaran duit yang dilempar seorang motivator dari pesawat terbang dalam rangka promosi buku terbarunya (ini tentu saja seperti deja-vu, karena draft tulisan ini dibuat empat bulan sebelum insiden bagi-bagi duit dari pesawat).
Dan sebagai klimaks, (atau antiklimaks, tergantung mood hati ku pada saat membuat ending):
1) Penerima Wangsit kalah total, dan memutuskan untuk mundur dari dunia persilatan politik. Tapi ternyata dalam perjalanan waktu, mendapat wangsit untuk ikut lagi pada pemilihan periode berikutnya.
vox populi non est vox dei sed vox turbae vagae 
2) Tentu saja menang! Tapi gagal dilantik karena terjadi gugat-menggugat. Nuswalantara terus menerus diguncang intrik, konspirasi, kontra-konspirasi, isu, kontra-isu, polemik, ciamik lah, pokoknya.
vox populi, vox dei (?)  
Sedangkan yang kedua, lebih kepada rasa takjubku bahwa untuk menggugat hasil pemilukada diperlukan 2000 orang pengacara. Membayangkan bahwa dalam ruang sidang akan ada 2000  pengacara membacakan argumen sudah membuatku puyeng. Apalagi bagi Majelis Hakim MK yang terhormat! (tentu saja ini khayalan seorang pandir....)

Tapi yang paling membuatku tak habis pikir, sejak kapan 2000 (baca: dua ribu) pengacara lebih hebat dari 1, 3, 5 atau 7 pengacara? Memangnya keputusan Mahkamah Konstitusi diputuskan berdasarkan jumlah pengacara?

Nyerah, deh. Politik memang bukan santapan ku.

Tidak ada komentar: