Pengantar singkat:
Menterjemahkan karya orang lain seperti Sycamore Row menarik. Sebuah kesenangan membunuh waktu. Menarik, tapi hanya memberi kepuasan bathin.
Lebih menantang lagi jika bisa menelurkan karya sendiri. Sebuah cita-cita yang terkubur lama, sejak masa SMA. Bukan berarti akan berhenti menerjemahkan fiksi luar. Tapi saat ini ide lama yang mencuat lagi seakan menolak padam, memohon agar dilahirkan.
Karena itu, aku menulis kisah fiksi ini. Sebuah kisah yang idenya lahir hampir 30 tahun yang lalu. Saat itu gaya penulisanku masih bergaya remaja, di bawah pengaruh Hilman Hariwijaya dan Arswendo Atmowiloto.Tulisan yang tak pernah dipublikasikan karena belum ada internet dan media sosial dan blog. Tulisan-tulisan yang diketik dengan aplikasi Wordstar dan disimpan dalam disket 3.5" yang raib entah kemana. Idenya tetap hidup di bawah alam sadarku.
Bunian Metropolitan adalah sebuah novel tentang dua dunia, salah satunya dunia gaib. Tentang anak hasil kawin silang manusia dengan orang bunian, sebutan untuk makhluk halus dalam legenda Melayu. Bukan bertujuan menghidupkan tahayul, tapi semata-mata mengembangkan ide sederhana.
Aku mengharapkan masukan dan kritik membangun dari para pembaca pertama (alpha readers) cerita ini. Apapun saran kalian, akan aku pertimbangkan. Terima kasih.
1
“Kau yakin ini legal?” gumam pria kulit putih yang bertubuh atletis, rambut lurus acak-acakan berwarna coklat gelap, usia sekitar 40 tahun, tinggi 188 cm, dengan bahasa Indonesia yang kaku tanpa mengangkat muka dari lembar kertas yang dipegang dengan kedua tangannya yang gemetar. Bukan disebabkan udara malam perkebunan yang dingin dan bertambah dingin dengan turunnya hujan sehingga dinginna sampai ke sumsum tulang. Wajahnya yang tampan dengan dagu tirus dan hidung yang mancung, khas Eropa Latin, diterangi hanya satu-satunya bohlam lampu 60 watt yang lebih banyak memberikan bayangan daripada cahaya dalam kamar berukuran 4 x 6 meter itu, menunjukkan keraguan.
“Seratus persen asli,” jawab pria di depannya, seorang lelaki dengan tinggi 165 cm, berbadan tambun, mungkin sekitar 90 kg. Kulitnya agak gelap dan hidungnya yang besar, patut diduga dalam tubuhnya mengalir campuran darah suku Tamil dari India. Tapi mungkin juga sepenuhnya suku Melayu asli.
“
Something wrong, caro mio?” tanya seorang perempuan muda bertubuh mungil, sekitar 28 tahun, wajahnya cukup cantik, layak berada di sampul depan majalah. Inggris dan Itali campur aduk dalam logat Sunda. Ia menggendong
sesuatu, tepatnya
seorang bayi mungil merah, yang tertidur tanpa suara. Bayi laki-laki yang tampan, kulit putih dengan rambut hitam yang tipis. Dari cara menggendongnya, terlihat sikap yang melindungi dan kasih sayang memancar dari mata wanita itu.
Pria kulit putih itu tak menjawab atau mengangkat wajahnya dan tetap menatap lembar kertas berukuran folio di tangannya. Pikirannya melayang ke masa tiga tahun silam.
*
Luigi Cavallaro sedang memeriksa laporan pembukuan perusahaan di ruangan kantornya yang sempit namun dengan pemandangan seluas-luasnya ke arah Vieux Port, pelabuhan Marseilles yang hiruk pikuk dengan teriakan para pelaut dan nelayan dalam berbagai bahasa yang masih aktif di muka bumi, celoteh camar-camar yang memekik di atas permukaan air laut yang tenang bergelombang menggempur tepi pantai dengan alunan tetap. Tiang-tiang layar perahu nelayan dan gerombolan kapal pesiar berbagai ukuran milik para petualang, penyelundup, mafioso atau pejudi yang baru datang dari Monte Carlo menutup permukaan laut seperti mobil bekas yang diparkir di halaman showroom Autorama di Rue Pierre. Agak di tengah laut tampak beberapa kapal barang besar dan tanker raksasa yang datang dari seluruh penjuru dunia melintasi tujuh samudra, berhenti di Marseilles untuk bongkar muat atau mengisi bahan bakar dan suplai. Sebuah kapal pesiar besar, Awani Dream, sedang melabuh di tengah laut. Luigi pernah ikut pelayarannya sebagai juru masak saat nama baptis kapal tersebut World Renaissance. Masa lalu, pikirnya.
Dan tiba-tiba dadanya sesak. Seakan-akan udara disedot habis dari paru-parunya dan jantungnya diremas-remas oleh tangan perkasa yang tak terlihat.
Mario! Sesuatu telah terjadi terhadap Mario! teriaknya tanpa suara.
Dan mendadak pintu ruang kerjanya terbuka. Nadia Konte, sekretarisnya menyerbu masuk dan berbisik, “Sambungan internasional dari Jakarta, Indonesia.”
“Anda baik-baik saja?” tanya Nadia dengan suara cemas sambil memegang tangan kirinya, membimbing bos-nya yang tampak pucat dan terengah-engah memegang dadanya, duduk di sofa pendek dekat pintu. Ia mengisi gelas dengan air dari dispenser yang terletak di dinding pojok dan bergegas menyodorkannya pada Luigi, yang meneguknya dengan rakus. Dalam hitungan detik darah kembali mengalir di wajahnya dan napasnya kembali normal.
“Sambungkan ke mejaku,” perintahnya kepada Nadia dan bangkit berjalan ke meja kerjanya. Meja ukuran setengah kabinet yang dijual bongkar-pasang produksi masal sebuah pabrik di Malaysia atau Vietnam, mungkin. Nadia keluar dan tak lupa menutup pintu. Lampu di telponnya berkedip menandakan Nadia telah meneruskan panggilan dari Jakarta, Indonesia itu. Tangannya kanannya mengangkat telepon dan tangan kiri memutar-mutar bola dunia berukuran sedang yang terletak di samping telepon.
“Luigi Cavallaro di disini,” katanya dalam bahasa Inggris dengan aksen Itali yang kental sambil mencari-cari posisi Indonesia di permukaan bola dunia.
Berikutnya kalimat yang diucapkan oleh seorang laki-laki dari belahan dunia lain yang terdengar gemerisik membuatnya terpana, tak mampu berkata-kata. Ia hanya mendengar, membisu, tegak mematung dan matanya beralih ke potret pudar berukuran 8x10 inci dalam pigura dari tembaga polos di depan mejanya. Ia berdiri tegak di kiri Mario dalam jas setelan sewaan saat kelulusan mereka dari sekolah menengah atas sembilan belas tahun yang lalu di studio foto kecil Massimiliano di Scicli. Tidak ada manusia yang bisa membedakan mana Luigi dan mana Mario, kecuali ibu mereka, Magdalena Puglisi Cavallaro. Bahkan ayah mereka
tidak. Mereka kembar identik, sama-sama menyukai petualangan, tapi petualangan yang berbeda. Ia menyukai samudra luas, Mario menyukai gunung dan hutan rimba.
Akhirnya, setelah berhasil menyatukan kembali pikirannya ke masa kini, ia menggumam “
Si…si…ya…. Saya akan mengambil penerbangan pertama ke sana.
Grazie, merci…terimakasih.”
Luigi melangkah menekan tombol untuk memanggil Nadia.
“Pesankan tiket penerbangan pertama apa saja yang menuju Medan, Indonesia.
Pronto.” ujarnya begitu wajah hitam manis sekretarisnya itu muncul di ambang pintu.
“Pulang pergi?” tanya Nadia.
“Sekali jalan.”
Lima jam kemudian ia sudah berada di atas pesawat Boeing 747-400 KLM dalam penerbangan menuju Singapura yang membosankan selama delapan jam ke depan. Luigi bukan penggemar perjalanan udara. Bahkan membencinya. Badai samudra seganas apapun tak membuatnya takut. Pernah selama tiga hari tiga malam kapalnya, sebuah kapal barang berbendera Panama terombang-ambing dalam badai Laut Utara yang bengis dengan gelombangnya yang sebesar rumah. Toh ia tak merasakan takut, bahkan merasa bergairah, seakan endorfin, bukannya adrenalin, yang mengalir deras dalam darahnya. Sementara sebagian besar anak buah kapal sudah kehabisan tenaga dan isi perut, ia tetap tersenyum dan bersiul dengan gembira menyiapkan makanan untuk semua orang. Tentu saja makanan itu akan terbuang segera, entah karena para awak kapal sudah tak mampu lagi membuka mulut atau karena dimuntahkan lagi ke laut beberapa saat setelah ditelan. Ingatan tentang kecintaannya pada lautan membawanya kembali pada percakapan di telpon tadi dengan laki-laki yang bernama Pyrmant—atau mungkin Freeman, ia tak yakin—yang mengaku dari agen perjalanan yang digunakan Mario.
“Tuan Luigi, dengan sangat menyesal kami mengabarkan berita duka tentang saudara Anda. Dari perwakilan kami di Medan, kami mendapat kabar bahwa tuan Mario Cavallaro telah hilang sejak dua minggu yang lalu, hanyut di sungai Alas, di pedalaman hutan Leuser. Tim pencari dan penyelamat telah mencarinya selama dua minggu tanpa henti, menyusuri sungai dari titik ia jatuh hingga di kedalaman sungai di hilir, dan kini tim telah kembali tanpa hasil. Diasumsikan tuan Mario tewas tenggelam dan mungkin menjadi mangsa buaya atau hewan buas lainnya.” Jeda sejenak. Luigi ingat bahwa saat itu ia hanya terbayang saat terakhir mereka bersama, 19 tahun yang lalu, di Scicli, Pulau Sicilia, Italia, sebelum akhir berpisah mengikuti takdir mereka.
“Jika Anda ingin datang untuk mengurus surat-surat dan barang-barang tuan Mario yang tertinggal, kami akan membantu pengurusan visa Anda segera. Anda tinggal mengabarkan kedatangan Anda dan orang kami akan menjemput dan mengurus Anda di bandara. Sekali lagi, belasungkawa yang sedalam-dalamnya buat Anda dan keluarga Anda atas kehilangan ini, dari saya dan juga mewakili perusahaan.”
Luigi merasa gamang. Rasanya tidak benar. Mario tak mungkin pergi, tak mungkin mati begitu saja. Memang tadi, di ruang kantornya, ia merasakan getaran batin menandakan Luigi dalam bahaya, tapi belum berarti mati. Mario telah menghilang selama dua minggu, tapi ia baru merasakan kontak batin hanya beberapa menit yang lalu. Apakah sebenarnya ia masih hidup tapi bingung dan
tersesat dan berjalan menjauhi sungai sehingga gagal ditemukan oleh tim penyelamat? Apakah tim penyelamat
terlalu cepat menyerah?
Begitu banyak pertanyaan belum terjawab. Dengan sejumlah pertanyaan berputar-putar di benaknya, ia tertidur setelah dibantu segelas cognac yang dipesannya dari pramugari. Tidur yang diganggu oleh mimpi buruk. Ia sedang berdiri di tengah hutan hujan tropis yang lebat. Suara-suara binatang yang tidak bisa diidentifikasinya membentuk simfoni yang mirip musik latar film horor yang pernah ditontonnya sewaktu umur enam tahun dan selama seminggu membuatnya mengigau dan terbangun di tengah malam. Ia lupa film nya tentang apa. Tapi Mario justru berbisik ke telinganya tepat setelah film berakhir dan lampu bioskop menyala: “Aku akan menjelajahi hutan rimba di seluruh dunia.”
Dalam mimpinya, ia melihat Mario melayang setinggi 2 meter dari tanah basah di depannya dengan posisi horisontal, bajunya compang-camping, sobek di-sana-sini, tanpa sepatu. Darah menetes dari kepala dan sela-sela jari tangan dan betis Mario. Wajahnya nyaris tak terluka kecuali beberapa goresan dangkal. Matanya terpejam rapat. Luigi melihat bahwa dadanya naik-turun dengan lemah.
Tiba-tiba mata Mario terbuka. Ia menoleh ke arah Luigi dan sambil menyeringai berkata: “Hutan yang indah,
kan?”
Luigi tersentak bangun. Sekujur tubuhnya basah kuyup oleh keringat, meskipun suhu dalam pesawat cukup sejuk oleh pendingin udara. Ia memandang keluar jendela. Langit gelap tanpa bintang. Ia melirik jam tangannya. Ia baru tertidur sepuluh menit.
**
Dari Singapura ia berganti pesawat melanjutkan penerbangan ke Jakarta yang ditempuh dalam waktu sekitar dua jam. Begitu mendarat di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Luigi disergap kebingungan dengan suasana bandara yang semrawut. Ia mendengar kata-kata yang keluar dari pengeras suara yang dalam bahasa yang bisa dipastikan bahasa Indonesia diikuti bahasa Inggris tapi tak begitu jelas karena suasana bising di ruang kedatangan. Dalam kebingungannya ia mendengar namanya disebut melalui pengeras suara: “Tuan Luigi Cavallaro ditunggu di ruang imigrasi oleh tuan Firman.” Ia membaca petunjuk arah dan ketika sedang berjalan menuju ruang imigrasi, ketika seorang laki-laki tinggi 180 cm, usianya tidak bisa ditebak karena rambutnya yang dipotong ala militer berwarna putih seluruhnya—bukan warna alami—tapi antara 35 sampai dengan 50 tahun, berkacamata hitam, berkumis tipis, kaus polo tanpa merk dan celana jins ketat setengah pudar, memakai topi loreng tentara tanpa tulisan atau tanda apapun, menyentuh pundaknya dan menyapa: “Tuan Luigi Cavallaro?”
“Ya, saya sendiri.” jawabnya bingung.
Lelaki itu mengulurkan tangannya. “Firman. Selamat datang di Indonesia. Sekali lagi saya mengucapkan dukacita yang sedalam-dalamnya atas hilangnya saudara Anda.”
Luigi secara otomatis menjabat tangannya
“Biar nona Wulan yang membantu mengurus bagasi dan surat-surat Anda,” sambungnya lagi sambil menarik paspor dari tangan Luigi dan menawarkan untuk membawakan tas tangannya. Luigi baru menyadari kehadiran seorang wanita muda di belakangnya yang dengan sigap menerima paspornya dari Firman dan berjalan menuju salah satu bilik imigrasi tanpa memperkenalkan dirinya ke Luigi.
“Tidak ada bagasi.” setengah berteriak ia berkata ke arah nona yang berjalan cepat itu dan kemudian terdiam malu sendiri. Ia berangkat dengan terburu-buru langsung dari kantornya ke bandara Provence, Marsailles, hanya membawa paspor yang selalu terletak di laci meja kantornya dan peralatan pria yang umum dibawa dalam perjalanan bisnis. Tak lebih.
Seakan waktu berkelebat tanpa disadarinya saat mereka keluar dari Terminal Internasional dan menumpang bis shuttle bandara yang kosong, hanya mereka bertiga dan supir, menuju Terminal Keberangkatan Dalam Negeri.
“Saya belum membeli tiket dari sini ke Medan,” ia menjelaskan kepada Firman yang bergegas dalam diam, diikuti nona Wulan—Wulandari Goeritna—nama yang diketahuinya dalam perkenalan buru-buru setelah urusan dengan imigrasi beres.
“Itu sudah kami urus. Kita akan berangkat dalam waktu setengah jam. Penerbangan ke Medan akan memakan waktu sekitar 2 jam. Nona Wulan akan bertindak sebagai penerjemah dan guide Anda dan mengurus semua hal yang Anda perlukan.”
Mereka bergegas menyusuri lorong yang ternyata menuju landasan pesawat. Udara sore itu cukup terik. Sebuah pesawat jet pribadi Gulfstream IV bercat putih dengan garis biru tanpa logo menanti mereka dengan tangga terbuka. Seorang pramugari berkulit kuning dengan seragam batik warna merah tersenyum dipintu masuk dan mengucapkan selamat datang, kemudian mengantarkan para penumpangnya ke tempat duduk di dalam. Interior pesawat terlihat mewah dan megah. Kapasitas penumpang yang aslinya untuk empat belas penumpang ternyata hanya mempunyai enam tempat duduk yang lebar dan dapat diputar dan diturunkan horisontal menjadi ranjang yang nyaman. Setiap tempat duduk terdapat televisi kecil 5 inci di dekat dudukan tangan Di sudut belakang dekat kabin pramugari dan dapur pesawat terletak sofa mewah cukup untuk tiga orang berbentuk L dan meja kecil lengkap dengan bantal duduk dari bulu angsa.
“Saya serahkan Anda kepada nona Wulan.” Kata Firman menunjuk kamar kecil di mana Wulan berada, mungkin membedaki hidungnya, dan sekali lagi menyalami Luigi.
“Anda tidak ikut?”
“Tidak. Urusan saya di Jakarta. Tapi jika ada hal-hal yang tidak bisa diselesaikan nona Wulan, yang saya ragukan, Anda boleh menghubungi saya. Nomor telpon kantor dan telepon satelit saya ada di sini.” Firman mengulurkan kartu namanya yang diterima Luigi dengan takjub. Telepon satelit! Dan Luigi lebih takjub lagi ketika membaca kartu nama yang dicetak dengan huruf timbul keemasan itu terdapat tulisan mobile phone yang diikuti deretan angka lagi selain nama (Firman), jabatan (
Liaison),
office dan
sat. phone. Tidak ada nama perusahaan kecuali logo bergambar sejenis pohon palem yang dibelit dua naga. Bukan naga seperti yang biasa dalam buku-buku dongeng, lebih mirip ular bertanduk dengan empat kaki seperti
ceker ayam.
Bahkan, di Eropa hanya orang yang benar-benar kaya atau selebriti yang mampu memakai telepon selular atau satelit.
Ketika ia menoleh Firman sudah lenyap dan Wulan muncul dan duduk di sampingnya.
Pramugari datang menawarkan minuman dan makanan kecil. Luigi memesan martini dan kentang goreng. Wulan hanya lemon tea. Pesanan datang dalam lima menit bersamaan dengan suara pilot yang terdengar jelas di pengeras suara. “Selamat sore, tuan Luigi Cavallaro dan nona Wulandari Goeritna. Kapten pilot Tonya Flicker bersama kopilot Warren Dahl mengucapkan selamat datang. Dalam waktu lima menit lagi kita akan terbang di ketinggian maksimum empat puluh ribu kaki dengan tujuan bandara Polonia, Medan yang akan ditempuh dalam waktu dua jam. Selamat menikmati.” Logatnya menunjukkan pilot berasal dari Australia . Luigi kembali tertegun. Pilot wanita. Menakjubkan.
Beberapa saat setelah pesawat lepas landas dan lampu tanda sabuk pengaman padam, Luigi menoleh ke samping.
“Siapa yang akan membayar semua ini?” tanyanya kepada Wulan.
Wulan memandangnya dengan bingung, tapi menjawab dengan bahasa Inggris yang sempurna nyaris tanpa aksen, “Menurut tuan Firman semua ditanggung perusahaan.”
“Apa nama perusahaan tempat tuan Firman bekerja? Dan sudah berapa lama Anda bekerja untuknya?”
“Apakah nama perusahaan tidak ada di kartu namanya?” Wulan mengerutkan kening tapi tetap menjawab dengan sopan, lebih karena ingin tahu.
“Tidak.” Jawabnya sambil berdiri membungkuk dan menyodorkan kartu nama yang masih dipegangnya ke seberang lorong tempat kursi Wulan berada.
Wulan mengamati kartu nama itu cukup lama.
“Dua hari yang lalu saya mendapat telpon dari tuan Firman yang mewakili perusahaan bernama Bunyan Worlwide Agency, meminta saya untuk datang wawancara ke Hotel Hoffman. “
Wulan kemudian bercerita bahwa ia berasal dan tinggal di Bandung, lulusan sebuah akademi pariwisata di kota itu empat tahun yang lalu. Meskipun ia merasa belum pernah mengirimkan lamaran ke perusahaan tersebut, tapi rasa penasaran ditambah sudah hampir tiga bulan ia menganggur setelah kontrak kerjanya di sebuah hotel bintang satu berakhir dan tidak diperpanjang, membuatnya datang memenuhi panggilan tersebut.
Di deretan ruangan yang biasa disewa untuk bisnis di lantai dasar hotel bangunan peninggalan Belanda di Jalan Asia Afrika itu, ia menemukan ruangan berdinding kaca dengan logo persis seperti yang ada di kartu nama dengan tulisan Bunyan Worlwide Agency bergaya kaligrafi Arab. Seorang sekretaris dari balik meja resepsionis yang terbuat dari kaca menyambutnya dan mengantarnya masuk ke ruangan dalam yang juga berdinding kaca gelap, yang anehnya cukup terang ketika ia masuk. Seorang pria memperkenalkan diri sebagai Firman berdiri dari balik meja besar tanpa laci yang juga terbuat dari kaca. Seluruhnya terbuat dari kaca. Kursi tuan Firman, kursi duduk tamu di depan meja, bahkan kursi panjang mirip sofa—tapi bukan.
Wawancara berlangsung singkat, dan tanpa berpanjang-panjang ia dinyatakan diterima sebagai penerjemah dan guide dengan gaji empat kali lipat dari bayarannya terakhir bekerja di hotel bintang satu, masih ditambah pula dengan tunjangan kesehatan kelas satu lengkap, biaya perjalanan dinas tak terbatas, dan lain-lain yang membuatnya serasa bermimpi. Hari kerjanya di mulai keesokan harinya.
Ketika tiba di kantor itu keesokan paginya, ia hanya bertemu sang sekretaris yang memberikannya peta Sumatera Utara dan peta kota Medan untuk dipelajari. Juga fotokopi dokumen-dokumen tentang seorang pria berkewarganegaraan Italia bernama Mario Cavallaro yang antara lain berupa pemesanan tiket, asuransi perjalanan, paspor, tanda terima kotak deposit hotel. Juga perintah untuk segera berangkat ke Jakarta . Ia memberikan nomor rekening tabungan seperti yang diminta sekretaris, dan ketika memeriksa saldo tabungan di atm bank depan hotel, jumlahnya sudah menjadi 8 digit, yang tadinya hanya lima angka. Ia segera bergegas pulang diantar supir yang mengendarai mobil perusahaan—sebuah BMW 325i warna perak, mengepak baju-baju dan perlengkapan perjalanan dalam sebuah koper kecil, kemudian berangkat ke Jakarta dengan mobil yang sama. Di Jakarta ia diantar ke sebuah hotel bintang lima di kawasan Jakarta Barat, di mana sebuah kamar deluxe dengan ranjang lebar telah dipesan dan dibayar atas namanya. Ia memesan makanan dari restoran hotel yang termasuk dalam pembayaran, dan menghabiskan malamnya di kamar hotel mengerjakan tugasnya dan tertidur tanpa sempat mengganti baju.
Keesokan paginya, pukul 5.00 tepat ia terbangun . Sambil berendam air hangat, ia memegang peta kota Medan. Jalan utama, bangunan penting, fasilitas umum dan lain-lain. Meskipun ia tak tahu apa gunanya, Wulan mempelajarinya seakan-akan untuk menghadapi ujian penting yang menentukan hidup dan matinya. Satu setengah jam kemudian ia sudah berpakaian lengkap dan turun ke restoran untuk menikmati sarapan pagi selama enam puluh menit. Kemudian kembali ke kamar dan mempelajari peta Sumatera Utara, juga semua fotokopi yang diterimanya kemarin.
Pukul 09.50 telepon kamar berdering dan resepsionis memberi tahu bahwa ia ditunggu di lobby hotel oleh tuan Firman. Supir akan naik mengambil barang-barangnya dan mereka akan berangkat ke bandara untuk menjemput tuan Luigi, saudara kembar tuan Mario yang hilang di hutan gunung Leuser dua minggu yang lalu. Dari fotokopi dokumen itu Wulan menyimpulkan bahwa Mario Cavallaro merupakan klien Bunyan Worlwide Agency. Nah, ia telah menceritakan semua yang diketahuinya.
Luigi kembali merenung. Belum dua puluh empat jam ia menerima telepon dari Firman tentang hilangnya Mario, tapi mereka merekrut Wulan dua hari
sebelumnya. Dan belum pernah ia mendengar adanya agen perjalanan yang begitu bertanggung jawab kalau kliennya hilang.
Apa yang kau lakukan, Mario?
Tiba-tiba suara pilot terdengar. “Beberapa saat lagi kita akan mendarat di Bandara Polonia, Medan. Mohon kencangkan sabuk pengaman dan tegakkan sandaran kursi. Waktu di Medan menunjukkan pukul delapan belas lewat sepuluh menit. Tidak ada perbedaan waktu antara Medan dan Jakarta. Saya kapten Tonya Flicker bersama kopilot Warren Dahl mengucapkan selamat jalan dan terima kasih telah terbang bersama kami.”
Pramugari datang membereskan piring dan gelas serta memastikan ikat pinggang mereka telah terpasang dengan benar. Wulan memperhatikan wajah sang pramugari dan kembali keningnya berkerut, ekspresi yang tak luput dari perhatian Luigi.
“Ada apa?” tanyanya.
Wulan hanya diam sambil menggeleng pelan. Ia memandang ke luar jendela, ke bawah di mana terletak kota Medan dengan jalan-jalannya yang lurus membentuk kotak-kotak berisi rumah-rumah bagai mainan. Beberapa gedung tinggi tapi tak terlalu tinggi, karena Polonia berada tepat di jantung kota sehingga tak mungkin membangun pencakar langit yang dapat membahayakan keselamatan penerbangan.
Tak beberapa lama kemudian, setelah berputar beberapa kali memberikan pemandangan kota yang temaram menjelang senja dari ketinggian beberapa ratus kaki saja, akhir Gulfstream IV tanpa nomor itu mendarat mulus di landasan pacu. Setelah pesawat berhenti benar dan lampu tanda sabuk pengaman dipadamkan, Wulan dan Luigi berdiri dan Wulan menurunkan koper kecilnya dari kabin di atas kepalanya dengan dibantu pramugari.
“Apakah kita pernah bertemu?” tanya Wulan sambil menyelidiki wajah pramugari yang tertera nama Darlina di dadanya.
Pramugari itu menyangkal. “Saye belum pernah bersua dengan puan, ini trip pertame saye ke Indonesia.” Logat Melayu yang kental.
Dalam perjalanan keluar pesawat menuju ruang kedatangan, Luigi kembali bertanya, “
What’s up?”
“Pramugari itu mirip dengan sekretaris perusahaan di Bandung. Bukan mirip lagi, tapi persis sama, meskipun dandanannya beda, Aku yakin mereka orang yang sama.”
Kembar identik? Luigi bertanya-tanya dalam hati.
Di dekat pintu kedatangan dari arah landasan menunggu seorang pria muda, nyaris masih remaja, berpakaian kemeja putih dan celana hitam dengan sepatu pantofel.
“Namaku Ismail. Aku yang mengantar
kelien kemana pun
kelien pergi.” Katanya dengan logat Medan yang khas. Ia mengambil alih koper dari tangan Wulan dan menuntun mereka keluar ke tempat parkir.
Yang luput dari perhatian Wulan adalah bahwa supir perusahaan yang tidak pernah bicara dan memperkenalkan diri itu juga wajahnya persis dengan supir bis shuttle di bandara Soekarno-Hatta yang mengantarkan mereka dari Terminal Internasional ke Terminal Dalam Negeri.
Wulan dan Luigi mungkin akan lebih kaget lagi jika tahu bahwa di kokpit pesawat tadi, suara kapten Tonya Flicker keluar dari mulut Firman,
liaison Bunyan Worldwide Agency. Tidak ada kopilot Warren Dahl. Hanya seorang Firman. Dan yang lebih penting lagi, tidak ada manusia lain yang melihat sebuah pesawat Gulfstream IV tanpa nomor penerbangan lepas landas dari Cengkareng, Jakarta dan kemudian mendarat di Polonia, Medan senja itu.
***
“Something wrong, darlin’?” sekali lagi perempuan itu, Wulan, bertanya pada pria kulit putih yang memegang selembar kertas dengan tangan gemetar. Laki-laki itu Luigi Caravallo.
Kali ini Luigi mendengar suara Wulan dan membawanya kembali ke masa kini.
“It’s all right,” jawabnya sambil berbalik dan tersenyum menatap Wulan.
“Ibunya meninggal saat melahirkan dan ayah anak itu pergi meninggalkan tanggungjawabnya.” kata laki-laki yang mereka kenal sebagai Jalal.
“Baiklah.” ujar Luigi sambil mengumpulkan kertas lain yang berada di atas meja, sepotong kertas berjudul Surat Keterangan dengan kop sebuah Rumah Bersalin di kota Medan. Kertas berukuran folio ditangannya sendiri adalah sebuah Akte Kelahiran untuk seorang anak bernama Awang Mahkota Cavallaro, anak dari ayah Luigi Cavallaro dan ibu Wulan Goeritna Cavallaro, lahir di Medan pada tanggal 3 Desember 1998.
Jalal telah menjelaskan bahwa nama Awang Mahkota adalah pemberian ibu kandungnya sebelum menghembuskan nafas terakhir. Ibunya tidak memiliki siapapun di dunia ini. Hal yang membuat Wulan menitikkan air mata dan memeluk Awang lebih erat lagi, dan berbisik, “kamu punya aku dan papamu, anakku.”
“Tentang sisa pembayaran…..” kata Luigi sambil memandang Jalal dengan perasaan campur aduk. Ia tak tahu apakah harus menyukai atau membenci lelaki itu. Apakah ia mencari kehidupan dengan berdagang bayi? Atau hanya ingin menolong mereka seperti yang diklaimnya hampir setahun yang lalu? Negara ini sedang kacau balau dan berada dalam pusaran perubahan yang dahsyat. Tidak diragukan lagi ada saja orang-orang yang mungkin memanfaatkan situasi kemelut yang bernama reformasi.
“Tidak perlu,” jawab Jalal tegas. “Semua pengeluaran sudah tertutupi dengan uang muka kalian.” lanjut nya sambil mengibaskan tangan.Membuat Luigi merasa malu karena telah menduga Jalal seorang penjual bayi.Bahkan ia nyaris lupa tentang Mario yang membuatnya melakukan hal gila ini.
“Aku pulang dulu, masih jauh perjalanan ke Medan. “ katanya sambil menyalami Luigi dan Wulan. Tak lupa ia mencium kening bayi yang masih tertidur nyenyak. Apakah Wulan melihat kilatan matanya yang berkaca-kaca? Mungkin tidak.
Tak lama dari halaman depan suara pikap tua terdengar distater beberapa kali sebelum akhirnya menyala terbatuk-batuk, untuk kemudian menjauh meninggalkan rumah besar perkebunan semi permanen yang telah berdiri sejak Belanda masih berkuasa di tengah perkebunan sawit yang luas tak jauh dari kota Pematang Siantar. Hujan turun sedang-sedang saja. Setelah cukup jauh berjalan menyusuri jalan kecil beraspal tipis di tengah kebun sawit beberapa kilometer lagi dari jalan nasional, pikap tua itu menepi masuk ke dalam hutan sawit yang memerlukan peremajaan itu, dan akhirnya berhenti di antara pohon sawit tua di bawah cahaya bulan.
Jalal turun dan jika ada orang yang melihat, akan tampak bahwa wajah Jalal berubah menjadi muda. Jauh lebih muda. Tubuhnya juga menjadi lebih langsing. Dan seakan lahir dari udara, di hadapannya muncul tiba-tiba seorang laki-laki yang lebih dewasa dan jangkung, berpakaian adat Melayu.
“Bagaimana keadaan pangeran mahkota?” tanya laki-laki yang lebih tua.
“Baik-baik saja. Semoga.” jawab yang muda. Hujan telah berhenti dan langit jernih bertabur bintang. Cahaya bulan purnama menerangi wajah keduanya. Jika Luigi dan Wulan ada di situ, mereka akan mengenali laki-laki muda itu sebagai Ismail, supir Medan, dan yang tua sebagai Firman,
liaison Bunyan Wordwide Agency yang telah mereka kenal lebih dari tiga tahun lampau.
"Setidaknya ia berada di tengah keluarganya sendiri," gumam Ismail yang diikuti anggukan setuju Firman.
“Mari kita pergi.” kata Firman melangkah lebih ke dalam kebun sawit menjauhi jalan aspal. Bersamaan dengan itu, baik ia maupun Ismail alias Jalal dan pikap tua yang tak jauh dari situ menguap seperti kapur barus menyublim dalam film yang dipercepat 1024 kali.
Hari itu Sabtu 5 Desember 1998, berlalu tanpa saksi atas peristiwa ganjil di tengah kebun sawit beberapa kilometer dari kota Pematang Siantar itu.