Kamis, September 18, 2014

Bunian Metropolitan (Chapter 3)

Daftar Isi

3


Di ruangan kantornya yang seluas 54 meter persegi, Wulan terserang panik yang luar biasa. Meskipun pendingin ruangan diatur pada suhu 18 derajat celsius, keringat mengucur deras membasahi dahi dan ketiaknya. Lima menit yang lalu, ketika ia memeriksa aplikasi pelacak GPS di Samsung Galaxy S5nya—sama seperti punya Awang, tapi dengan warna yang berbeda—dan mendapati avatar Awang hilang dari peta. Terakhir posisi Awang masih di lokasi sekolah, dan mendadak lenyap begitu saja. Tak mungkin kehabisan daya, karena tadi pagi ia sendiri yang memeriksa status batere smartphone Awang itu.


Ia menelpon.

“Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Coba hubungi beberapa saat lagi.” Benar, telpon Awang tidak diaktifkan.

Ia segera menelpon sekolah. Bu Katrina yang hari itu bertugas menjadi guru piket mengangkat telepon.

“Selamat siang, bu. Saya orang tua dari Awang Mahkota Cavallaro, murid kelas sepuluh tiga. Apakah anak saya ada di sekolah?” tanpa berpanjang lebar Wulan langsung ke inti masalah.

“Maaf, bu. Seluruh murid sudah pulang 15 menit yang lalu.” jawab bu Katrina yang sudah bersiap-siap untuk pulang.

“Kenapa, bu?” desak Wulan setengah memaksa. Awas kalau sesuatu terjadi pada anakku!

“Karena baru hari pertama sekolah, bu. Hanya acara perkenalan antara guru dan murid.” jawab bu Katrina sopan.

“Terima kasih, bu. Selamat siang.” Bersamaan dengan itu Wulan menutup sambungan.


Mungkin aku harus menyewa pengawal buat Awang, pikirnya. Tapi pikiran itu segera ditepisnya. Bisa-bisa Awang mogok makan dan bicara, dan Luigi juga pasti tidak setuju. Bukannya Luigi tidak menyayangi Awang, tapi ia berpendapat sebagai laki-laki Awang harus belajar menghadapi dunia nyata. Bukankah ia, istrinya yang cantik jelita, terbiasa hidup mandiri sejak kecil? Begitu Luigi pernah menggoda sambil membelai rambutnya.


Wulan kembali mencari nama Tiara di phonebook telepon genggamnya. Untung ia menyimpan nomor gadis itu, siapa tahu diperlukan suatu waktu, seperti sekarang ini. Ia menyentuh tombol panggil dan mendengar nada sambung. Tidak diangkat. Ia mencoba lagi dan lagi. Tetap nihil.

Akhirnya ia menekan tombol di keyboard ergonomis yang tertanam di pegangan kursi direktrisnya dan sebuah monitor layar datar 29 inci muncul perlahan di mejanya. Dengan cekatan ia menyentuh layar beberapa kali dan wajah tampan Luigi tampil di layar. Di dinding belakangnya tampak lukisan besar Luigi dan dirinya mengapit Awang. Luigi sedang berada di kantornya di Geylang, Singapura.

“Hai sayang, rindu padaku?” senyum Luigi yang menawan menggodanya. Mereka baru berpisah tiga hari.

“Awang menghilang!” jawab Wulan mengabaikan godaan suaminya itu, dan tanpa disadari airmatanya mulai mengucur.

Ho….how?” tanya Luigi bingung.

“Teleponnya mati dan dia…dia…dia tidak ada di sekolah.” Terisak-isak Wulan menjelaskan. Ia menyapu ingusnya dengan tisu.

Hebat! Akhirnya anakku bolos untuk pertama kalinya! Pikir Luigi dan tak sadar ia tersenyum. Tapi segera dihapus senyumnya itu, khawatir ketahuan oleh Wulan. Luigi sebenarnya ingin Wulan tidak terlalu memanjakan Awang. Atau lebih tepatnya, over protektif. Ia menyayangi Awang sama seperti Wulan. Ia menganggap Awang sebagai anak kandungnya, sama seperti Wulan. Bahkan, Awang mengingatkannya akan Mario, saudara kembarnya yang hilang sembilan belas tahun lalu. Mungkinkah Awang merupakan reinkarnasi Mario? Pikiran yang bukan cuma sekali muncul dibenaknya. Awang persis Mario sewaktu muda, hanya saja rambut Awang lebih gelap, coklat tua nyaris hitam. Dan warna matanya juga coklat tua. Ia bahkan bisa membayangkan kalau ia dan Wulan punya anak lagi, cowok atau cewek, wajahnya akan mirip dengan Awang.


Belissima, coba hubungi terus Awang dan cari tahu dari teman-temannya. Aku segera ke bandara dan terbang dengan pesawat pertama. Tapi, demi Tuhan, jangan hubungi polisi dulu.” Luigi mengingatkan istrinya. Mudah-mudahan Wulan masih cukup waras untuk tidak menimbulkan kehebohan besar-besaran. Ini masih pagi dan mungkin Awang sedang bersenang-senang dengan teman-temannya. Dan setelah mengucapkan ti amo, ia menutup aplikasi videocall telepon genggamnya.

Wajah Luigi menghilang dari layar monitor. Wulan terduduk diam beberapa saat. Pandangannya beralih ke jendela kaca seluas dinding yang mengarah ke pemandangan kota baru Pluit. Dari lantai dua puluh sembilan, bahkan ia bisa melihat kereta gantung Ancol di kejauhan. Bibirnya komat-kamit, jangan panik, jangan panik. Airmatanya masih mengalir deras.



Pematang Siantar, enam belas tahun silam.

Luigi menunggu sampai suara pikap tua Jalal benar-benar menghilang sebelum ia mengunci pintu depan dan kembali ke ruangan tempat pertemuan. Kemudian bersama-sama Wulan, ia menuju kamar lain yang sudah diubah menjadi kamar bayi. Wajah Wulan yang cantik nampak lelah, tapi ia tersenyum bahagia. Bayi mungil itu perlahan membuka matanya, membelalak memandang Wulan dan Luigi, dan tersenyum lucu.

“Oh, lihatlah…. Senyumnya manis sekali!” seru Wulan sambil mengucurkan airmata bahagia. Selama delapan bulan Wulan menaikkan berat badannya sedikit demi sedikit, mengganjal perutnya dengan bantal, memamerkan perutnya yang ‘membesar’, dan untuk kedua kalinya menginjakkan kaki di rumah perkebunan berikut kebun sawit 40 hektar dan sebuah pabrik yang baru delapan bulan lalu dibeli Luigi atas namanya. Krisis moneter yang melanda Asia justru menjadi berkah terselubung buat Luigi—dan juga Wulan.

Semua jerih payahnya membohongi publik dengan pura-pura hamil terbayar sudah. Dulu mereka sempat ragu, ketika Jalal memberikan usul aneh itu. Tapi entah bagaimana, akhirnya Luigi dan Wulan sepakat menjalaninya. Apa lagi Luigi tambah kurus dan sempat jatuh sakit dan dirawat di Mount Elizabeth Hospital, Singapura karena mimpi-mimpi buruk yang mendatanginya setiap malam, dan makin lama semakin parah.


Ia ingat, mereka menikah secara sederhana di sebuah mesjid kecil di Medan, 27 Juli 1997, setelah Luigi mengucapkan dua kalimat syahadat. Meskipun dalam hatinya ia menyadari bahwa Luigi bukan seorang Katholik yang taat, bukan juga seorang yang relijius, tapi bahwa ia mau berpindah agama demi menikahi Wulan membuat Wulan bahagia. Luigi ternyata sudah dikhitan di masa mudanya, hal yang ditanyakan Wulan tapi dijawab Luigi bahwa ia ditantang temannya melakukan hal itu, dulu. Yang tidak diceritakan Luigi, bahwa tantangan itu diterimanya dalam keadaan mabuk. Ia dan dua temannya sesama anak buah kapal barang yang sedang bersandar di Port of Manila untuk bongkar muat memutuskan untuk bersenang di bar lokal dan mereka bertiga telah menghabiskan dua puluh tiga botol Red Horse, ketika memutuskan untuk menyusuri jalan yang ramai oleh pelaut, pemabuk, mucikari dan pelacur. Dalam benak mereka yang dibawah pengaruh berat alkohol, hanya ada satu tujuan: perempuan. Tapi langkah Luigi yang tidak terbiasa mabuk telah gontai dan omongannya mulai meracau. Mereka melewati sebuah kedai tatto, dan Piet van Markel, temannya yang berasal dari Rotterdam, menantang. “Kalau kau betul lelaki, lakukan!

“SIAPA TAKUT!” balas Luigi lebih keras dan dengan sempoyongan ia melangkah. Yang tidak disadarinya, saking mabuknya ia salah masuk ke bangunan sebelah yang bertuliskan pagtutuli clinic.

Dan ketika tersadar keesokan harinya di atas ranjang sempit dalam kabin awak, dirasakan selangkangannya perih. Jeritnya menggema saat mengintip ke bawah celananya, dan selama seminggu Luigi berjalan terkangkang-kangkang.

Pernikahan mereka hanya dihadiri Firman dan Ismail sebagai saksi. Setelah upacara akad nikah, mereka melaju dengan mobil sewaan menuju Berastagi. Lewat sepertiga malam saat mereka tiba di hotel yang telah dipesan oleh Firman, dan tak ada staf hotel menyambut. Sekerumunan orang bergerombol di depan televisi di lobby hotel yang menyiarkan gambar seorang jenderal sedang memberikan konferensi pers tentang penyerbuan kantor PDI pimpinan Megawati Soekarno Putri. Akhirnya dua orang bellboy berlari-lari menghampiri setelah menyadari bahwa ada tamu yang datang. Setelah check-in, mereka diantar ke honeymoon suite di lantai lima. Luigi memberi tips sebesar 50 ribu rupiah kepada masing-masing bellboy yang disambut dengan senyum lebar.

Mereka baru tidur setengah jam setelah berkali-kali mereguk kenikmatan sebagai sepasang suami istri, ketika menjelang dinihari tiba-tiba Luigi berteriak, tersentak bangun dengan nafas tersengal-sengal dan keringat mengucur deras di tubuhnya yang setengah telanjang. Wulan yang terbangun kaget segera mengambil secangkir air hangat dari termos hotel dan menyodorkannya pada Luigi. Dengan sabar ia menunggu sampai Luigi mereguk air hangat tersebut dan nafasnya kembali normal.

“Mario….” desis Luigi. “Ia menyuruh kita untuk segera punya anak, terserah bagaimana caranya.”

Wulan tersenyum dan memeluk Luigi, berbisik ditelinganya, “Tanpa diminta pun dengan senang hati aku akan mengandung bayi—anak-anak—kita, sayang.”

Luigi memegang kedua bahu Wulan dan memandangnya seperti orang linglung.

“Menurut Mario, aku takkan bisa punya anak. Kita harus mengadopsi seorang bayi.”

Giliran Wulan yang melongo.

Luigi belum selesai. “Dan kalau kita tidak melakukannya, Mario bersumpah akan menerorku setiap malam.”

Dan Mario—atau arwahnya, melaksanakan sumpahnya.


Terbukti bahwa Luigi memang mandul. Spermanya sangat lemah. Selama lima bulan, mereka berkeliling dunia —Singapura, Australia, Korea Selatan, Jepang, Cina dan Amerika—mendatangi para dokter ahli yang semuanya memberikan diagnosa yang sama: kemungkinan Luigi memiliki keturunan adalah satu banding lima juta, bahkan kurang. Intinya: nihil. Tidak ada prosedur atau obat-obatan yang dapat mengubah keadaan. Sebagai seorang lelaki dan suami, Wulan tidak mempunyai keluhan. Tetapi ia tetap takkan menjadi seorang ayah. Sementara itu Mario terus mendatangi Luigi dalam setiap tidurnya, membuat Luigi terbangun basah oleh keringat dan menggigil ketakutan.

Sampai akhirnya mereka bertemu Jalal.

Luigi dan Mario dalam perjalanan pulang merayakan Malam Tahun Baru di Danau Toba sambil menemui seorang ‘pintar’di Parapat dan berhenti untuk beristirahat sambil menikmati secangkir kopi di sebuah kedai di pinggir jalan nasional setelah Pematang Siantar.

“Sayang….mengapa kita tidak mulai berusaha mengangkat anak seperti yang diminta Mario?” kata Wulan dalam bahasa Inggris sambil memeluk sebelah bahu Luigi yang duduk menempel rapat di sebelahnya. Mereka duduk di bangku kayu panjang tanpa sandaran, cukup untuk tiga orang, menghadap meja di pinggir kedai menghadap jalan. Selain mereka, hanya ada seorang laki-laki berkulit gelap setengah baya bertubuh gemuk dan memakai topi laken yang tergantung dibelakang lehernya sedang membaca koran lokal di meja sebelah. Secangkir kopi yang sudah dingin tak tersentuh di hadapannya, ditemani sepiring jadah seperti pisang goreng dan roti selai srikaya yang juga masih utuh. Mungkin pengemudi pikap yang mengangkut buah salak, yang parkir di samping mobil sewaan mereka.

“Tapi kita harus mulai dari mana, sayang? Aku tidak keberatan untuk mengambil anak dari suku bangsa mana pun, asal tidak jadi masalah di kemudian hari. “ jawab Luigi sambil menghela nafas panjang. Wulan memandang dengan prihatin wajah Luigi yang mulai tirus. Bagian bawah matanya menghitam karen kurang tidur. Ia terlihat lebih tua sepuluh tahun.

Tiba-tiba lelaki di sebelah mereka itu meletakkan korannya dan menyela,

“Maaf. Saya tak sengaja mendengar percakapan Anda berdua. Saya beberapa kali pernah menolong pasangan suami istri seperti kalian.” katanya dalam bahasa Inggris yang nyaris sempurna.

“Nama saya Jalal.” Ia mengulurkan tangannya untuk menyalami Luigi dan Wulan.


Jalal bercerita bahwa ia pernah menolong beberapa wanita yang hamil setelah menjalin hubungan dengan orang kulit putih—menikah atau hidup bersama tanpa ikatan—tapi kemudian ditinggal pergi. Dari dompetnya ia mengeluarkan tiga buah foto lusuh, masing-masing bergambar pasangan laki-laki kulit putih dan wanita pribumi yang berbeda, sedang menggendong bayi. Latar belakang foto beragam, tapi jelas bukan di Indonesia.

“Ini orang-orang yang pernah saya bantu. Mereka mengirim foto ini sebagai tanda terima kasih.”

Luigi memandang foto-foto itu dengan skeptis.

“Tapi….apakah orang tua kandung bayi-bayi ini orang baik-baik?” tanyanya sambil memberikan foto-foto tersebut untuk dilihat Wulan.

“Tuan, baik atau buruk seseorang hanya ruang dan waktu yang menentukan,” jawab Jalal dengan memberi penekanan pada kata space dan time.

“Setiap bayi terlahir suci. Lingkungan yang menjadikannya baik atau jahat,” sambungnya lagi sambil memandang Luigi dengan tajam, membuat Luigi merasa bersalah.

Wulan masih memandangi ketiga foto tersebut. Dalam benaknya, ia melihat bahwa dirinya dan Luigi lah yang berada dalam setiap foto itu.

“Kalau Anda berminat berikan saya nomor telepon Anda yang bisa saya hubungi,” kata Jalal sambil meraih saku bajunya, mengeluarkan Motorola StarTAC yang mengingatkan Luigi akan serial tv Star Trek.

Wulan mengambil Nokia 9000 dari dalam tas tangannya dan menyebutkan sederet angka. Jalal memencet sejumlah tombol. “Tidak ada sinyal,” keluh Jalal. Ia kemudian memberikan nomornya untuk disimpan Wulan.

Mereka berpisah setelah Jalal berjanji akan menghubungi begitu ada kandidat yang sesuai, dan sebelum melanjutkan perjalanan pulang ke Medan, mereka melihat pikap tua Jamal terseok-seok menuju ke arah Pematang Siantar.

Tiga bulan kemudian, Maret 1998, Jalal menelpon meminta untuk bertemu di sebuah rumah perkebunan di Pematang Siantar.

Berita bagus,” kata Jalal sebelum menutup telepon.


Mereka bertemu di rumah yang sekarang menjadi miliknya. Miliknya dan Luigi, tentu saja. Dan sekarang juga menjadi milik bayi mungil yang diletakkannya di ranjang bayi yang dilengkapi radio dua arah.

Dalam pertemuan itu, Jalal mengatakan telah mendapat seorang wanita hamil yang ditinggal suami kulit putihnya. Bayinya akan lahir sekitar akhir Nopember atau awal Desember. Ia dengan susah payah menghidupi dirinya sendiri, dan seorang bayi dengan ayah yang pergi tanpa memberikan nafkah akan membuatnya semakin terpuruk.

"Tidak, dia tak ingin bertemu dengan calon orang tua anaknya," kata Jalal ketika Wulan menyatakan keinginan untuk bertemu dengan ibu calon anaknya.

Jalal menyebutkan sejumlah uang untuk biaya hidup ibu hamil sampai melahirkan berikut biaya persalinan. Jumlah yang tidak terlalu besar. Juga instruksi agar Wulan pura-pura hamil selama delapan bulan ke depan.

“Saya bukan penjual bayi,” kata Jalal. “hanya menolong orang yang membutuhkan.”

“Berarti baru hamil satu bulan,” gumam Wulan.

Sepuluh bulan, kata Jalal dalam hati.

Wulan memandang rumah tua yang terawat dengan baik itu.

“Ini rumah Anda?” tanyanya pada Jalal.

“Bukan. Ini rumah teman saya yang mau dijual. Dia bangkrut karena meminjam uang di bank dalam dolar Amerika.”

Krisis moneter yang sudah berlangsung beberapa bulan menyebabkan banyak orang jatuh miskin, pikir Wulan.

“Berapa harganya?” kali ini Luigi yang bersuara.

Dalam dua minggu, rumah berikut perkebunan dan sebuah pabrik kelapa sawit berpindah tangan atas nama Wulandari Goeritna Cavallaro. Dan perutnya membesar layaknya wanita hamil.


Wulan bermimpi sedang bermain-main dengan Awang yang baru berumur dua hari itu memanggilnya “Mama” dan menunjuk keluar jendela. Wulan melihat ke arah yang ditunjuk Awang. “Look. A tiger!” Kata Awang sambil tertawa.

Ia terjaga dan memasang telinga dalam gelap. Dari radio yang terhubung dengan kamar bayi terdengar gelak tawa bayi. Wulan segera bangkit dan berlari kencang ke kamar bayi. Di kegelapan ia melihat bayangan seekor kucing besarbukan, harimau—sedang mondar-mandir di sekitar ranjang bayi. Ia menyalakan lampu dan melihat tidak ada kucing ataupun harimau. Dan juga tidak ada Awang. Wulan menjerit sebelum terjatuh pingsan.

Ketika tersadar, ia berada di pangkuan Luigi yang menatap cemas.

“Awang….Awang hilang…,” bisiknya lemah.

Luigi terlihat bingung. Ia menoleh ke ranjang bayi dan Wulan mengikuti arah pandangannya. Di ranjang, Awang sedang tidur nyenyak sambil mengisap jempol tangannya.

Baik Wulan maupun Luigi menganggap bahwa kejadian malam itu hanyalah akibat mimpi buruk belaka. Yang tidak mereka ketahui, keesokan harinya para pekerja di rumah mereka heboh dengan ditemukannya jejak harimau yang masih segar di tanah becek di bawah jendela kamar bayi. Luigi, Wulan dan Awang sudah berangkat pagi-pagi buta menuju rumah mereka di Medan. Sebuah kamar bayi lain telah disiapkan di sana.



Jakarta, 17 Juli 2014.

Wulan menyentuh layar monitor dan wajah Kimori, sekretarisnya, menjelma.

“Suruh Antara menunggu di depan. Saya akan keluar dan belum tahu kapan kembali. Batalkan semua janji temu, reschedule yang urgent.”

“Baik, bu.”

Sekali ketukan pada keyboard dan wajah Kimori pun lenyap.

Ia meraih tas tangannya dan berjalan ke lift pribadi yang berada di samping pintu ruang kantornya. Lift itu akan membawanya turun ke lantai dasar tanpa berhenti. Kembali ia mencoba menelepon Awang. Masih suara ‘di luar area’ yang sama. Ia merogoh tasnya dan mengeluarkan bedak dan maskara dan membereskan dandanannya yang berantakan. Tak lupa kacamata hitam merk Dior untuk menutupi matanya yang bengkak sehabis menangis.

Begitu sampai di bawah ia bergegas menuju pintu keluar dan hanya mengangguk ketika concierge mengucapkan salam. Penjaga pintu yang mengucapkan selamat siang dan membantu membukakan pintu mobil hanya mendapatkan anggukan kecil tanpa senyum.

“Ke sekolah!” perintahnya begitu pantatnya menyentuh jok belakang Mercedes Benz C350 hitam metalik.

Mobil melaju tenang. Tanpa dibilang pun Antara sudah tahu bahwa yang dimaksud dengan 'sekolah' adalah SMA Panca Warna. “Lebih cepat!” hardik Wulan. Bukan kebiasaannya menjadi jutek, tapi ini kejadian di luar kebiasaan. Supir menginjak pedal gas lebih dalam, berusaha menembus kemacetan menjelang pintu masuk tol Pluit 3.

Wulan memandang ke luar kaca jendela mobil yang gelap. Gedung-gedung pencakar langit di sisi jalan  membatasi jarak pandangnya. Sebuah baliho besar yang mengiklankan kondominium di tepi pantai membawa pikiran Wulan melayang ke pantai Anyer, 15 tahun silam.


Ia, Luigi dan Awang yang berusia 4 bulan berlibur di Sanghyang Indah Spa Resort di kawasan Anyer. Mereka menyewa villa dengan pemandangan ke laut. Samar-samar terlihat gunung Krakatau dengan asapnya yang mengepul di kejauhan. Tidak ada cahaya bulan, karena malam itu malam satu Suro. Luigi baru datang dari Marsailles dan ia membutuhkan istirahat sejenak setelah terbang berjam-jam. Awang tidur di kamar dengan tempat tidur double. Luigi di kamar sebelahnya. Wulan duduk di teras villa menikmati deburan ombak dan tarian cemara laut yang meliuk santai mengikuti angin yang berhembus pelan.

Ia merindukan pelukan Luigi. Masih ada waktu, pikirnya dan menjadi malu sendiri. Sudah setahun Luigi tak diganggu lagi oleh mimpi buruk. Tubuhnya sudah kembali bugar seperti sebelumnya dan pada wajahnya tidak menyisakan derita yang datang dari mimpi-mimpinya dulu.

Empat tahun yang lalu, pikirnya, aku adalah Wulan yang pengangguran, kesepian dan nyaris putus asa. Telepon dari Firman, liaison Bunyan Worldwide Agency, telah mengubah hidupnya. Satu demi satu rahasia diungkapkan Firman, meskipun sebagian dari kisahnya masih sulit untuk dipercaya. Apalagi Luigi yang skeptis, semua hal yang terjadi masih menyimpan sejumlah pertanyaan besar.

Ia berdiri dan berjalan menuju pantai yang terbentang di depan. Sebagai orang Bandung, ia jarang menginjakkan kaki di pantai atau membasahkannya dengan air laut. Memang bersama Luigi, ia telah mengunjungi beberapa resort tepi pantai berbintang lima di berbagai penjuru dunia. Luigi hanya memperoleh visa kunjungan bisnis atau keluarga. Setiap visanya kadaluarsa, Luigi harus terbang keluar Indonesia untuk memperbaruinya. Terkadang Wulan ikut dan mereka memilih menghabiskan waktu di resort pantai seperti di Pulau Pinang, Langkawi, Redang, atau Malaka. Apalagi masa-masa mereka berkeliling dunia dalam rangka memperbaiki masalah kesuburan Luigi, fasilitas medis yang didatangi umumnya terletak tak jauh dari tepi laut. Tapi Wulan tak pernah puas menikmati pantai, sama seperti Luigi.

Ia baru berjalan sekitar sepuluh langkah ketika menoleh ke arah villa karena mendengar sesuatu. Di jendela kamar Awang yang gordennya tersingkap, tampak seorang wanita bersanggul besar dan memakai korset hijau—tubuh bagian bawahnya terhalang dinding—sedang menggendong bayi—Awang, yang tertawa terkikik-kikik. Ia segera berlari sekencang mungkin ke dalam villa, terbang melintasi ruang keluarga, dan mendobrak masuk ke kamar yang lampunya dibiarkan menyala. Tidak ada siapa-siapa, selain Awang yang memandangnya dengan tersenyum dari tengah ranjang yang dikelilingi bantal untuk mencegah Awang terjatuh ke lantai. Untung anakku tak apa-apa, katanya dalam hati sambil menghembuskan nafas lega.

Kalau saja Wulan memandang ke jendela ke arah laut yang gelap, ia akan melihat seorang wanita yang dalam mitos disebut dengan nama Nyi Roro Kidul sedang berdiri tegak di atas air sambil tersenyum, dan kemudian perlahan-lahan tenggelam menghilang ditelan Samudra Hindia.

***

Tiba-tiba terdengar nada panggil dari Samsung Galaxy S5 yang tergeletak disampingnya. Wulan tersentak dari lamunannya, dan jarinya menyentuh layar touchscreen.

“Awang, maneh teh di mana, sayang? Dari tadi mama tilpun lamun teu aya nada panggil. Kunaon hape kamu dimatiin, sayang?” cecarnya antara khawatir dan lega.

“Aku lagi di Mall Taman Anggrek, Ma. Mama tadi nelpon Tiara?”

Tanpa membuang waktu sedetikpun, Wulan memerintahkan Antara untuk ngebut ke Mall Taman Anggrek.



Tidak ada komentar: