Senin, September 15, 2014

Bunian Metropolitan (Chapter 2)

2




Jakarta, 14 Juli 2014

Awang berdiri termenung di depan pintu gerbang yang masih terkunci. Masih terlalu pagi, ternyata. Baru ia satu-satunya yang hadir di sekolah ini. Sekolah barunya. Hari pertamanya sebagai murid sekolah menengah atas. Ia menoleh ke arah mobil Mercedes Benz C-Class C350 hitam metalik keluaran tahun sebelumnya dan melambaikan tangan. Mamanya nongol dari pintu belakang.

“Oke, Ma. Mama pergi saja!” teriaknya.

“Tapi belum ada siapa-siapa, sayang!” Wulan balas berteriak sambil membuka pintu.

Mati aku! Mama tetap saja memperlakukanku seperti bayi! jerit Awang dalam hati.

“Maaa….jangan bikin aku malu, dong!”

“Tapi ‘kan belum ada siapa-siapa, sayang. Siapa tahu kamu salah, kalau-kalau ternyata sekolah baru mulai minggu depan—“

“Ya gak mungkin lah, Ma!” sungut Awang yang bertambah panik karena membaca niat Wulan untuk ikut menunggu sampai pintu gerbang sekolah dibuka, setidaknya ada murid atau guru yang datang menemani Awang. Tepatnya, Awang mendengar niat mamanya itu dengan jelas, seperti diucapkan langsung ke telinganya: Aku harus menunggu sampai pintu gerbang dibuka, setidaknya sampai ada murid atau guru yang datang.

“Kalau Mama di sini aku mogok makan,” ancam Awang sambil berpikir, mungkin suatu saat aku akan mati karena malu, bukan karena lapar atau sakit.

Áncamannya itu membuat langkah maju Wulan terhenti satu meter dari Awang. Ah…kalau aku masak pindang patin pasti mogok makannya batal.

“Biarpun Mama masak pindang patin, aku tetap akan mogok makan.” Kata-kata Awang menunjukkan bahwa ancamannya tidak main-main.

“Baiklah. Mama nyerah, deh.Keukeuh, mirip pisan papana. Dan meskipun Awang tidak pernah belajar bahasa Sunda, ia mengerti bahwa arti pikiran Wulan yang tak terucapkan tapi dapat didengarnya itu adalah, keras kepala, mirip sekali papanya.

“Baik-baik ya, sayang?” ujar Wulan sambil masuk ke mobil dan kemudian memerintah Antara, supir pribadinya, untuk berangkat menuju kantor.

Sebelum mobil itu menghilang di tikungan, Awang masih sempat melihat Mamanya menoleh dan berpikir, Awang jangkung pisan, komo Luigi.

Tiba-tiba Awang dikejutkan dengan suara sapaan dari belakangnya.

“Selamat pagi. Kamu murid baru?”

Awang membalikkan badan. Seorang wanita muda yang kelihatan berusia antara 20 - 24 tahun telah berdiri dan tersenyum manis. Pasti salah satu guru.

“Iya, bu.” Katanya tersipu-sipu. Untung mama sudah pergi! Apa kata dunia nanti, anak laki-laki sebesar dia masih diantar mamanya?

“Nama ibu Marlinda dan ibu mengajar Bahasa Indonesia.” Wanita itu memperkenalkan diri dan mengulurkan tangannya. Awang menyambut tangan Marlinda dan sejenak ia merasakan getaran aneh yang sepertinya tidak asing tapi belum dikenalnya.

Kalau saja Wulan masih di situ dan bertemu dengan Marlinda, mungkin ia akan mengerutkan kening sampai berlipat tujuh. Ia pasti akan merasa mengenal guru Bahasa Indonesia tersebut. Bahkan mungkin akan menghubungkannya dengan sekretaris yang bekerja di kantor Bunyan Worlwide Agency di Bandung dan pramugari di pesawat jet Gulfstream IV yang menerbangkannya dan Luigi dari Cengkareng ke Medan, 19 tahun yang lalu. Dalam usianya yang 45 tahun Wulan tetap cantik, tapi beberapa kerutan halus hadir di wajahnya menunjukkan kematangannya sebagai seorang wanita dan seorang ibu. Sementara Marlinda persis seperti sang sekretaris atau pramugari hampir dua dekade yang lalu, seakan-akan kembar yang terlahir 19 tahun kemudian.

Awang menjabat tangan halus tersebut sambil berkata, “Nama saya Awang Mahkota, bu.” Ia jarang menyebutkan nama belakangnya. Dan bersamaan dengan itu pintu gerbang sekolah terbuka.

Aku tahu namamu, nak. Bahkan aku tahu namamu yang sebenarnya, Seri Pangeran Mahkota Awang Wira Kelana Cavarallo, batin Marlinda. Tapi tentu saja Awang tak bisa mendengar suara hatinya.

Marlinda melangkah memasuki halaman sekolah dan menyapa pak Gimin, penjaga sekolah yang selalu membuka gerbang setiap pukul 06.15. Tidak pernah terlambat atau lebih cepat walau semenit pun. Pak Gimin yang sudah berusia 60 tahun tinggal seorang diri di rumah kecil di pekarangan SMA Panca Warna.

Awang menoleh ke seberang jalan karena ia tahu dalam waktu sedetik kemudian namanya akan dipanggil oleh seorang gadis.

“Awang!” Tiara Maya, teman sekelas sewaktu SMP dan sekarang—mudah-mudahan—satu kelas juga di SMA Panca Warna ini. Itu doanya. Mak oi! Cantiknya! kata hati Awang memandang gadis yang sedang menyeberang jalan dengan rambut sebahu berkibar-kibar karena sambil berlari menyeberang Tiara menoleh ke kanan dan kiri mengawasi kendaraan yang melintas. Awang sudah terpikat oleh pesona Tiara sejak mereka sama-sama di Taman-Kanak-Kanak. Tiara yang jutek, bermulut tajam tapi pintar, cantik, percaya diri dan selalu membela Awang yang sering dibully teman-teman lain karena sifatnya yang pemalu. Selanjutnya Awang masuk ke Sekolah Dasar tempat Tiara juga bersekolah. Begitu juga dengan Sekolah Menengah Pertama mereka. Selalu sekelas.

Sebenarnya Awang bisa saja masuk sekolah yang lebih bergengsi. Papanya, Luigi Cavallaro, memiliki usaha pelayaran dan pengangkutan kargo yang menyebar di seluruh dunia. Mamanya, Wulandari Goeritna Cavallaro, juga seorang pengusaha kaya yang memiliki perkebunan sawit, karet dan tebu beribu-ribu hektar di Indonesia, Malaysia dan Brasil. Tentu saja selain kebun diikuti pabrik-pabrik pengolahannya. Tapi, baik Luigi maupun Wulan tak bisa mengubah keinginan Awang untuk bersekolah di sekolah biasa, seperti SMA Panca Warna ini.

Beberapa murid dan guru juga telah muncul seiring meningginya matahari di timur, dan lalu lintas semakin padat. Awang dan Tiara sama-sama melangkah masuk pekarangan sekolah. Seekor burung gereja terbang melintas dan Awang mendengarnya mengeluh, Tambah susah aja nyari makan di ibukota. Sebenarnya Awang ingin tertawa mendengar ucapan burung itu, tapi nanti Tiara akan bertanya apa yang lucu. Ia masih ingat, dulu sewaktu masih TK, Tiara pernah menonjok bahunya sampai sakit ketika ia mengatakan apa yang kucing Tiara sampaikan padanya, bahwa Tiara semalam mengompol. Seminggu Tiara tak bicara dengannya dan itu sangat menyiksa batin. Ia tak mungkin mengatakan bahwa ia mengerti percakapan binatang, karena ia tahu, mengungkapkan apa yang ia tahu tidak membawa kebaikan baginya. Jika sedang beruntung, ia hanya akan dikatakan gila. Kalau tidak begitu beruntung, biasanya melibatkan sebuah perkelahian, yang meskipun tak pernah sampai terluka—selalu bertahan sebenarnya, tanpa membalas—tapi tetap bukan hal yang disukainya. Biasanya ia memilih melarikan diri dan para pengganggunya akan kehilangannya begitu ia berbelok di balik pagar tinggi atau tembok bangunan atau masuk ke dalam ruangan. Musuh-musuhnya berteriak-teriak kebingungan dan berlalu tanpa melihatnya, padahal ia berada di samping atau malahan di depan mata mereka. Sekarang ia lebih tinggi dari anak-anak seusianya, 177 cm, membuat anak-anak lain berpikir dua kali sebelum mengganggunya. Namun Awang seorang yang cinta damai. Biarpun sudah tidak ada yang berani membullynya karena tubuh yang menjulang, tapi mereka masih bebas mencapnya gila.

Ia menghela nafas panjang dan menoleh ke belakang. Tentu saja, Bimbim, yang dalam pikirannya mendesah jelangkung bule ’dah nongol aja, sedang berlari terengah-engah menyusul mereka. Bimbim teman mereka di Sekolah Menengah Pertama. Pendek, gemuk, kulit gelap, keriting.

Ngapain lu lari-lari gitu?” bentak Tiara yang memang terbiasa galak.

Ngapain lu nanya-nanya gitu?” Bimbim balik bertanya.

Kali aja lu dikejar anjing,” jelas Tiara yang memang tak pernah akur dengannya.

“Memang anjing doyan daging gue?” Sudah menjadi kebiasaan Bimbim menjawab dengan pertanyaan.

Doyan aja kalo udah dikecapin, keles.

Awang tahu mereka mengucapkan kalimat-kalimat itu hampir tanpa berpikir. Apa ini yang disebut dengan ‘memang lidah tak bertulang’? Awang menyukai bahasa, terutama idiom dan peribahasa. Dan memikirkan hal itu membuatnya ingat akan guru bahasa Indonesia yang tadi. Aku akan menyukai ibu Marlinda, pikirnya dengan yakin.



Mereka tiba di papan pengumuman besar di depan ruangan yang berfungsi sebagai perpustakaan. Terlihat gambar denah ruang kelas dan beberapa kertas yang tercetak nama-nama murid masing-masing kelas. Awang, Tiara dan Bimbim ternyata berada di kelas yang sama, kelas X-3. SMA Panca Warna mempunyai masing-masing tiga kelas sepuluh, kelas sebelas dan kelas dua belas. Awang menemukan guru wali kelasnya bernama Sufyan Margono, S.Pd. Ternyata bukan bu Marlinda, yang membuatnya sedikit kecewa.

Bangunan utama SMA Panca Warna terletak di lahan seluas 8.000 meter persegi, berbentuk U terbuka dua lantai, dengan bagian tengah menghadap ke utara. Ruang kelas seluruhnya terletak di lantai dua. Di bawah, sayap barat, terdapat kantin, perpustakaan dan laboratorium komputer sekaligus bahasa. Bagian tengah terdapat ruang guru, ruang kepala sekolah dan ruang bimbingan juga sebagai unit kesehatan sekolah. Sayap timur terdapat laboratorium ilmu alam dan ruang serba guna. Terdapat empat tangga yang lebar di masing-masing ujung dan sudut huruf U. Selain bangunan utama, terdapat tempat parkir kendaraan kepala sekolah dan guru, gudang, rumah penjaga sekolah, dan sebuah mushola kecil.

Halaman ditanami beringin kembar dan dihampari rumput hijau cukup luas, sebagian diperkeras dan disemen menjadi lapangan basket, dan secara keseluruhan dapat dijadikan lapangan upacara yang mampu menampung seluruh siswa. Dan itulah yang dilakukan seluruh guru, karyawan dan siswa SMA Panca Warna tepat pukul 07.00, baik manusia maupun makhluk halus yang hadir di situ.



Dayang Marlinda S.Pd—salah satu dari beberapa nama yang digunakannya—memasuki ruang kelas X-3 yang terletak paling ujung sayap barat bangunan utama. Suasana yang tadinya berisik langsung senyap begitu ia muncul di depan pintu. Beberapa anak yang beranjangsana ke meja temannya segera kembali ke kursinya sendiri. Sambil menuju meja guru, ia menjajaki kondisi mental seluruh siswa—18 gadis dan 12 jejaka—tidak seluruhnya masih gadis atau perjaka, pikirnya. Dalam sekejap ia langsung tahu asal muasal, kondisi kejiwaan—kesenangan dan ketakutan—serta karakteristik masing-masing dari mereka. Dan ia bersyukur kondisi mental Awang cukup baik. Sangat baik, malah. Tiara Maya, gadis perawan dengan hati yang lembut, memberikan pengaruh baik. Apakah ia akan menjadi Sri Ratu? Atau salah satu selir? Pikiran konyol itu segera ditepis Marlinda. Awang terlalu pemalu, bahkan untuk ukuran manusia biasa.

“Selamat pagi, anak-anak,” ujarnya sambil menyapu pandangannya ke wajah-wajah murid yang fokus memandang balik. Beberapa anak cowok bahkan lupa mengatupkan mulut mereka yang ternganga lebar. Remaja puber.

“Selamat pagi, bu,” jawaban yang hampir serentak menggema dalam ruangan yang akustiknya cukup bagus untuk ruangan kelas. Ia mencatat dalam hati bahwa Awang menjawab tanpa suara, hanya bibirnya yang komat-kamit membentuk kalimat. Pangeran mahkota yang pemalu.

Ia telah bersama Awang sejak Awang masih berupa janin. Awang bukan anaknya, tentu saja. Tapi perannya sama besar dengan ibu kandung Awang, Tuan Putri Nirmala Rembulan Senja, putri Seri Sultan Agung Iskandar Alam Maha Diraja, penguasa tahta Kerajaan Swarnabhumi. Dan setelah sang putri moksa enam belas tahun lalu, Awang sepenuhnya menjadi tanggungjawabnya. Ia akan mengorbankan jiwanya jika perlu, seperti yang dilakukan putri Nirmala. Tidak pernah terbayangkan—tidak ada ramalan—bahwa Swarnabumi akan mengalami huru-hara seperti yang terjadi di Asgard. Bahkan sekadar intrik yang biasa terjadi di Olimpus tak pernah terdengar di Swarnabhumi. Beribu-ribu tahun Swarnabhumi bersembunyi dengan rendah hati, meskipun wilayahnya terbentang luas di semenanjung dan kepulauan, mencakup kerajaan-kerajaan kecil seperti Jawadwipa, Nusa Penida, Sollabassa, Tanjung Samalakka, Champalla dan Viethlao. Huru-hara yang menggiring sebagian warga Swargabhumi mengungsi, berpencar di seluruh muka bumi. Bagaimana keadaan Swarnabhumi sekarang? Tak pelak pikiran itu melintas di benaknya. Sudah enam belas tahun ia tak melintas batas. Tugasnya sebagai pengawal pangeran mahkota membuatnya selalu waspada, bersembunyi di bawah bayang-bayang menghindari kontak yang tak perlu. Bahkan dengan Firman dan Ismail ia hanya berkomunikasi sekali dua dalam setahun. Meski ia tak ragu sedikitpun bahwa mereka tak jauh darinya. Mereka menjalankan tugas yang sama tapi dengan cara yang berbeda.

“Nama ibu Marlinda, ibu mengajar bahasa Indonesia,” katanya sambil menulis: Dayang Marlinda, S.Pd di whiteboard di dinding depan kelas.

Awang merasakan lagi getaran aneh seperti tadi pagi. Tidak membuatnya takut, malah membuatnya nyaman. Kalau Awang mau berpikir sedikit, mestinya ia menyadari bahwa ia tidak mendengarkan pikiran guru yang satu itu. Ia menangkap pikiran pak Hasanuddin, M.Pd—kepala sekolah—yang ingin memesan tiket pesawat mudik lebaran ke Padang Sidempuan, sekaligus membayangkan rasa pakkat—pucuk rotan yang dibakar—yang pahit-pahit kecut. Ia juga mendengarkan Vinni—cewek seksi kelas XII-S di seberang gedung—tentang cowok ganteng tapi culun, yang mungkin bisa diajak dugem. Wajah cowok ganteng tapi culun itu terbayang jelas, dan itu wajah Awang sendiri, yang merona karena malu, dan tak luput dari perhatian Tiara yang duduk di meja sebelah. Awang menyukai bu Marlinda. Huh, sukanya tante-tante! 

Pikiran Tiara itu mengganggu Awang, karena pertama, bu Marlinda bukan tante-tante, masih muda untuk disebut tante-tante. Kedua, Awang merasa seharusnya Tiara menyadari kalau ia menyukai Tiara. Dan memikirkan itu, terbit rasa malu dan jika saja tidak ada orang lain pada saat itu, Awang sudah lenyap dari pandangan, sesuatu yang sering terjadi tanpa bisa dikendalikannya. Ia tak tahu darimana datangnya kekuatan itu, juga kemampuannya mendengar dan membaca pikiran serta memahami bahasa binatang. Yang tidak disadarinya, bahwa bu Marlinda yang tidak pernah didengar pikirannya, justru sedang membaca isi benaknya. Kemampuanmu itu belum seberapa, pangeran. Akan tiba waktunya saat kemampuanmu mencapai puncaknya, mudah-mudahan saja sebelum musuh mendapatkanmu.

“Guru wali kelas kalian berhalangan hadir. Ibu akan menggantikan beliau sementara. Sekarang kita akan saling berkenalan. Mulai dari kamu,” katanya menunjuk cewek mungil bermata sipit, Lanny, yang duduk di depan kiri semeja dengan Tania, gadis berkacamata yang selalu memegang hidungnya seperti khawatir akan lepas.

Selagi murid-murid kelas X-3 memperkenalkan diri satu per satu, pikiran Marlinda melayang ke masa lampau.



Dayang Kalinda Ranaturi merasakan genggaman tangan Putri Nirmala semakin erat sementara suaranya makin melemah.

“Berjanjilah kau akan menjaga Awang, Kalinda. Jagalah ia dengan jiwa ragamu.“

Di kejauhan terdengar suara dentuman dan ledakan yang menggelegar tak henti-henti dan semakin mendekat. Pintu gerbang luar istana sudah jatuh. Masih ada dua lapis gerbang yang harus didobrak para pemberontak. Tapi mungkin tak kan lama lagi waktu tersisa.

“Hamba berjanji, tuan Putri, akan menjaga pangeran dengan jiwa raga hamba.” Tanpa disadari airmatanya mengalir dan setiap tetesnya berubah menjadi butiran mirah delima. Dari mata sang Putri sendiri berjatuhan untaian intan yang berkilauan. Mereka adalah makhluk abadi. Tak pernah menangis selama beribu-ribu tahun, meskipun waktu adalah konsep ganjil yang baru mereka sadari belakangan ini. Ternyata menangis itu menyakitkan, hati bagai disayat dan juga airmata membeku menjadi batu. Ia menyeka matanya dan menguatkan diri. Ia, Dayang Kalinda Ranaturi, adalah kepala pasukan pengawal keputrian yang perkasa. Beribu-ribu tahun yang lalu ia ikut mempertahankan istana dan tuan putri dari serangan bala tentara Jawadwipa. Ia ikut mengawal sang putri dalam berbagai ekspedisi seperti Dilmun, Talocan, Olimpus, Asgard sebelum Ragnarok. Beberapa tempat yang namanya terlupakan, tinggi menjulang ke langit, jauh di laut dalam atau tenggelam di bawah kulit bumi.

Putri Nirmala mencium bayi mungil yang dipeluknya dengan satu tangannya yang lain, kemudian memberi isyarat agar Kalinda mengambilnya. Kalinda melepaskan genggaman tangan putri yang terasa semakin melemah dan mengangkat pangeran mahkota dari dada sang putri dan mendekapnya dengan erat.

“Terimakasih, Kalinda.” bisik putri Nirmala sambil tersenyum lemah, untuk kemudian perlahan-lahan wajah dan kemudian seluruh tubuhnya bersinar yang semakin lama semakin terang menyilaukan mata dan akhirnya mendadak redup bersamaan dengan hilangnya sang putri. Putri Nirmala Rembulan Senja, putri mahkota Kerajaan Swarnabhumi pun telah moksa. Bayi laki-laki mungil yang digendongnya ini yang akan mengganti ibundanya sebagai calon pemangku mahkota.

Kalinda masih tergagu menatap peraduan putri kerajaan yang kini kosong, sampai mendadak terdengar ledakan hebat yang mengguncang bumi. Pintu Gerbang Tengah telah jatuh. Raungan para naga yang saling bertarung di angkasa membahana memekakkan telinga. Kalinda ingin ikut terjun dalam pertempuran, tapi ia ingat bahwa keselamatan pangeran merupakan prioritas utama. Tubuhnya melayang perlahan untuk kemudian berkelebat nyaris tak terlihat dan semakin cepat menuju kompleks di belakang keputrian.

Tiba-tiba….

“Duaaar!” seberkas sinar lembayung meluruk ke arahnya yang dihindarinya dengan berkelit mundur. Tak tertahankan sinar itu menghantam sebuah batu monolitik penghias taman sebesar mastodon hingga hancur lebur menjadi debu.

“Serahkan pangeran padaku, Kalinda!” Seorang perempuan berpakaian serba ungu yang tak kalah cantik dari Kalinda berdiri berkacak pinggang di tengah taman, di bawah segerumbul aur kuning.

Dengan geram Kalinda menatap penyerangnya.

“Diah Kencana Wungu, teganya kau mengkhianati tuan Putri! Musuh dalam selimut! Menggunting dalam lipatan! Kacang lupa akan kulitnya!” semburnya dengan geram sambil memeluk erat bayi yang tertidur tenang dipangkuannya.

“Kesetiaanku untuk kerajaan Swarnabhumi. Dan pangeran Cakra Harimau Sakti adalah penerus kerajaan yang sah.” Diah Kencana Wungu yang merupakan wakil Kalinda tersenyum sinis.

“Jangan kau sebut nama durjana itu! Si tinggi gunung seribu janji! Bertanam tebu di bibir! Musang berbulu domba!” geram Kalinda.

“Bujuk rayu apa yang dijanjikan padamu?” sambungnya dengan tidak menutupi rasa jijik yang memancar dari wajah cantiknya.

“Hi hi hi….bercermin lah, Kalinda. Tiada bujuk rayu lelaki yang mempan padaku. Aku bukan kau yang lemah pada tipu daya—“

Kekehan Diah Kencana Wungu terhenti saat seberkas sinar merah menghantam dadanya dengan keras. Ia terlontar jauh ke belakang menghantam dinding pembatas istana dan tak sadarkan diri. Ejekannya memancing Kalinda menggunakan seperdelapan tenaga inti saat melontarkan serangan Api Murka Merah. Entah bagaimana nasibnya jika Kalinda mengeluarkan seluruh kesaktiannya. Beruntung Kalinda masih sadar bahwa kebenciannya tertuju pada Cakra Harimau Sakti, bukan Diah Kencana Wungu. Boleh jadi Kencana hanya korban lain, sepertinya dirinya, dulu.

Senja itu langit menyala merah membara. Naga-naga berputar-putar melontarkan api. Atap Balairung mulai menyala berkobar tinggi. Beberapa pohon tembesi dan sawit purba raksasa di halaman depan istana sudah terbakar hangus, mungkin hanya tersisa tunggul hitam berasap. Kembali terdengar dentuman besar yang menggocangkan tanah tempatnya berpijak. Pintu Gerbang Utama telah rubuh. Era Sultan Agung Iskandar Alam Raja Diraja telah berakhir.

Dengan menghela napas panjang, ia memandang tubuh Diah Kencana Wungu yang masih pingsan dengan perasaan campur aduk. Diah Kencana Wungu sudah seperti adik baginya. Pengkhianatannya yang tak masuk akal hanya bisa terjadi karena gendam lelaki jahanam itu. Ia berbalik dan melayang ke bibir sumur yang terletak di tengah-tengah taman. Tidak banyak yang tahu bahwa Sumur Taman Selayang adalah salah satu portal menuju dunia manusia.

“Kalinda! Tunggu!” sebuah suara yang telah lama dilupakannya—atau mencoba untuk dilupakan—menusuk gendang telinganya. Ia menoleh dan melihat di atas tangga pintu belakang istana yang jauhnya sekitar 300 meter tegak berdiri lelaki itu, yang pernah dicintainya beratus-ratus tahun yang lalu, melambaikan tangan. Dari tangan itu meluncur sinar kuning yang meluruk ke arahnya. Kalinda membisikkan katakunci pembuka portal, meluncur terjun sambil memeluk erat pangeran kecil, dan merasakan hantaman keras di punggungnya. Ia melontarkan sandi penghancur portal yang didapatnya dari putri Nirmala beberapa saat yang lalu dan melintas batas bersamaan dengan runtuhnya portal sebelum akhirnya pingsan tak sadarkan diri di tengah hutan sawit dekat jalan Nasional di Pematang Siantar. Kalau saja ia masih berada di bibir Sumur Taman Selayang, ia akan melihat pangeran Cakra—Sultan Agung Cakra Harimau Sakti Raja Diraja—melayang mendekati tubuh Diah Kencana Wungu yang masih tergeletak tak bergerak, mengusap wajahnya dengan lembut hingga Diah tersedak sadar dan segera bangkit berdiri dengan limbung.

“Semua berjalan sesuai rencana.” kata sang raja baru tersenyum pada Diah Kencana Wungu dan melayang menuju istana yang mulai berkobar dilahap api. Diah Kencana Wungu mengangguk takzim dan menjawab, “Daulat, Tuanku.”

Sebelum menembus api yang berkobar, Cakra menoleh dan berkata sendu, "Bahkan keabadian memerlukan pengorbanan."



Kalinda tersadar di atas rumput tebal di bawah sinar bulan purnama yang redup menembus sela-sela daun sawit. Sekujur tubuhnya sakit dan pegal-pegal. Makhluk abadi seperti dirinya tak pernah merasakan sakit, tidak sampai sekarang. Kalau diingatnya lagi, selama ribuan tahun ia belum pernah terkalahkan. Rasa sakit yang pernah dirasakannya adalah nyeri di dada saat airmatanya menetes berubah menjadi butiran mirah delima menjelang sang putri moksa, dan....saat Cakra menghilang tak terlacak, berapa ratus tahun silam.

Ia menyelidiki kondisi sekitarnya dan setelah yakin bahwa tidak ada satu manusia pun yang berada di dekat situ, ia menampakkan diri dan bayi pangeran yang masih nyenyak dalam pelukannya bergerak terbangun. Seekor musang yang terkejut dengan adanya penampakan yang tiba-tiba itu dan segera kabur menjauh.

Perlahan-lahan tenaganya kembali pulih dibantu cahaya bulan. Ia mengucapkan katakunci pembuka portal sambil bersiaga untuk melontarkan pukulan Api Murka Merah, berjaga-jaga jika portal terbuka dan Cakra melompat keluar. Ia menghembuskan nafas lega karena portal tetap tertutup—atau lebih tepatnya—hancur. Tak ada jalan kembali untuk sementara waktu. Memang ada beberapa portal lain yang tersebar di beberapa tempat, tapi tak mudah untuk mencapainya dan ia juga belum berniat untuk kembali. Tidak dalam waktu dekat.

Dua sosok tubuh lelaki menjelma di hadapannya. Firman dan Ismail.

“Bagaimana—“

“Putri telah moksa. Kerajaan telah jatuh.” Kalinda menjawab pertanyaan Ismail yang belum selesai.

Ismail mendekat dan memandang bayi yang terbungkus selimut tenunan songket keemasan di tangan Kalinda. Bayi itu, Awang, tersenyum melihat Ismail. Ia menoleh kepada Firman yang mendekat dan menjulurkan lidahnya yang mungil. Dan akhirnya terkekeh lucu menatap wajah Kalinda.

Kalinda mencium lembut dahinya, dan kemudian menyerahkan Awang ke tangan Ismail yang menerimanya dengan sangat hati-hati, seakan-akan memegang porselen rapuh dari Cina. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Ismail melangkah menuju sebuah pikap yang mendadak muncul di bawah sebatang pohon sawit tua. Wajahnya berubah menjadi lebih gemuk dan tua, rambutnya berubah menjadi lebih tipis dan beruban, dan sekitar perutnya membesar seakan dalam sekejap ia menjadi tambun kelebihan empat puluh kilogram.

Kalinda menoleh ke arah Firman yang masih berdiri diam mewaspadai sekitarnya.

“Aku pergi sekarang. Kontak hanya jika perlu. Meski bumi lebih luas dari samudra, tapi dunia hanya sedaun kelor. Waspadai musuh-musuh kita.” Dan iapun melayang kemudian berkelebat secepat cahaya ke arah kota Medan. Dari Medan ia terbang dengan pesawat menuju Jakarta dan—sedapat mungkin—menjalani hidup sebagai manusia biasa. Di Jakarta, ia mengurus pembangunan gedung Sekolah Menengah Atas Panca Warna yang bernaung di bawah Yayasan Bumi Nirmala Andalas yang telah berdiri setahun sebelumnya. Setelah itu ia berkali-kali pindah tempat dan pekerjaan, mengganti namanya, mengubah penampilannya untuk mengelabui orang-orang yang pernah bertemu dengannya, karena dirinya tak pernah berubah sejak ribuan tahun lalu.



Awang berdiri bengong di depan pintu gerbang sekolah. Hari pertama sekolah hanya berlangsung sebentar. Mereka hanya mencatat jadwal pelajaran dan kemudian disuruh pulang. Apakah ia harus menelpon Mamanya untuk dijemput atau ikut dengan Tiara dan Bimbim berpetualang menjelajah kota naik kendaraan umum? Ia tahu Mamanya bisa mendapat serangan jantung jika ia pergi sendiri tanpa dikawal. Aku tidak sendirian, tapi bersama Tiara dan Bimbim. Alasan yang pasti ditolak Mama. Tapi aku sudah gede!

“Hayo berangkat!” kata Tiara sambil menarik lengannya. Awang tentu saja sudah membaca pikiran Tiara sebelumnya, Ini anak harus dipaksa baru jalan, deh. Tapi Awang suka dipaksa oleh Tiara.

“Sekarang?” tanya Bimbim sambil mengikuti dari belakang.

Taon depan!” jawab Tiara jengkel.

Taon depan pan masih lama?” kembali Bimbim bertanya tanpa rasa bersalah.

Tiara hanya mendengus dan mengerucutkan bibirnya sambil menggandeng Awang yang terseret-seret bagai kerbau dicucuk hidung.

“Sebentar,” katanya. Ia berhenti untuk mematikan Samsung Galaxy S5 terbarunya. “Biar hemat batere,” katanya memberi alasan kepada Tiara yang memandangnya bingung. Hi hi hi….takut mamanya nelpon keles. Awang menghela napas dongkol mendengar pikiran Tiara yang mentertawakannya itu.

Dan bersamaan dengan itu mereka tiba di perhentian busway Pademangan.



Tidak ada komentar: