Rabu, Mei 07, 2008

Majnoon

Kulihat ia sedang mengorek-ngorek tong sampah di depan sebuah rumah makan yang masih tutup. Tangannya menjumput segenggam nasi basi berwarna kuning kecoklat-coklatan, mungkin oleh sebab kuah gulai bercampur jamur. Nasi buangan sisa santapan pelanggan dari rumah makan itu tadi malam.
Wajahnya yang gurat retak tak hendak menyamarkan ketampanan yang mengalahkan pesona aktor tonil Dardanella yang paling masyhur, jika saja pakaian yang dkenakannya tidak tercabik di sana sini dan rambutnya yang kusut masai panjang sebahu berkenalan dengan gunting tukang cukur dan cairan pencuci rambut.
Kulihat mulutnya menggumamkan sebaris kalimat yang tidak begitu jelas sebelum mengantar gumpalan nasi tadi ke liang mulutnya. Perlahan-lahan ia mengunyah sambil terus bergumam meracau terputus-putus dengan nada suara yang rendah.

Tak terduga tiba-tiba ia menangis tersengguk-sengguk.

“Laila….., Laila……,” ratapnya berkali-kali dengan sedu sedan yang menyayat hati. Bahkan sukmaku seakan ikut terhanyut terisak bersamanya.
Dan seperti mulanya yang tanpa isyarat, mendadak tangisnya berganti gelak membahana liar menggedor gendang telinga.

‘LAILAAAAA!” teriaknya meledakkan udara dalam paru-paru seraya menengadah menantang langit. Kedua tangannya terangkat tinggi seperti hendak meraih rembulan purnama yang mulai memudar di dingin pagi.
Ia bertahan dalam posisi tegak mematung dalam waktu lama, seakan membeku menjadi karang batu Malin Kundang yang dikutuk ibu nan durhaka.
Aku tak berlama-lama karnakan pegal kaki berdiri. Kutinggalkan ia yang diam membisu di tengah lalu lalang orang-orang yang bergegas ke tempat kerja.

***

Ternyata itu bukan pertemuan yang terakhir.
Suatu siang kulihat ia saat melintas di pusat ramai kota. Segerombolan anak kecil berseragam sekolah mengikuti dari belakang dan dengan bengis melontarnya dengan sampah dan kerikil sambil bersorak-sorai:
“Majenun cinta Laila! Majenun cinta Laila!”

Ia tak terusik dan tetap melangkah dengan gontai. Mulutnya terus berkomat-kamit seperti mendaras:
“Laila, Laila, Laila Laila….”
Sampai akhirnya seorang nenek renta membubarkan barisan berandal itu dengan ayunan gagang sapu dan sumpah serapah yang ditujukan kepada ibu mereka yang dikatakannya telah melahirkan jadah tak tentu ayah.

***

Beberapa hari kemudian saat makan malam sendirian di sebuah warung tenda kaki lima, aku bergidik sebab rasa semilir angin sejuk menghembus tengkuk. Aku menoleh ke balik pundak dan kulihat ia berdiri sejauh lemparan batu, sedang menatapku dengan matanya yang dalam dan cekung.

Rasa iba membuatku menyuruh pemilik warung untuk membungkuskan nasi sayur dan sepotong daging rendang untuk diberikan pada orang gila itu atas tanggunganku.
Kulihat ia menerima pemberianku dengan mulut bergerak-gerak, meski aku yakin yang diucapkannya bukan kata-kata terima kasih. Tapi untuk menuntaskan rasa penasaran, kutanyakan juga kepada pemilik warung:
“Bibi, ia bilang apa?”
Empunya warung tertawa sambil menjawab:
“Laila… Laila…”
Saat aku melangkah menyusur jalan pulang sesudah santap malam itu, kulihat ia sedang berjongkok dihadapan segerombolan anjing jalanan. Nasi bungkus yang kubeli untuknya dihabiskan oleh kumpulan hewan liar yang kelaparan.

***

Pulang menjelang pagi dari perjalanan jauh membuatku mampir di surau batas kota. Masih ada waktu untuk Isya. Menggigil kedinginan oleh air wudhu, aku masuk ke dalam surau menuju mihrab. Ternyata di sana kulihat si gila sendirian sedang berduduk tahhiyat akhir. Entah untuk shalat fardlu atau sunnah yang mana, aku tak tahu.
Sebelum aku membisik nawaitu dengan sir, sempat kulihat ia menggeleng mengucap salam sementara air mata membanjir di relung pipinya.
Sampai selesai empat rakaatku, ternyata ia masih duduk bersila hanya mengeluarkan suara lirih yang hilang timbul terkurung dinding mihrab:
“Laila…. Laila…. Laila…”
Tapi mengapa aku merasa bukan hanya aku yang mendengar?

***

Setelah peristiwa-peristiwa itu, masih beberapa kali lagi takdir menjumpakanku dengannya. Dalam berbagai waktu dan beraneka suasana. Tapi aku tetap tak kenal siapa namanya sebenar, tak tahu di mana kampungnya berasal, atau keluarga asalnya berkaum.
Ada yang bilang kalau sebetulnya ia anak hartawan yang diguna-guna. Ada juga yang berkisah bahwa ia adalah putra mantan petinggi yang kejam saat berkuasa. Versi lain menyebutkan tentang seorang anak haram artis-tempo-dulu-hamil-diluar-nikah yang seharusnya mampus karena aborsi. Masih banyak cerita-cerita yang kudengar, kesemuanya simpang siur dan tak dapat dibuktikan kebenarannya.

Sampai akhirnya suatu pagi belum lama silam kuterima berita kalau Majnun telah menjadi mayat di emperan toko pekan kota. Jenazahnya akan dikebumikan di kuburan umum pinggiran setelah dishalatkan ba’da Jumat di mesjid raya. Seorang warga keturunan telah menyumbangkan biaya pemakaman si orang gila.
Aku mengikuti seluruh prosesi penyelenggaraan mayat mulai dari memandikan, mengkafani, menyembahyangkan sampai pemakaman. Yang mengantar ternyata cukup banyak. Mulai dari petinggi-petinggi sampai ulama.

Di antara para pengantar terdapat muda mudi yang sebaya dengan almarhum. Mereka ternyata anggota remaja mesjid raya. Aku mencari diraut wajah gadis-gadis pengantar siapa yang tampak paling berduka. Para perwan belia berkerudung itu semua cantik dan sedang tenggelam dalam air mata. Aku tak bisa menentukan satu Laila dari mereka.

Kepada bapak ustadz yang memimpin proses pemakaman aku bertanya:
“Maaf ustadz, siapa di antara mereka yang bernama Laila?”
Bapak ustadz memandangku heran, meskipun akhirnya ia mahfum.
“Maksudmu, Laila yang membuat Majnun gila?”
Aku mengangguk penasaran.

“Tidak satupun dari gadis-gadis itu yang bernama Laila,” jawab pak Ustadz sambil tersenyum misterius.

“Jadi Laila tak hadir di sini?” tanyaku menuntut sebuah kepastian.

“Laila yang dimaksud Majnun bukanlah seorang perempuan, dik” jelas pak Ustadz lagi.
“Bahkan bukan juga manusia……” sambungnya sambil menghela napas.

Aku masih belum paham.

Setelah berpikir sejenak, ia melanjutkan perkataannya.
“Cinta kepada-Nya membuat Majnun bahkan tak mampu menyebut nama-Nya….
Rindu kepada-Nya membuat Majnun gila sehingga lebih mencintai-Nya….
Damba kepada-Nya membuat Majnun semakin jauh dari dunia dan lebih dekat kepada-Nya….”

Pak Ustadz berhenti dan terdiam cukup lama, sebelum menutup dengan kalimat:
“Sekarang Majnun telah pergi untuk bersatu dengan Dia kekasihnya.”

Kuburan itu sepi. Para pengantar sudah lama hilang. Terdengar panggilan shalat Ashar dari surau kecil di kampung dekat tempat pemakaman.
Sebelum beranjak pergi, aku menoleh ke gundukan tanah yang masih baru itu. Di sela-sela kelopak kembang yang ditaburkan gadis-gadis berkerudung tadi, tampak sebatang mawar merah hidup tumbuh dan berbunga indah.

“Pasti ditanam oleh salah satu gadis itu …..,” bisikku dalam hati sambil melangkah keluar gerbang kuburan menuju suara Azan.

-Lalijiwo

Tidak ada komentar: