Gambar di sebelah kukopat dari
Bad grammar in a tourism ad campaign getting the boot
Tadi judul maunya Boedi Oetomo(?).
Tapi karena relevansi tulisan ini dengan "100 Tahun Kebangkitan Nasional", makanya diganti dengan potongan slogan Visit Indonesia Year 2008 yang dihubung-hubungkan dengan peringatan tersebut. Kenapa sepotong? Karena '100 tahun' juga merupakan rentang waktu yang diragukan.
Dari SD kita diajarkan bahwa tanggal pendirian kelompok mahasiswa sekolah kedokteran STOVIA merupakan milestone pertama kebangkitan sebuah nation yang bernama Indonesia. Sayang, sampai sekarang belum jelas apakah tujuan pendirian perkumpulan Boedi Oetomo memang memiliki visi 'Indonesia', atau hanya perkumpulan mahasiswa asal Jawa yang tercermin pada namanya.
Dari segi penggunaan bahasa Melayu yang kemudian diakui sebagai bahasa Indonesia, lebih layak Sarekat Islam/Sarekat Dagang Islam yang lahir pada tahun 1905 sebagai awal bangkitnya kesadaran suatu bangsa. Tetapi Islamophobia yang menjangkiti setiap penguasa mulai dari penjajah Belanda sampai Orde Baru menafikan fakta sejarah ini.
Bangsa ini hidup dalam slogan-slogan kosong yang gagal menjadi picu kesadaran berbangsa. Seperti slogan 'Indonesia Bisa'. Bisa apa? Di Banda Aceh, yang notabene merupakan 'gerbang barat' Indonesia, bahkan orang lebih tahu bahwa 20 Mei kemarin libur Waisak. Hampir tak tampak spanduk atau logo yang berhubungan dengan 'hari nasional' tersebut.
Keindonesiaan hanya dapat diresapi orang-orang di daerah jika 'pusat' tidak memperlakukan daerah sebagai bagian yang potensial untuk dikuras, tetapi penduduknya terlalu malas dan bodoh untuk maju.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar