Rabu, Mei 27, 2009

Licentia Poetica

Akulah kelana kembara membran sepuluh
butir cahaya jelajah hujung rekata terjauh
gunung ganang bukit bukau lembah jurang palung terdalam
masa depan sejangkau kisaran kaukab silam

Akulah hukama pelontar simpulan soal
jangat liat tak terpanggang surya sepenggal
jadam pengelam perak raksa pemudar swarna
jentera pengungkit daya bahtera arung telaga

Akulah raga wadah rapuh kelambur terkikis waktu
terkatah retak berkeping terbantun layu
penampil bungkus mahal asalnya cuai
rupa gergasi gandarwa ketilik kurcaci katai

Akulah ruh atma sukma jiwa nyawa
terkungkung gores kalam melanglang mara
merejah tirai buram selaput kabut
merejuk tinggi bertembung tautan maut

disinilah seharusnya markah buka kurung
karena serupa lagu ini patutnya refrain
seperti susastrawan menoreh masnawi
serupa sutradara mengarah stambul
bagai pujangga lama mencipta kakawin
laksana pelukis meniup senja merah jingga
mirip perupa menyodet urat galih jati belanda
jika ada kurung buka seyogyanya hadirkan kurung tutup
jika dan hanya jika kurawal belum termaktub

Akulah subpartikel meson laju mengabai sinar
supernova kerdil putih lubang hitam pulsar
mutantis mutandis mobile in mobilus cogito ergo sum
tempus fugit multiversal conundruum

Akulah letih litak luluh lantak lunglai ringsek
virus penghantar encok sendi pegal linu demam pilek
vaksin antibodi imunisasi majenun asmara
tak kasat mata walau guna laksaan suryakanta

Akulah cuping hidung kelopak mata daun telinga
kesat lidah sensasi di ujung jemari meraba
denyut nadi debur jantung sengal napas
pheromon endokrin adrenalin insulin pankreas

Akulah kau yang kamu
Namun aku bukan sepertimu

Rabu, April 01, 2009

Jadikan Sebagai Selubung Kerandaku

Wahai saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air,

Di atas pentas kampanye ini aku berdiri,
mengumbar janji-janji
yang kalian harapkan akan kupenuhi
jika aku terpilih nanti.

Di depan mimbar aku berkoar,
mengucap berbagai ikrar
tentang amanah yang akan ku pegang erat
menjalankan tugas sebagai senat.

Kalian lihat bertebaran poster dan spanduk
bermuat wajahku dan kalimat muluk,
tentang jujur dan wiranya aku,
calon pilihan kalian dalam pemilu.

Maka, saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air,

Jika setelah terpilih nanti,
ternyata aku penipu dan pembohong lancung,
hanya menipu dan korupsi,
segeralah aku kalian gantung
di pentas ini sampai mati,
prime time, siaran langsung.

Jadikanlah spandukku sebagai selubung keranda mayat,
kuburkan aku di tempat pembuangan akhir limbah beracun.
Bisikkan namaku seakan gergasi
untuk menakuti anak-anak nakal yang tak hendak makan atau tidur.
Dan ceritakan kisah tentangku setiap waktu
sebagai contoh buruk berperilaku.

(tanda tanganku merah bertinta darah)

Senin, Maret 02, 2009

Wajah Itu

Alkisah (nyata), seorang tokoh masyarakat yang sudah sangat sering memimpin berbagai organisasi, baik organisasi kemasyarakatan maupun profesi, mencoba menerobos masuk departure area di bandara. Ia ditolak oleh petugas security bandara.

Maka iapun menjadi berang.

"Kamu TIDAK KENAL siapa saya?", hardiknya sambil menuding-nuding mukanya sendiri.

Dengan tenang satpam tersebut menjawab:

"Tidak. Memangnya Bapak siapa?"

Kelanjutan kisah ini tak perlu kusampaikan, karena tambah memalukan sang tokoh tadi. Atau malah tambah memilukan, sebenarnya.

****

Aku takjub melihat wajah-wajah penuh percaya diri tapi sekaligus tak bermakna yang bertebaran di batang-batang pohon dan tiang-tiang listrik. Menjajah langit dengan spanduk dan baliho yang menghalangiku menatap biru langit atau hijau daun pohon angsana atau asam jawa di baliknya. Merusak panorama...

Dari ratusan wajah yang hampir serupa, aku hanya mengenal lima-enam raut muka secara samar-samar. Apalagi hampir semuanya berpeci (jika lelaki) atau berjilbab (jika perempuan). Atau berpakaian adat seperti hendak tampil di suatu pentas budaya.
Dengan slogan yang nyaris sama: "Mohon dukungan....", "Pilih....", "Perubahan....".
Aku bersyukur masih mendapatkan selingan wajah Luna Maya pada iklan operator layanan telepon selular, dan lebih hebat lagi, terkadang ada gambar monyet juga.

Apa yang diharapkan oleh para pemilik wajah tersebut? Toh, tak mungkin aku mengijinkan orang yang tak kukenal mengisi kapasitas ruang otakku yang terbatas. Aku bahkan tak mau berpikir: 'Siapa sih, orang ini?"

Walhasil, setelah bulan-bulan berlalu dan aku masih tetap tak tahu siapa mereka.
Emang gue pikirin?

****

Berita di koran:

  • Dua caleg tertangkap membawa ganja untuk dijual sebagai modal kampanye

  • Caleg mendalangi pencurian kelapa sawit (pasti juga buat modal kampanye)

****

Aku bilang pada seorang kawan bahwa aku ingin mengoleksi poster-poster kampanye.
"Menuh-menuhin gudang aja", kata kawanku.
"Paling ntar juga jadi sampah", sambungnya dengan kejam.

Aku tak jadi menceritakan tujuanku yang sesungguhnya.

Aku hanya ingin kelak dapat membandingkan wajah-wajah 'Sebelum Pemilu' dengan 'Setelah Kalah'.