Selasa, September 23, 2014

A+

Kasih menulis cerpen lagi. Aku hanya memperbaiki beberapa kesalahan kata dan tanda baca (ayahkasih)




Hai, selamat pagi mentari yang sedari tadi masih enggan untuk memberi cahaya pada sebagian permukaan bumi. Kau harus tahu, bahwa kau sangat di butuhkan di bumi ini. Jadi, ayo bangun dan sinarilah sebagian bumi yang sedari tadi menunggu sinarmu. Beritahu merekah bahwa hari sudah mulai siang.
Aku menunggu seperti biasa, menunggu jemputanku di stasiun bus. Pagi ini dingin sekali. Aku lupa membawa jaketku.

Di jalan tampak kendaraan bermesin sudah mulai melakukan aktifitasnya. Tapi sedari 15 menit yang lalu, mataku masih belum menangkap bayangan benda besar berwarna oranye dan juga aku belum mendengar suara kernet yang berteriak dari dalam benda besar berwarna oranye tersebut.

Ring..ring..ring…! Suara nyaring handphoneku terdengar dari dalam tas. Tanpa menunggu lama aku langsung merogoh kedalam tasku mencoba mencari sumber dari bunyi nyaring tersebut.

“Hallo..?”

“Cecil, kamu dimana? Sebentar lagi acara donor darah lho! Kita harus siap-siap untuk acara itu. Kami semua membutuhkan bantuanmu.”

“Maafkan aku. Tapi angkutan umumnya dari tadi belum kelihatan, sabar dong Lia.”

Ketika aku lagi berdebat dan diomeli Lia, ada seseorang yang menyentuh pundakku.

“Hei Cil, ayo aku antar saja.”

Ternyata itu Andrew teman kampusku. Aku hanya bisa kaget melihat Andrew berdiri dan menawarkan tumpangan padaku. Aku langsung mengangguk dan mengatakan pada Lia bahwa aku akan diantar Andrew menuju kampus.

Selama dalam perjalanan aku dan Andrew bercerita tentang acara donor darah yang kami buat di kampus. Aku dan Andrew termasuk panitia untuk acara itu.

“Bagaimana kamu bisa bertemu denganku di halte bus tadi?”

“Aku melihatmu mengomel sambil menelepon, dan kamu tampak sangat mencolok dari jauh karena suaramu yang super besar itu.”

Astaga! Detik itu juga mukaku berubah seperti udang rebus yang sedang dimasukkan kedalam panci berisi air panas. Bahkan aku tidak sadar jika suaraku bisa sampai menggelegar seperti badai.

“Ok, kita sampai.”

Andrew memarkirkan mobilnya dekat dengan lokasi acara donor darah di halaman kampus kami. Ketika aku turun dari mobil, Lia langsung datang menghampiriku dan menceritakan bahwa donor darah akan segera dimulai. Aku pergi meninggalkan Andrew dan langsung berlari kedalam tenda bersama Lia.
“Cecilia?”

“Iya, saya sendiri.”

Ketua panitia memanggilku, ia mengatakan bahwa aku akan menjadi orang kepercayaannya. Dan tugas berat telah menungguku 2 hari ini.
   Donor darah hari pertama berjalan sangat lancar, kampusku dipenuhi oleh pendonor darah. Tiba-tiba pada saat aku ingin pulang, handphoneku berbunyi. Aku melihat layar handphoneku dan mendapati tulisan “Ketua Panitia” 

Untuk apa ketua menelponku? Bukannya ia telah menyuruhku pulang? Atau mungkin saja ada hal yang sangat penting yang ingin disampaikan.

“Hallo ketua, ada apa menelpon?”

“Cecilia ada keadaan darurat! Saya mendapat telepon dari panitia di kampus bahwa seseorang kekurangan trombosit dan memerlukan jenis darah tipe A+. Saya tidak tahu harus mencari darah jenis itu dimana. Saya harap kamu bisa mencari secepatnya, Cecil. Saya percayakan padamu.”

Astaga, darah A+? Apa aku tidak salah dengar?

“Baik ketua, akan saya usahakan”

Detik itu juga rasanya nyawaku tidak ada didalam tubuhku, seakan pergi entah kemana. Darah A+ itu adalah darah yang sangat langka. Bagaimana aku bisa dengan mudah menemukannya? Apa yang harus aku lakukan? Cobaan berat apa ini?

Setelah diberi kepercayaan yang begitu berat. Aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Aku bertanya pada semua keluargaku bagaimana aku bisa mendapatkan darah berjenis A+ itu. Mereka semua menjawab bahwa golongan darah A+ itu sangat langka dan hanya dapat ditemukan pada orang tertentu. Contohnya seperti orang kulit putih.

Setelah mengetahui hal itu, seketika seluruh tubuhku lemas hingga aku terduduk di lantai rumah. Keluargaku hanya bisa pasrah. 

Ya Allah aku membutuhkan darah berjenis A+ itu, tolong bantu aku menemukannya Ya Allah. Aku hanya bisa berdoa dan memohon diberi petunjuk dan kemudahan. Aku tidak ingin acara donor darah ini tidak berhasil hanya karena aku tidak bisa mendapatkan darah A+ yang langka itu.
Handphoneku berdering lagi, kali ini yang meneleponku adalah Andrew.

“Ada apa?” tanyaku ketus

“Aku dengar ketua menyuruhmu mencari darah A+ yang sangat susah di dapatkan itu?”

“Iya memang seperti itu, terus kamu menelfonku hanya mau menanyakan hal seperti itu?”

“Tidak Cecilia Nuradila Kresna, aku hanya ingin membantumu”

“Jangan panggil aku dengan nama panjangku, kamu membuatku kehilangan moodku hari ini”

Aku mendengar Andrew tertawa di seberang sana, sungguh menyebalkan sekali.

“Lalu apa yang akan kamu lakukan agar kamu bisa membantuku?”

“Gampang saja, aku hanya perlu memintamu untuk ikut pergi ke Singapore bersamaku”

Seketika aku berhenti bernafas dan aku tercekik.

“APA!? Heh Andraz Wenaldy, apa kamu fikir aku akan sudi pergi denganmu ke Singapore? Aku memiliki kesibukan yang jauh lebih penting yang harus aku selesaikan dari pada aku harus pergi bersamamu.”

“Haha, ayolah Cecil! Tega sekali kamu mengatakan itu padaku. Aku mau membantumu mencari golongan darah A+ itu. Golongan darah itu kebetulan sama dengan jenis golongan darah temanku yang berada di Singapore. Nah, sekarang apakah kamu bersedia ikut pergi denganku ke Singapore?”

Andrew lagi-lagi membuat mukaku kembali seperti udang rebus. Bahkan kali ini lebih merah dari pagi hari tadi.

Aku sudah membentaknya, menolak ajakannya, menuduh niat baiknya untuk menolongku. Dan sekarang aku harus kembali membuat malu diriku dengan mengiyakan ajakannya untuk pergi bersamanya ke Singapore.

“Maafkan aku Andrew”

“Tidak jadi masalah bagiku. Aku akan memesan tiket untuk siang ini. Aku harap kamu bersiap-siap jangan lupa membawa kantong darah dan alat injeksinya.”

“Baiklah, terima kasih Andrew”

“Aku akan menjemputmu 1 jam lagi di rumahmu, kita akan ke bandara bersama-sama”

Aku hanya bisa menuruti semua perkataan Andrew, bagaimanapun juga ia telah membantuku sampai sejauh ini. Bahkan semua biaya kepergianku ke Singapore dia yang tanggung. Aku hanya perlu membawa diriku. Tapi aku sekarang bisa bernafas dengan sangat lega karena mendapat bantuan dari Andrew.

1 jam kemudian Andrew menjemputku di rumah sesuai dengan janjinya.

Aku dan Andrew langsung menuju bandara. Aku sudah menyiapkan segala keperluan untuk pengambilan darah di sana nanti. Aku tidak membawa koper melainkan hanya membawa tas tanganku dan FreezerBox untuk pengambilan darah.

Sampailah aku dan Andrew di Bandara Soekarno Hatta. Andrew langsung memarkirkan mobilnya di tempat yang tidak jauh dari terminal keberangkatan kami. Andrew langsung menyelempangkan FreezerBox di bahunya dan mengeluarkan tiket untuk kami berdua. Setelah berhasil sampai di ruang tunggu.

“Cil, kamu kamu punya makanan apa didalam tas tanganmu?”

“Aku punya roti selai, kamu mau?”

“Ya.”

Aku menyodorkan roti selai itu kepada Andrew, bisa di lihat ia belum makan siang sepertinya. Andrew kelihatan sangat kelaparan, tapi aku pikir roti selai itu cukup untuk mengganjal perutnya yang lagi kelaparan itu.

“Memangnya kamu dari tadi siang melakukan apa saja sih, kok sampai lupa makan siang segala?”

“Aku sibuk mengurus pekerjaan di kampus dan juga acara donor darah itu.”

Pantas saja Andrew tidak sempat makan siang, pekerjaan kampus yang ia hadapi lebih berat dari pekerjaan kampusku. 

Beberapa menit setelah Andrew menghabiskan roti selai yang aku beri tadi, ia duduk terlelap di sebelahku. Handphone Andrew berbunyi, aku fikir mungkin telpon masuk jadi aku mencoba mengambil handphonenya dari saku kemejanya.
Ternyata itu bukan panggilan telpon melainkan SMS masuk.
To : Andraz Wenaldy
From : Raymond 
“Andrew, I’m waiting for you. Come fast. Karena Daniel tidak bisa terlalu lama menunggumu, dia masih punya banyak pekerjaan yang harus dia urus.”

Aku tak menyangka ia sampai menyuruh temannya mencarikan orang yang mempunyai golongan darah A+.

Tiba-tiba pengumuman akan boarding mengagetkanku dan aku langsung menaruh handphone Andrew ke saku kemejanya lagi. Andrew terbangun kaget dan menanyakan padaku bahwa berapa lama ia sempat tertidur.  Aku bangkit dari tempat duduk dan mengatakan ia hanya tertidur 15 menit lamanya.

Setelah melewati belalai gajah dan memasuki pesawat, aku langsung duduk di ujung dekat jendela, sementara Andrew duduk di tengah. Selama perjalanan menuju Singapore, Andrew tertidur cukup pulas dan aku hanya membaca ebook lewat Tab-ku. Perjalanan yang sungguh melelahkan.

Akhirnya kami sampai di bandara Changi Singapore, Andrew segera membawaku ketempat pendonor darah itu. 

“Hei kamu belum makan, ayo kita makan dulu.”

“Sudahlah Cil, soal makan itu gampang. Yang lebih penting itu adalah kita bisa mendapatkan darah A+ itu.”

Tanpa menghiraukan aku, Andrew menarik lenganku dan memaksaku untuk cepat-cepat menaiki taksi.
Saat itu taksi dengan cepatnya membelah jalan Negara Singapore. Masih subuh rupanya, aku hanya bisa menatap jalan yang sangat sepi di Negara ini. Indah!

“Andrew! Hai apa kabar?” sapa seorang pria paruh baya, aku tidak tahu itu siapa. Tapi ia menghampiri Andrew dengan ekspresi yang sangat senang. Seakan pria paruh baya itu sudah lama sekali tidak melihat Andrew.

“Ray, perkenalkan ini Cecilia Nuradila Kresna.”

“Halo saya Cecil.”

“Ya, saya Raymond.”

Oh, jadi Ray ini adalah Raymond yang mengirim SMS pada saat kami sedang di bandara tadi.

“Mari aku antarkan pada Daniel, dia sudah menunggu kalian,” ajak Ray

Sejujurnya, ternyata orang-orang kantoran di Singapore masih bekerja pada waktu subuh seperti ini. Aku bahkan tidak mengetahuinya meski sering berkunjung ke Negara Singa ini.

“Halo Daniel, so glad to meet you here,” sapa Andrew ketika kami memasuki ruang kerja yang begitu besar dan mewah.

“Hei bro, how are you? Long time no see” Daniel terlihat sangat antusias menyambut Andrew.

“Meet my friend, Cecilia Nuradila Kresna” 

“Cecilia,” sambil menyodorkan tanganku kepada Daniel

“Hallo, I’m Daniel nice to meet you Cecil”

Setelah perkenalah dan pertemuannya selesai, Andrew menyuruhku menyiapkan alat untuk pengambilan darah. Aku langsung mengikat lengan Daniel dan mengusapkan alkohol pada bagian yang akan aku tusukkan dengan jarum. Aku menusukkan jarum di lengan Daniel, sementara Daniel masih asyik mengobrol dengan Andrew dan Raymond. Percakapan lelaki. Akhirnya aku bisa mendapatkan darah A+ ini Ya Allah, terima kasih banyak.

Hari yang melelahkan bagiku, kami akan pulang ke Jakarta nanti siang. Jadi aku dan Andrew tidur di ruang kerja Daniel. Karena ruang kerja itu sangat besar, rupanya Daniel punya sofa yang seketika bisa di jadikan tempat tidur. Aku tidur di situ dan Andrew bersama Daniel dan Raymond lenyap entah kemana. Aku tidak terlalu memikirkan mereka bertiga, sekarang yang aku fikirkan adalah aku ingin mengistirahatkan tubuhku ini. Hari yang sangat melelahkan. Kalau di lihat-lihat aku bisa tidur untuk 4 jam ke depan. Setelah sempat terlelap, Andrew membangunkanku. Ia mengajakku sarapan bersama Daniel dan Ray. Aku tidak semangat sarapan bersama mereka. Aku terlalu lelah dan aku kehilangan nafsu makanku.

Raymond mencoba mencarikanku vitamin agar badanku fit lagi. Terima kasih kepada Ray, tubuhku membaik bahkan jauh lebih segar dari sebelumnya. Ray dan Daniel mengantar aku dan Andrew ke bandara, dan aku mengucapkan terima kasih sebanyak banyaknya kepada mereka. 
Sekarang aku harus cepat-cepat pulang ke Jakarta untuk menyerahkan darah ini kepada orang yang membutuhkan.

Aku masih dengan senangnya melihat FreezerBox yang menggantung di bahuku. 

“Andrew, terima kasih untuk semuanya. Jika tidak ada kamu, aku tidak tau harus bagaimana”

“Ya Cecil, aku hanya membantu. Lagipula aku juga panitia jadi aku wajib membantu dan bertanggung jawab.”

Iya betul, aku tidak tahu bagaimana jadinya jika kamu tidak membantuku Andrew.
Akhirnya kami menginjakkan kaki dan kembali ke Jakarta. Andrew dan aku langsung menuju ke mobil yang sedari kemarin masih terparkir rapi di tempat parkiran bandara. Ia langsung mengeluarkan mobilnya dari tempat parkir di bandara dan langsung menuju kampus dengan cepatnya.

“Astaga aku lupa mengabarkan ketua, dan sekarang handphoneku mati kehabisan batrai.”

“Sabar, kita akan segera sampai”

Ketika sampai di kampus, aku langsung mencari ketua dan menyerahkan FreezerBox yang berisi golongan darah berjenis A+ yang langka itu kepada ketua.

“Terima kasih banyak Cecilia Nuradila Kresna, saya tidak salah memilih kamu untuk menjadi orang kepercayaan saya. Terima kasih juga Andrew sudah membantu Cecil”

Kami hanya bisa bahagia dan merasa senang mendapat pujian dari ketua. Akhirnya darah itu di antarkan langsung ke rumah sakit tempat seseorang yang membutuhkan golongan darah itu. Aku dan Andrew berhasil menyelamatkan nyawa seseorang, betapa bahagianya meski banyak sekali rintangan yang aku dan Andrew lalui bersama. Tapi hasilnya sebanding dengan kerja keras kami.

Satu Tetes Darah, Selamatkan Jiwa.





Kamis, September 18, 2014

Bunian Metropolitan (Chapter 3)

Daftar Isi

3


Di ruangan kantornya yang seluas 54 meter persegi, Wulan terserang panik yang luar biasa. Meskipun pendingin ruangan diatur pada suhu 18 derajat celsius, keringat mengucur deras membasahi dahi dan ketiaknya. Lima menit yang lalu, ketika ia memeriksa aplikasi pelacak GPS di Samsung Galaxy S5nya—sama seperti punya Awang, tapi dengan warna yang berbeda—dan mendapati avatar Awang hilang dari peta. Terakhir posisi Awang masih di lokasi sekolah, dan mendadak lenyap begitu saja. Tak mungkin kehabisan daya, karena tadi pagi ia sendiri yang memeriksa status batere smartphone Awang itu.


Ia menelpon.

“Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Coba hubungi beberapa saat lagi.” Benar, telpon Awang tidak diaktifkan.

Ia segera menelpon sekolah. Bu Katrina yang hari itu bertugas menjadi guru piket mengangkat telepon.

“Selamat siang, bu. Saya orang tua dari Awang Mahkota Cavallaro, murid kelas sepuluh tiga. Apakah anak saya ada di sekolah?” tanpa berpanjang lebar Wulan langsung ke inti masalah.

“Maaf, bu. Seluruh murid sudah pulang 15 menit yang lalu.” jawab bu Katrina yang sudah bersiap-siap untuk pulang.

“Kenapa, bu?” desak Wulan setengah memaksa. Awas kalau sesuatu terjadi pada anakku!

“Karena baru hari pertama sekolah, bu. Hanya acara perkenalan antara guru dan murid.” jawab bu Katrina sopan.

“Terima kasih, bu. Selamat siang.” Bersamaan dengan itu Wulan menutup sambungan.


Mungkin aku harus menyewa pengawal buat Awang, pikirnya. Tapi pikiran itu segera ditepisnya. Bisa-bisa Awang mogok makan dan bicara, dan Luigi juga pasti tidak setuju. Bukannya Luigi tidak menyayangi Awang, tapi ia berpendapat sebagai laki-laki Awang harus belajar menghadapi dunia nyata. Bukankah ia, istrinya yang cantik jelita, terbiasa hidup mandiri sejak kecil? Begitu Luigi pernah menggoda sambil membelai rambutnya.


Wulan kembali mencari nama Tiara di phonebook telepon genggamnya. Untung ia menyimpan nomor gadis itu, siapa tahu diperlukan suatu waktu, seperti sekarang ini. Ia menyentuh tombol panggil dan mendengar nada sambung. Tidak diangkat. Ia mencoba lagi dan lagi. Tetap nihil.

Akhirnya ia menekan tombol di keyboard ergonomis yang tertanam di pegangan kursi direktrisnya dan sebuah monitor layar datar 29 inci muncul perlahan di mejanya. Dengan cekatan ia menyentuh layar beberapa kali dan wajah tampan Luigi tampil di layar. Di dinding belakangnya tampak lukisan besar Luigi dan dirinya mengapit Awang. Luigi sedang berada di kantornya di Geylang, Singapura.

“Hai sayang, rindu padaku?” senyum Luigi yang menawan menggodanya. Mereka baru berpisah tiga hari.

“Awang menghilang!” jawab Wulan mengabaikan godaan suaminya itu, dan tanpa disadari airmatanya mulai mengucur.

Ho….how?” tanya Luigi bingung.

“Teleponnya mati dan dia…dia…dia tidak ada di sekolah.” Terisak-isak Wulan menjelaskan. Ia menyapu ingusnya dengan tisu.

Hebat! Akhirnya anakku bolos untuk pertama kalinya! Pikir Luigi dan tak sadar ia tersenyum. Tapi segera dihapus senyumnya itu, khawatir ketahuan oleh Wulan. Luigi sebenarnya ingin Wulan tidak terlalu memanjakan Awang. Atau lebih tepatnya, over protektif. Ia menyayangi Awang sama seperti Wulan. Ia menganggap Awang sebagai anak kandungnya, sama seperti Wulan. Bahkan, Awang mengingatkannya akan Mario, saudara kembarnya yang hilang sembilan belas tahun lalu. Mungkinkah Awang merupakan reinkarnasi Mario? Pikiran yang bukan cuma sekali muncul dibenaknya. Awang persis Mario sewaktu muda, hanya saja rambut Awang lebih gelap, coklat tua nyaris hitam. Dan warna matanya juga coklat tua. Ia bahkan bisa membayangkan kalau ia dan Wulan punya anak lagi, cowok atau cewek, wajahnya akan mirip dengan Awang.


Belissima, coba hubungi terus Awang dan cari tahu dari teman-temannya. Aku segera ke bandara dan terbang dengan pesawat pertama. Tapi, demi Tuhan, jangan hubungi polisi dulu.” Luigi mengingatkan istrinya. Mudah-mudahan Wulan masih cukup waras untuk tidak menimbulkan kehebohan besar-besaran. Ini masih pagi dan mungkin Awang sedang bersenang-senang dengan teman-temannya. Dan setelah mengucapkan ti amo, ia menutup aplikasi videocall telepon genggamnya.

Wajah Luigi menghilang dari layar monitor. Wulan terduduk diam beberapa saat. Pandangannya beralih ke jendela kaca seluas dinding yang mengarah ke pemandangan kota baru Pluit. Dari lantai dua puluh sembilan, bahkan ia bisa melihat kereta gantung Ancol di kejauhan. Bibirnya komat-kamit, jangan panik, jangan panik. Airmatanya masih mengalir deras.



Pematang Siantar, enam belas tahun silam.

Luigi menunggu sampai suara pikap tua Jalal benar-benar menghilang sebelum ia mengunci pintu depan dan kembali ke ruangan tempat pertemuan. Kemudian bersama-sama Wulan, ia menuju kamar lain yang sudah diubah menjadi kamar bayi. Wajah Wulan yang cantik nampak lelah, tapi ia tersenyum bahagia. Bayi mungil itu perlahan membuka matanya, membelalak memandang Wulan dan Luigi, dan tersenyum lucu.

“Oh, lihatlah…. Senyumnya manis sekali!” seru Wulan sambil mengucurkan airmata bahagia. Selama delapan bulan Wulan menaikkan berat badannya sedikit demi sedikit, mengganjal perutnya dengan bantal, memamerkan perutnya yang ‘membesar’, dan untuk kedua kalinya menginjakkan kaki di rumah perkebunan berikut kebun sawit 40 hektar dan sebuah pabrik yang baru delapan bulan lalu dibeli Luigi atas namanya. Krisis moneter yang melanda Asia justru menjadi berkah terselubung buat Luigi—dan juga Wulan.

Semua jerih payahnya membohongi publik dengan pura-pura hamil terbayar sudah. Dulu mereka sempat ragu, ketika Jalal memberikan usul aneh itu. Tapi entah bagaimana, akhirnya Luigi dan Wulan sepakat menjalaninya. Apa lagi Luigi tambah kurus dan sempat jatuh sakit dan dirawat di Mount Elizabeth Hospital, Singapura karena mimpi-mimpi buruk yang mendatanginya setiap malam, dan makin lama semakin parah.


Ia ingat, mereka menikah secara sederhana di sebuah mesjid kecil di Medan, 27 Juli 1997, setelah Luigi mengucapkan dua kalimat syahadat. Meskipun dalam hatinya ia menyadari bahwa Luigi bukan seorang Katholik yang taat, bukan juga seorang yang relijius, tapi bahwa ia mau berpindah agama demi menikahi Wulan membuat Wulan bahagia. Luigi ternyata sudah dikhitan di masa mudanya, hal yang ditanyakan Wulan tapi dijawab Luigi bahwa ia ditantang temannya melakukan hal itu, dulu. Yang tidak diceritakan Luigi, bahwa tantangan itu diterimanya dalam keadaan mabuk. Ia dan dua temannya sesama anak buah kapal barang yang sedang bersandar di Port of Manila untuk bongkar muat memutuskan untuk bersenang di bar lokal dan mereka bertiga telah menghabiskan dua puluh tiga botol Red Horse, ketika memutuskan untuk menyusuri jalan yang ramai oleh pelaut, pemabuk, mucikari dan pelacur. Dalam benak mereka yang dibawah pengaruh berat alkohol, hanya ada satu tujuan: perempuan. Tapi langkah Luigi yang tidak terbiasa mabuk telah gontai dan omongannya mulai meracau. Mereka melewati sebuah kedai tatto, dan Piet van Markel, temannya yang berasal dari Rotterdam, menantang. “Kalau kau betul lelaki, lakukan!

“SIAPA TAKUT!” balas Luigi lebih keras dan dengan sempoyongan ia melangkah. Yang tidak disadarinya, saking mabuknya ia salah masuk ke bangunan sebelah yang bertuliskan pagtutuli clinic.

Dan ketika tersadar keesokan harinya di atas ranjang sempit dalam kabin awak, dirasakan selangkangannya perih. Jeritnya menggema saat mengintip ke bawah celananya, dan selama seminggu Luigi berjalan terkangkang-kangkang.

Pernikahan mereka hanya dihadiri Firman dan Ismail sebagai saksi. Setelah upacara akad nikah, mereka melaju dengan mobil sewaan menuju Berastagi. Lewat sepertiga malam saat mereka tiba di hotel yang telah dipesan oleh Firman, dan tak ada staf hotel menyambut. Sekerumunan orang bergerombol di depan televisi di lobby hotel yang menyiarkan gambar seorang jenderal sedang memberikan konferensi pers tentang penyerbuan kantor PDI pimpinan Megawati Soekarno Putri. Akhirnya dua orang bellboy berlari-lari menghampiri setelah menyadari bahwa ada tamu yang datang. Setelah check-in, mereka diantar ke honeymoon suite di lantai lima. Luigi memberi tips sebesar 50 ribu rupiah kepada masing-masing bellboy yang disambut dengan senyum lebar.

Mereka baru tidur setengah jam setelah berkali-kali mereguk kenikmatan sebagai sepasang suami istri, ketika menjelang dinihari tiba-tiba Luigi berteriak, tersentak bangun dengan nafas tersengal-sengal dan keringat mengucur deras di tubuhnya yang setengah telanjang. Wulan yang terbangun kaget segera mengambil secangkir air hangat dari termos hotel dan menyodorkannya pada Luigi. Dengan sabar ia menunggu sampai Luigi mereguk air hangat tersebut dan nafasnya kembali normal.

“Mario….” desis Luigi. “Ia menyuruh kita untuk segera punya anak, terserah bagaimana caranya.”

Wulan tersenyum dan memeluk Luigi, berbisik ditelinganya, “Tanpa diminta pun dengan senang hati aku akan mengandung bayi—anak-anak—kita, sayang.”

Luigi memegang kedua bahu Wulan dan memandangnya seperti orang linglung.

“Menurut Mario, aku takkan bisa punya anak. Kita harus mengadopsi seorang bayi.”

Giliran Wulan yang melongo.

Luigi belum selesai. “Dan kalau kita tidak melakukannya, Mario bersumpah akan menerorku setiap malam.”

Dan Mario—atau arwahnya, melaksanakan sumpahnya.


Terbukti bahwa Luigi memang mandul. Spermanya sangat lemah. Selama lima bulan, mereka berkeliling dunia —Singapura, Australia, Korea Selatan, Jepang, Cina dan Amerika—mendatangi para dokter ahli yang semuanya memberikan diagnosa yang sama: kemungkinan Luigi memiliki keturunan adalah satu banding lima juta, bahkan kurang. Intinya: nihil. Tidak ada prosedur atau obat-obatan yang dapat mengubah keadaan. Sebagai seorang lelaki dan suami, Wulan tidak mempunyai keluhan. Tetapi ia tetap takkan menjadi seorang ayah. Sementara itu Mario terus mendatangi Luigi dalam setiap tidurnya, membuat Luigi terbangun basah oleh keringat dan menggigil ketakutan.

Sampai akhirnya mereka bertemu Jalal.

Luigi dan Mario dalam perjalanan pulang merayakan Malam Tahun Baru di Danau Toba sambil menemui seorang ‘pintar’di Parapat dan berhenti untuk beristirahat sambil menikmati secangkir kopi di sebuah kedai di pinggir jalan nasional setelah Pematang Siantar.

“Sayang….mengapa kita tidak mulai berusaha mengangkat anak seperti yang diminta Mario?” kata Wulan dalam bahasa Inggris sambil memeluk sebelah bahu Luigi yang duduk menempel rapat di sebelahnya. Mereka duduk di bangku kayu panjang tanpa sandaran, cukup untuk tiga orang, menghadap meja di pinggir kedai menghadap jalan. Selain mereka, hanya ada seorang laki-laki berkulit gelap setengah baya bertubuh gemuk dan memakai topi laken yang tergantung dibelakang lehernya sedang membaca koran lokal di meja sebelah. Secangkir kopi yang sudah dingin tak tersentuh di hadapannya, ditemani sepiring jadah seperti pisang goreng dan roti selai srikaya yang juga masih utuh. Mungkin pengemudi pikap yang mengangkut buah salak, yang parkir di samping mobil sewaan mereka.

“Tapi kita harus mulai dari mana, sayang? Aku tidak keberatan untuk mengambil anak dari suku bangsa mana pun, asal tidak jadi masalah di kemudian hari. “ jawab Luigi sambil menghela nafas panjang. Wulan memandang dengan prihatin wajah Luigi yang mulai tirus. Bagian bawah matanya menghitam karen kurang tidur. Ia terlihat lebih tua sepuluh tahun.

Tiba-tiba lelaki di sebelah mereka itu meletakkan korannya dan menyela,

“Maaf. Saya tak sengaja mendengar percakapan Anda berdua. Saya beberapa kali pernah menolong pasangan suami istri seperti kalian.” katanya dalam bahasa Inggris yang nyaris sempurna.

“Nama saya Jalal.” Ia mengulurkan tangannya untuk menyalami Luigi dan Wulan.


Jalal bercerita bahwa ia pernah menolong beberapa wanita yang hamil setelah menjalin hubungan dengan orang kulit putih—menikah atau hidup bersama tanpa ikatan—tapi kemudian ditinggal pergi. Dari dompetnya ia mengeluarkan tiga buah foto lusuh, masing-masing bergambar pasangan laki-laki kulit putih dan wanita pribumi yang berbeda, sedang menggendong bayi. Latar belakang foto beragam, tapi jelas bukan di Indonesia.

“Ini orang-orang yang pernah saya bantu. Mereka mengirim foto ini sebagai tanda terima kasih.”

Luigi memandang foto-foto itu dengan skeptis.

“Tapi….apakah orang tua kandung bayi-bayi ini orang baik-baik?” tanyanya sambil memberikan foto-foto tersebut untuk dilihat Wulan.

“Tuan, baik atau buruk seseorang hanya ruang dan waktu yang menentukan,” jawab Jalal dengan memberi penekanan pada kata space dan time.

“Setiap bayi terlahir suci. Lingkungan yang menjadikannya baik atau jahat,” sambungnya lagi sambil memandang Luigi dengan tajam, membuat Luigi merasa bersalah.

Wulan masih memandangi ketiga foto tersebut. Dalam benaknya, ia melihat bahwa dirinya dan Luigi lah yang berada dalam setiap foto itu.

“Kalau Anda berminat berikan saya nomor telepon Anda yang bisa saya hubungi,” kata Jalal sambil meraih saku bajunya, mengeluarkan Motorola StarTAC yang mengingatkan Luigi akan serial tv Star Trek.

Wulan mengambil Nokia 9000 dari dalam tas tangannya dan menyebutkan sederet angka. Jalal memencet sejumlah tombol. “Tidak ada sinyal,” keluh Jalal. Ia kemudian memberikan nomornya untuk disimpan Wulan.

Mereka berpisah setelah Jalal berjanji akan menghubungi begitu ada kandidat yang sesuai, dan sebelum melanjutkan perjalanan pulang ke Medan, mereka melihat pikap tua Jamal terseok-seok menuju ke arah Pematang Siantar.

Tiga bulan kemudian, Maret 1998, Jalal menelpon meminta untuk bertemu di sebuah rumah perkebunan di Pematang Siantar.

Berita bagus,” kata Jalal sebelum menutup telepon.


Mereka bertemu di rumah yang sekarang menjadi miliknya. Miliknya dan Luigi, tentu saja. Dan sekarang juga menjadi milik bayi mungil yang diletakkannya di ranjang bayi yang dilengkapi radio dua arah.

Dalam pertemuan itu, Jalal mengatakan telah mendapat seorang wanita hamil yang ditinggal suami kulit putihnya. Bayinya akan lahir sekitar akhir Nopember atau awal Desember. Ia dengan susah payah menghidupi dirinya sendiri, dan seorang bayi dengan ayah yang pergi tanpa memberikan nafkah akan membuatnya semakin terpuruk.

"Tidak, dia tak ingin bertemu dengan calon orang tua anaknya," kata Jalal ketika Wulan menyatakan keinginan untuk bertemu dengan ibu calon anaknya.

Jalal menyebutkan sejumlah uang untuk biaya hidup ibu hamil sampai melahirkan berikut biaya persalinan. Jumlah yang tidak terlalu besar. Juga instruksi agar Wulan pura-pura hamil selama delapan bulan ke depan.

“Saya bukan penjual bayi,” kata Jalal. “hanya menolong orang yang membutuhkan.”

“Berarti baru hamil satu bulan,” gumam Wulan.

Sepuluh bulan, kata Jalal dalam hati.

Wulan memandang rumah tua yang terawat dengan baik itu.

“Ini rumah Anda?” tanyanya pada Jalal.

“Bukan. Ini rumah teman saya yang mau dijual. Dia bangkrut karena meminjam uang di bank dalam dolar Amerika.”

Krisis moneter yang sudah berlangsung beberapa bulan menyebabkan banyak orang jatuh miskin, pikir Wulan.

“Berapa harganya?” kali ini Luigi yang bersuara.

Dalam dua minggu, rumah berikut perkebunan dan sebuah pabrik kelapa sawit berpindah tangan atas nama Wulandari Goeritna Cavallaro. Dan perutnya membesar layaknya wanita hamil.


Wulan bermimpi sedang bermain-main dengan Awang yang baru berumur dua hari itu memanggilnya “Mama” dan menunjuk keluar jendela. Wulan melihat ke arah yang ditunjuk Awang. “Look. A tiger!” Kata Awang sambil tertawa.

Ia terjaga dan memasang telinga dalam gelap. Dari radio yang terhubung dengan kamar bayi terdengar gelak tawa bayi. Wulan segera bangkit dan berlari kencang ke kamar bayi. Di kegelapan ia melihat bayangan seekor kucing besarbukan, harimau—sedang mondar-mandir di sekitar ranjang bayi. Ia menyalakan lampu dan melihat tidak ada kucing ataupun harimau. Dan juga tidak ada Awang. Wulan menjerit sebelum terjatuh pingsan.

Ketika tersadar, ia berada di pangkuan Luigi yang menatap cemas.

“Awang….Awang hilang…,” bisiknya lemah.

Luigi terlihat bingung. Ia menoleh ke ranjang bayi dan Wulan mengikuti arah pandangannya. Di ranjang, Awang sedang tidur nyenyak sambil mengisap jempol tangannya.

Baik Wulan maupun Luigi menganggap bahwa kejadian malam itu hanyalah akibat mimpi buruk belaka. Yang tidak mereka ketahui, keesokan harinya para pekerja di rumah mereka heboh dengan ditemukannya jejak harimau yang masih segar di tanah becek di bawah jendela kamar bayi. Luigi, Wulan dan Awang sudah berangkat pagi-pagi buta menuju rumah mereka di Medan. Sebuah kamar bayi lain telah disiapkan di sana.



Jakarta, 17 Juli 2014.

Wulan menyentuh layar monitor dan wajah Kimori, sekretarisnya, menjelma.

“Suruh Antara menunggu di depan. Saya akan keluar dan belum tahu kapan kembali. Batalkan semua janji temu, reschedule yang urgent.”

“Baik, bu.”

Sekali ketukan pada keyboard dan wajah Kimori pun lenyap.

Ia meraih tas tangannya dan berjalan ke lift pribadi yang berada di samping pintu ruang kantornya. Lift itu akan membawanya turun ke lantai dasar tanpa berhenti. Kembali ia mencoba menelepon Awang. Masih suara ‘di luar area’ yang sama. Ia merogoh tasnya dan mengeluarkan bedak dan maskara dan membereskan dandanannya yang berantakan. Tak lupa kacamata hitam merk Dior untuk menutupi matanya yang bengkak sehabis menangis.

Begitu sampai di bawah ia bergegas menuju pintu keluar dan hanya mengangguk ketika concierge mengucapkan salam. Penjaga pintu yang mengucapkan selamat siang dan membantu membukakan pintu mobil hanya mendapatkan anggukan kecil tanpa senyum.

“Ke sekolah!” perintahnya begitu pantatnya menyentuh jok belakang Mercedes Benz C350 hitam metalik.

Mobil melaju tenang. Tanpa dibilang pun Antara sudah tahu bahwa yang dimaksud dengan 'sekolah' adalah SMA Panca Warna. “Lebih cepat!” hardik Wulan. Bukan kebiasaannya menjadi jutek, tapi ini kejadian di luar kebiasaan. Supir menginjak pedal gas lebih dalam, berusaha menembus kemacetan menjelang pintu masuk tol Pluit 3.

Wulan memandang ke luar kaca jendela mobil yang gelap. Gedung-gedung pencakar langit di sisi jalan  membatasi jarak pandangnya. Sebuah baliho besar yang mengiklankan kondominium di tepi pantai membawa pikiran Wulan melayang ke pantai Anyer, 15 tahun silam.


Ia, Luigi dan Awang yang berusia 4 bulan berlibur di Sanghyang Indah Spa Resort di kawasan Anyer. Mereka menyewa villa dengan pemandangan ke laut. Samar-samar terlihat gunung Krakatau dengan asapnya yang mengepul di kejauhan. Tidak ada cahaya bulan, karena malam itu malam satu Suro. Luigi baru datang dari Marsailles dan ia membutuhkan istirahat sejenak setelah terbang berjam-jam. Awang tidur di kamar dengan tempat tidur double. Luigi di kamar sebelahnya. Wulan duduk di teras villa menikmati deburan ombak dan tarian cemara laut yang meliuk santai mengikuti angin yang berhembus pelan.

Ia merindukan pelukan Luigi. Masih ada waktu, pikirnya dan menjadi malu sendiri. Sudah setahun Luigi tak diganggu lagi oleh mimpi buruk. Tubuhnya sudah kembali bugar seperti sebelumnya dan pada wajahnya tidak menyisakan derita yang datang dari mimpi-mimpinya dulu.

Empat tahun yang lalu, pikirnya, aku adalah Wulan yang pengangguran, kesepian dan nyaris putus asa. Telepon dari Firman, liaison Bunyan Worldwide Agency, telah mengubah hidupnya. Satu demi satu rahasia diungkapkan Firman, meskipun sebagian dari kisahnya masih sulit untuk dipercaya. Apalagi Luigi yang skeptis, semua hal yang terjadi masih menyimpan sejumlah pertanyaan besar.

Ia berdiri dan berjalan menuju pantai yang terbentang di depan. Sebagai orang Bandung, ia jarang menginjakkan kaki di pantai atau membasahkannya dengan air laut. Memang bersama Luigi, ia telah mengunjungi beberapa resort tepi pantai berbintang lima di berbagai penjuru dunia. Luigi hanya memperoleh visa kunjungan bisnis atau keluarga. Setiap visanya kadaluarsa, Luigi harus terbang keluar Indonesia untuk memperbaruinya. Terkadang Wulan ikut dan mereka memilih menghabiskan waktu di resort pantai seperti di Pulau Pinang, Langkawi, Redang, atau Malaka. Apalagi masa-masa mereka berkeliling dunia dalam rangka memperbaiki masalah kesuburan Luigi, fasilitas medis yang didatangi umumnya terletak tak jauh dari tepi laut. Tapi Wulan tak pernah puas menikmati pantai, sama seperti Luigi.

Ia baru berjalan sekitar sepuluh langkah ketika menoleh ke arah villa karena mendengar sesuatu. Di jendela kamar Awang yang gordennya tersingkap, tampak seorang wanita bersanggul besar dan memakai korset hijau—tubuh bagian bawahnya terhalang dinding—sedang menggendong bayi—Awang, yang tertawa terkikik-kikik. Ia segera berlari sekencang mungkin ke dalam villa, terbang melintasi ruang keluarga, dan mendobrak masuk ke kamar yang lampunya dibiarkan menyala. Tidak ada siapa-siapa, selain Awang yang memandangnya dengan tersenyum dari tengah ranjang yang dikelilingi bantal untuk mencegah Awang terjatuh ke lantai. Untung anakku tak apa-apa, katanya dalam hati sambil menghembuskan nafas lega.

Kalau saja Wulan memandang ke jendela ke arah laut yang gelap, ia akan melihat seorang wanita yang dalam mitos disebut dengan nama Nyi Roro Kidul sedang berdiri tegak di atas air sambil tersenyum, dan kemudian perlahan-lahan tenggelam menghilang ditelan Samudra Hindia.

***

Tiba-tiba terdengar nada panggil dari Samsung Galaxy S5 yang tergeletak disampingnya. Wulan tersentak dari lamunannya, dan jarinya menyentuh layar touchscreen.

“Awang, maneh teh di mana, sayang? Dari tadi mama tilpun lamun teu aya nada panggil. Kunaon hape kamu dimatiin, sayang?” cecarnya antara khawatir dan lega.

“Aku lagi di Mall Taman Anggrek, Ma. Mama tadi nelpon Tiara?”

Tanpa membuang waktu sedetikpun, Wulan memerintahkan Antara untuk ngebut ke Mall Taman Anggrek.



Senin, September 15, 2014

Bunian Metropolitan (Chapter 2)

2




Jakarta, 14 Juli 2014

Awang berdiri termenung di depan pintu gerbang yang masih terkunci. Masih terlalu pagi, ternyata. Baru ia satu-satunya yang hadir di sekolah ini. Sekolah barunya. Hari pertamanya sebagai murid sekolah menengah atas. Ia menoleh ke arah mobil Mercedes Benz C-Class C350 hitam metalik keluaran tahun sebelumnya dan melambaikan tangan. Mamanya nongol dari pintu belakang.

“Oke, Ma. Mama pergi saja!” teriaknya.

“Tapi belum ada siapa-siapa, sayang!” Wulan balas berteriak sambil membuka pintu.

Mati aku! Mama tetap saja memperlakukanku seperti bayi! jerit Awang dalam hati.

“Maaa….jangan bikin aku malu, dong!”

“Tapi ‘kan belum ada siapa-siapa, sayang. Siapa tahu kamu salah, kalau-kalau ternyata sekolah baru mulai minggu depan—“

“Ya gak mungkin lah, Ma!” sungut Awang yang bertambah panik karena membaca niat Wulan untuk ikut menunggu sampai pintu gerbang sekolah dibuka, setidaknya ada murid atau guru yang datang menemani Awang. Tepatnya, Awang mendengar niat mamanya itu dengan jelas, seperti diucapkan langsung ke telinganya: Aku harus menunggu sampai pintu gerbang dibuka, setidaknya sampai ada murid atau guru yang datang.

“Kalau Mama di sini aku mogok makan,” ancam Awang sambil berpikir, mungkin suatu saat aku akan mati karena malu, bukan karena lapar atau sakit.

Áncamannya itu membuat langkah maju Wulan terhenti satu meter dari Awang. Ah…kalau aku masak pindang patin pasti mogok makannya batal.

“Biarpun Mama masak pindang patin, aku tetap akan mogok makan.” Kata-kata Awang menunjukkan bahwa ancamannya tidak main-main.

“Baiklah. Mama nyerah, deh.Keukeuh, mirip pisan papana. Dan meskipun Awang tidak pernah belajar bahasa Sunda, ia mengerti bahwa arti pikiran Wulan yang tak terucapkan tapi dapat didengarnya itu adalah, keras kepala, mirip sekali papanya.

“Baik-baik ya, sayang?” ujar Wulan sambil masuk ke mobil dan kemudian memerintah Antara, supir pribadinya, untuk berangkat menuju kantor.

Sebelum mobil itu menghilang di tikungan, Awang masih sempat melihat Mamanya menoleh dan berpikir, Awang jangkung pisan, komo Luigi.

Tiba-tiba Awang dikejutkan dengan suara sapaan dari belakangnya.

“Selamat pagi. Kamu murid baru?”

Awang membalikkan badan. Seorang wanita muda yang kelihatan berusia antara 20 - 24 tahun telah berdiri dan tersenyum manis. Pasti salah satu guru.

“Iya, bu.” Katanya tersipu-sipu. Untung mama sudah pergi! Apa kata dunia nanti, anak laki-laki sebesar dia masih diantar mamanya?

“Nama ibu Marlinda dan ibu mengajar Bahasa Indonesia.” Wanita itu memperkenalkan diri dan mengulurkan tangannya. Awang menyambut tangan Marlinda dan sejenak ia merasakan getaran aneh yang sepertinya tidak asing tapi belum dikenalnya.

Kalau saja Wulan masih di situ dan bertemu dengan Marlinda, mungkin ia akan mengerutkan kening sampai berlipat tujuh. Ia pasti akan merasa mengenal guru Bahasa Indonesia tersebut. Bahkan mungkin akan menghubungkannya dengan sekretaris yang bekerja di kantor Bunyan Worlwide Agency di Bandung dan pramugari di pesawat jet Gulfstream IV yang menerbangkannya dan Luigi dari Cengkareng ke Medan, 19 tahun yang lalu. Dalam usianya yang 45 tahun Wulan tetap cantik, tapi beberapa kerutan halus hadir di wajahnya menunjukkan kematangannya sebagai seorang wanita dan seorang ibu. Sementara Marlinda persis seperti sang sekretaris atau pramugari hampir dua dekade yang lalu, seakan-akan kembar yang terlahir 19 tahun kemudian.

Awang menjabat tangan halus tersebut sambil berkata, “Nama saya Awang Mahkota, bu.” Ia jarang menyebutkan nama belakangnya. Dan bersamaan dengan itu pintu gerbang sekolah terbuka.

Aku tahu namamu, nak. Bahkan aku tahu namamu yang sebenarnya, Seri Pangeran Mahkota Awang Wira Kelana Cavarallo, batin Marlinda. Tapi tentu saja Awang tak bisa mendengar suara hatinya.

Marlinda melangkah memasuki halaman sekolah dan menyapa pak Gimin, penjaga sekolah yang selalu membuka gerbang setiap pukul 06.15. Tidak pernah terlambat atau lebih cepat walau semenit pun. Pak Gimin yang sudah berusia 60 tahun tinggal seorang diri di rumah kecil di pekarangan SMA Panca Warna.

Awang menoleh ke seberang jalan karena ia tahu dalam waktu sedetik kemudian namanya akan dipanggil oleh seorang gadis.

“Awang!” Tiara Maya, teman sekelas sewaktu SMP dan sekarang—mudah-mudahan—satu kelas juga di SMA Panca Warna ini. Itu doanya. Mak oi! Cantiknya! kata hati Awang memandang gadis yang sedang menyeberang jalan dengan rambut sebahu berkibar-kibar karena sambil berlari menyeberang Tiara menoleh ke kanan dan kiri mengawasi kendaraan yang melintas. Awang sudah terpikat oleh pesona Tiara sejak mereka sama-sama di Taman-Kanak-Kanak. Tiara yang jutek, bermulut tajam tapi pintar, cantik, percaya diri dan selalu membela Awang yang sering dibully teman-teman lain karena sifatnya yang pemalu. Selanjutnya Awang masuk ke Sekolah Dasar tempat Tiara juga bersekolah. Begitu juga dengan Sekolah Menengah Pertama mereka. Selalu sekelas.

Sebenarnya Awang bisa saja masuk sekolah yang lebih bergengsi. Papanya, Luigi Cavallaro, memiliki usaha pelayaran dan pengangkutan kargo yang menyebar di seluruh dunia. Mamanya, Wulandari Goeritna Cavallaro, juga seorang pengusaha kaya yang memiliki perkebunan sawit, karet dan tebu beribu-ribu hektar di Indonesia, Malaysia dan Brasil. Tentu saja selain kebun diikuti pabrik-pabrik pengolahannya. Tapi, baik Luigi maupun Wulan tak bisa mengubah keinginan Awang untuk bersekolah di sekolah biasa, seperti SMA Panca Warna ini.

Beberapa murid dan guru juga telah muncul seiring meningginya matahari di timur, dan lalu lintas semakin padat. Awang dan Tiara sama-sama melangkah masuk pekarangan sekolah. Seekor burung gereja terbang melintas dan Awang mendengarnya mengeluh, Tambah susah aja nyari makan di ibukota. Sebenarnya Awang ingin tertawa mendengar ucapan burung itu, tapi nanti Tiara akan bertanya apa yang lucu. Ia masih ingat, dulu sewaktu masih TK, Tiara pernah menonjok bahunya sampai sakit ketika ia mengatakan apa yang kucing Tiara sampaikan padanya, bahwa Tiara semalam mengompol. Seminggu Tiara tak bicara dengannya dan itu sangat menyiksa batin. Ia tak mungkin mengatakan bahwa ia mengerti percakapan binatang, karena ia tahu, mengungkapkan apa yang ia tahu tidak membawa kebaikan baginya. Jika sedang beruntung, ia hanya akan dikatakan gila. Kalau tidak begitu beruntung, biasanya melibatkan sebuah perkelahian, yang meskipun tak pernah sampai terluka—selalu bertahan sebenarnya, tanpa membalas—tapi tetap bukan hal yang disukainya. Biasanya ia memilih melarikan diri dan para pengganggunya akan kehilangannya begitu ia berbelok di balik pagar tinggi atau tembok bangunan atau masuk ke dalam ruangan. Musuh-musuhnya berteriak-teriak kebingungan dan berlalu tanpa melihatnya, padahal ia berada di samping atau malahan di depan mata mereka. Sekarang ia lebih tinggi dari anak-anak seusianya, 177 cm, membuat anak-anak lain berpikir dua kali sebelum mengganggunya. Namun Awang seorang yang cinta damai. Biarpun sudah tidak ada yang berani membullynya karena tubuh yang menjulang, tapi mereka masih bebas mencapnya gila.

Ia menghela nafas panjang dan menoleh ke belakang. Tentu saja, Bimbim, yang dalam pikirannya mendesah jelangkung bule ’dah nongol aja, sedang berlari terengah-engah menyusul mereka. Bimbim teman mereka di Sekolah Menengah Pertama. Pendek, gemuk, kulit gelap, keriting.

Ngapain lu lari-lari gitu?” bentak Tiara yang memang terbiasa galak.

Ngapain lu nanya-nanya gitu?” Bimbim balik bertanya.

Kali aja lu dikejar anjing,” jelas Tiara yang memang tak pernah akur dengannya.

“Memang anjing doyan daging gue?” Sudah menjadi kebiasaan Bimbim menjawab dengan pertanyaan.

Doyan aja kalo udah dikecapin, keles.

Awang tahu mereka mengucapkan kalimat-kalimat itu hampir tanpa berpikir. Apa ini yang disebut dengan ‘memang lidah tak bertulang’? Awang menyukai bahasa, terutama idiom dan peribahasa. Dan memikirkan hal itu membuatnya ingat akan guru bahasa Indonesia yang tadi. Aku akan menyukai ibu Marlinda, pikirnya dengan yakin.



Mereka tiba di papan pengumuman besar di depan ruangan yang berfungsi sebagai perpustakaan. Terlihat gambar denah ruang kelas dan beberapa kertas yang tercetak nama-nama murid masing-masing kelas. Awang, Tiara dan Bimbim ternyata berada di kelas yang sama, kelas X-3. SMA Panca Warna mempunyai masing-masing tiga kelas sepuluh, kelas sebelas dan kelas dua belas. Awang menemukan guru wali kelasnya bernama Sufyan Margono, S.Pd. Ternyata bukan bu Marlinda, yang membuatnya sedikit kecewa.

Bangunan utama SMA Panca Warna terletak di lahan seluas 8.000 meter persegi, berbentuk U terbuka dua lantai, dengan bagian tengah menghadap ke utara. Ruang kelas seluruhnya terletak di lantai dua. Di bawah, sayap barat, terdapat kantin, perpustakaan dan laboratorium komputer sekaligus bahasa. Bagian tengah terdapat ruang guru, ruang kepala sekolah dan ruang bimbingan juga sebagai unit kesehatan sekolah. Sayap timur terdapat laboratorium ilmu alam dan ruang serba guna. Terdapat empat tangga yang lebar di masing-masing ujung dan sudut huruf U. Selain bangunan utama, terdapat tempat parkir kendaraan kepala sekolah dan guru, gudang, rumah penjaga sekolah, dan sebuah mushola kecil.

Halaman ditanami beringin kembar dan dihampari rumput hijau cukup luas, sebagian diperkeras dan disemen menjadi lapangan basket, dan secara keseluruhan dapat dijadikan lapangan upacara yang mampu menampung seluruh siswa. Dan itulah yang dilakukan seluruh guru, karyawan dan siswa SMA Panca Warna tepat pukul 07.00, baik manusia maupun makhluk halus yang hadir di situ.



Dayang Marlinda S.Pd—salah satu dari beberapa nama yang digunakannya—memasuki ruang kelas X-3 yang terletak paling ujung sayap barat bangunan utama. Suasana yang tadinya berisik langsung senyap begitu ia muncul di depan pintu. Beberapa anak yang beranjangsana ke meja temannya segera kembali ke kursinya sendiri. Sambil menuju meja guru, ia menjajaki kondisi mental seluruh siswa—18 gadis dan 12 jejaka—tidak seluruhnya masih gadis atau perjaka, pikirnya. Dalam sekejap ia langsung tahu asal muasal, kondisi kejiwaan—kesenangan dan ketakutan—serta karakteristik masing-masing dari mereka. Dan ia bersyukur kondisi mental Awang cukup baik. Sangat baik, malah. Tiara Maya, gadis perawan dengan hati yang lembut, memberikan pengaruh baik. Apakah ia akan menjadi Sri Ratu? Atau salah satu selir? Pikiran konyol itu segera ditepis Marlinda. Awang terlalu pemalu, bahkan untuk ukuran manusia biasa.

“Selamat pagi, anak-anak,” ujarnya sambil menyapu pandangannya ke wajah-wajah murid yang fokus memandang balik. Beberapa anak cowok bahkan lupa mengatupkan mulut mereka yang ternganga lebar. Remaja puber.

“Selamat pagi, bu,” jawaban yang hampir serentak menggema dalam ruangan yang akustiknya cukup bagus untuk ruangan kelas. Ia mencatat dalam hati bahwa Awang menjawab tanpa suara, hanya bibirnya yang komat-kamit membentuk kalimat. Pangeran mahkota yang pemalu.

Ia telah bersama Awang sejak Awang masih berupa janin. Awang bukan anaknya, tentu saja. Tapi perannya sama besar dengan ibu kandung Awang, Tuan Putri Nirmala Rembulan Senja, putri Seri Sultan Agung Iskandar Alam Maha Diraja, penguasa tahta Kerajaan Swarnabhumi. Dan setelah sang putri moksa enam belas tahun lalu, Awang sepenuhnya menjadi tanggungjawabnya. Ia akan mengorbankan jiwanya jika perlu, seperti yang dilakukan putri Nirmala. Tidak pernah terbayangkan—tidak ada ramalan—bahwa Swarnabumi akan mengalami huru-hara seperti yang terjadi di Asgard. Bahkan sekadar intrik yang biasa terjadi di Olimpus tak pernah terdengar di Swarnabhumi. Beribu-ribu tahun Swarnabhumi bersembunyi dengan rendah hati, meskipun wilayahnya terbentang luas di semenanjung dan kepulauan, mencakup kerajaan-kerajaan kecil seperti Jawadwipa, Nusa Penida, Sollabassa, Tanjung Samalakka, Champalla dan Viethlao. Huru-hara yang menggiring sebagian warga Swargabhumi mengungsi, berpencar di seluruh muka bumi. Bagaimana keadaan Swarnabhumi sekarang? Tak pelak pikiran itu melintas di benaknya. Sudah enam belas tahun ia tak melintas batas. Tugasnya sebagai pengawal pangeran mahkota membuatnya selalu waspada, bersembunyi di bawah bayang-bayang menghindari kontak yang tak perlu. Bahkan dengan Firman dan Ismail ia hanya berkomunikasi sekali dua dalam setahun. Meski ia tak ragu sedikitpun bahwa mereka tak jauh darinya. Mereka menjalankan tugas yang sama tapi dengan cara yang berbeda.

“Nama ibu Marlinda, ibu mengajar bahasa Indonesia,” katanya sambil menulis: Dayang Marlinda, S.Pd di whiteboard di dinding depan kelas.

Awang merasakan lagi getaran aneh seperti tadi pagi. Tidak membuatnya takut, malah membuatnya nyaman. Kalau Awang mau berpikir sedikit, mestinya ia menyadari bahwa ia tidak mendengarkan pikiran guru yang satu itu. Ia menangkap pikiran pak Hasanuddin, M.Pd—kepala sekolah—yang ingin memesan tiket pesawat mudik lebaran ke Padang Sidempuan, sekaligus membayangkan rasa pakkat—pucuk rotan yang dibakar—yang pahit-pahit kecut. Ia juga mendengarkan Vinni—cewek seksi kelas XII-S di seberang gedung—tentang cowok ganteng tapi culun, yang mungkin bisa diajak dugem. Wajah cowok ganteng tapi culun itu terbayang jelas, dan itu wajah Awang sendiri, yang merona karena malu, dan tak luput dari perhatian Tiara yang duduk di meja sebelah. Awang menyukai bu Marlinda. Huh, sukanya tante-tante! 

Pikiran Tiara itu mengganggu Awang, karena pertama, bu Marlinda bukan tante-tante, masih muda untuk disebut tante-tante. Kedua, Awang merasa seharusnya Tiara menyadari kalau ia menyukai Tiara. Dan memikirkan itu, terbit rasa malu dan jika saja tidak ada orang lain pada saat itu, Awang sudah lenyap dari pandangan, sesuatu yang sering terjadi tanpa bisa dikendalikannya. Ia tak tahu darimana datangnya kekuatan itu, juga kemampuannya mendengar dan membaca pikiran serta memahami bahasa binatang. Yang tidak disadarinya, bahwa bu Marlinda yang tidak pernah didengar pikirannya, justru sedang membaca isi benaknya. Kemampuanmu itu belum seberapa, pangeran. Akan tiba waktunya saat kemampuanmu mencapai puncaknya, mudah-mudahan saja sebelum musuh mendapatkanmu.

“Guru wali kelas kalian berhalangan hadir. Ibu akan menggantikan beliau sementara. Sekarang kita akan saling berkenalan. Mulai dari kamu,” katanya menunjuk cewek mungil bermata sipit, Lanny, yang duduk di depan kiri semeja dengan Tania, gadis berkacamata yang selalu memegang hidungnya seperti khawatir akan lepas.

Selagi murid-murid kelas X-3 memperkenalkan diri satu per satu, pikiran Marlinda melayang ke masa lampau.



Dayang Kalinda Ranaturi merasakan genggaman tangan Putri Nirmala semakin erat sementara suaranya makin melemah.

“Berjanjilah kau akan menjaga Awang, Kalinda. Jagalah ia dengan jiwa ragamu.“

Di kejauhan terdengar suara dentuman dan ledakan yang menggelegar tak henti-henti dan semakin mendekat. Pintu gerbang luar istana sudah jatuh. Masih ada dua lapis gerbang yang harus didobrak para pemberontak. Tapi mungkin tak kan lama lagi waktu tersisa.

“Hamba berjanji, tuan Putri, akan menjaga pangeran dengan jiwa raga hamba.” Tanpa disadari airmatanya mengalir dan setiap tetesnya berubah menjadi butiran mirah delima. Dari mata sang Putri sendiri berjatuhan untaian intan yang berkilauan. Mereka adalah makhluk abadi. Tak pernah menangis selama beribu-ribu tahun, meskipun waktu adalah konsep ganjil yang baru mereka sadari belakangan ini. Ternyata menangis itu menyakitkan, hati bagai disayat dan juga airmata membeku menjadi batu. Ia menyeka matanya dan menguatkan diri. Ia, Dayang Kalinda Ranaturi, adalah kepala pasukan pengawal keputrian yang perkasa. Beribu-ribu tahun yang lalu ia ikut mempertahankan istana dan tuan putri dari serangan bala tentara Jawadwipa. Ia ikut mengawal sang putri dalam berbagai ekspedisi seperti Dilmun, Talocan, Olimpus, Asgard sebelum Ragnarok. Beberapa tempat yang namanya terlupakan, tinggi menjulang ke langit, jauh di laut dalam atau tenggelam di bawah kulit bumi.

Putri Nirmala mencium bayi mungil yang dipeluknya dengan satu tangannya yang lain, kemudian memberi isyarat agar Kalinda mengambilnya. Kalinda melepaskan genggaman tangan putri yang terasa semakin melemah dan mengangkat pangeran mahkota dari dada sang putri dan mendekapnya dengan erat.

“Terimakasih, Kalinda.” bisik putri Nirmala sambil tersenyum lemah, untuk kemudian perlahan-lahan wajah dan kemudian seluruh tubuhnya bersinar yang semakin lama semakin terang menyilaukan mata dan akhirnya mendadak redup bersamaan dengan hilangnya sang putri. Putri Nirmala Rembulan Senja, putri mahkota Kerajaan Swarnabhumi pun telah moksa. Bayi laki-laki mungil yang digendongnya ini yang akan mengganti ibundanya sebagai calon pemangku mahkota.

Kalinda masih tergagu menatap peraduan putri kerajaan yang kini kosong, sampai mendadak terdengar ledakan hebat yang mengguncang bumi. Pintu Gerbang Tengah telah jatuh. Raungan para naga yang saling bertarung di angkasa membahana memekakkan telinga. Kalinda ingin ikut terjun dalam pertempuran, tapi ia ingat bahwa keselamatan pangeran merupakan prioritas utama. Tubuhnya melayang perlahan untuk kemudian berkelebat nyaris tak terlihat dan semakin cepat menuju kompleks di belakang keputrian.

Tiba-tiba….

“Duaaar!” seberkas sinar lembayung meluruk ke arahnya yang dihindarinya dengan berkelit mundur. Tak tertahankan sinar itu menghantam sebuah batu monolitik penghias taman sebesar mastodon hingga hancur lebur menjadi debu.

“Serahkan pangeran padaku, Kalinda!” Seorang perempuan berpakaian serba ungu yang tak kalah cantik dari Kalinda berdiri berkacak pinggang di tengah taman, di bawah segerumbul aur kuning.

Dengan geram Kalinda menatap penyerangnya.

“Diah Kencana Wungu, teganya kau mengkhianati tuan Putri! Musuh dalam selimut! Menggunting dalam lipatan! Kacang lupa akan kulitnya!” semburnya dengan geram sambil memeluk erat bayi yang tertidur tenang dipangkuannya.

“Kesetiaanku untuk kerajaan Swarnabhumi. Dan pangeran Cakra Harimau Sakti adalah penerus kerajaan yang sah.” Diah Kencana Wungu yang merupakan wakil Kalinda tersenyum sinis.

“Jangan kau sebut nama durjana itu! Si tinggi gunung seribu janji! Bertanam tebu di bibir! Musang berbulu domba!” geram Kalinda.

“Bujuk rayu apa yang dijanjikan padamu?” sambungnya dengan tidak menutupi rasa jijik yang memancar dari wajah cantiknya.

“Hi hi hi….bercermin lah, Kalinda. Tiada bujuk rayu lelaki yang mempan padaku. Aku bukan kau yang lemah pada tipu daya—“

Kekehan Diah Kencana Wungu terhenti saat seberkas sinar merah menghantam dadanya dengan keras. Ia terlontar jauh ke belakang menghantam dinding pembatas istana dan tak sadarkan diri. Ejekannya memancing Kalinda menggunakan seperdelapan tenaga inti saat melontarkan serangan Api Murka Merah. Entah bagaimana nasibnya jika Kalinda mengeluarkan seluruh kesaktiannya. Beruntung Kalinda masih sadar bahwa kebenciannya tertuju pada Cakra Harimau Sakti, bukan Diah Kencana Wungu. Boleh jadi Kencana hanya korban lain, sepertinya dirinya, dulu.

Senja itu langit menyala merah membara. Naga-naga berputar-putar melontarkan api. Atap Balairung mulai menyala berkobar tinggi. Beberapa pohon tembesi dan sawit purba raksasa di halaman depan istana sudah terbakar hangus, mungkin hanya tersisa tunggul hitam berasap. Kembali terdengar dentuman besar yang menggocangkan tanah tempatnya berpijak. Pintu Gerbang Utama telah rubuh. Era Sultan Agung Iskandar Alam Raja Diraja telah berakhir.

Dengan menghela napas panjang, ia memandang tubuh Diah Kencana Wungu yang masih pingsan dengan perasaan campur aduk. Diah Kencana Wungu sudah seperti adik baginya. Pengkhianatannya yang tak masuk akal hanya bisa terjadi karena gendam lelaki jahanam itu. Ia berbalik dan melayang ke bibir sumur yang terletak di tengah-tengah taman. Tidak banyak yang tahu bahwa Sumur Taman Selayang adalah salah satu portal menuju dunia manusia.

“Kalinda! Tunggu!” sebuah suara yang telah lama dilupakannya—atau mencoba untuk dilupakan—menusuk gendang telinganya. Ia menoleh dan melihat di atas tangga pintu belakang istana yang jauhnya sekitar 300 meter tegak berdiri lelaki itu, yang pernah dicintainya beratus-ratus tahun yang lalu, melambaikan tangan. Dari tangan itu meluncur sinar kuning yang meluruk ke arahnya. Kalinda membisikkan katakunci pembuka portal, meluncur terjun sambil memeluk erat pangeran kecil, dan merasakan hantaman keras di punggungnya. Ia melontarkan sandi penghancur portal yang didapatnya dari putri Nirmala beberapa saat yang lalu dan melintas batas bersamaan dengan runtuhnya portal sebelum akhirnya pingsan tak sadarkan diri di tengah hutan sawit dekat jalan Nasional di Pematang Siantar. Kalau saja ia masih berada di bibir Sumur Taman Selayang, ia akan melihat pangeran Cakra—Sultan Agung Cakra Harimau Sakti Raja Diraja—melayang mendekati tubuh Diah Kencana Wungu yang masih tergeletak tak bergerak, mengusap wajahnya dengan lembut hingga Diah tersedak sadar dan segera bangkit berdiri dengan limbung.

“Semua berjalan sesuai rencana.” kata sang raja baru tersenyum pada Diah Kencana Wungu dan melayang menuju istana yang mulai berkobar dilahap api. Diah Kencana Wungu mengangguk takzim dan menjawab, “Daulat, Tuanku.”

Sebelum menembus api yang berkobar, Cakra menoleh dan berkata sendu, "Bahkan keabadian memerlukan pengorbanan."



Kalinda tersadar di atas rumput tebal di bawah sinar bulan purnama yang redup menembus sela-sela daun sawit. Sekujur tubuhnya sakit dan pegal-pegal. Makhluk abadi seperti dirinya tak pernah merasakan sakit, tidak sampai sekarang. Kalau diingatnya lagi, selama ribuan tahun ia belum pernah terkalahkan. Rasa sakit yang pernah dirasakannya adalah nyeri di dada saat airmatanya menetes berubah menjadi butiran mirah delima menjelang sang putri moksa, dan....saat Cakra menghilang tak terlacak, berapa ratus tahun silam.

Ia menyelidiki kondisi sekitarnya dan setelah yakin bahwa tidak ada satu manusia pun yang berada di dekat situ, ia menampakkan diri dan bayi pangeran yang masih nyenyak dalam pelukannya bergerak terbangun. Seekor musang yang terkejut dengan adanya penampakan yang tiba-tiba itu dan segera kabur menjauh.

Perlahan-lahan tenaganya kembali pulih dibantu cahaya bulan. Ia mengucapkan katakunci pembuka portal sambil bersiaga untuk melontarkan pukulan Api Murka Merah, berjaga-jaga jika portal terbuka dan Cakra melompat keluar. Ia menghembuskan nafas lega karena portal tetap tertutup—atau lebih tepatnya—hancur. Tak ada jalan kembali untuk sementara waktu. Memang ada beberapa portal lain yang tersebar di beberapa tempat, tapi tak mudah untuk mencapainya dan ia juga belum berniat untuk kembali. Tidak dalam waktu dekat.

Dua sosok tubuh lelaki menjelma di hadapannya. Firman dan Ismail.

“Bagaimana—“

“Putri telah moksa. Kerajaan telah jatuh.” Kalinda menjawab pertanyaan Ismail yang belum selesai.

Ismail mendekat dan memandang bayi yang terbungkus selimut tenunan songket keemasan di tangan Kalinda. Bayi itu, Awang, tersenyum melihat Ismail. Ia menoleh kepada Firman yang mendekat dan menjulurkan lidahnya yang mungil. Dan akhirnya terkekeh lucu menatap wajah Kalinda.

Kalinda mencium lembut dahinya, dan kemudian menyerahkan Awang ke tangan Ismail yang menerimanya dengan sangat hati-hati, seakan-akan memegang porselen rapuh dari Cina. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Ismail melangkah menuju sebuah pikap yang mendadak muncul di bawah sebatang pohon sawit tua. Wajahnya berubah menjadi lebih gemuk dan tua, rambutnya berubah menjadi lebih tipis dan beruban, dan sekitar perutnya membesar seakan dalam sekejap ia menjadi tambun kelebihan empat puluh kilogram.

Kalinda menoleh ke arah Firman yang masih berdiri diam mewaspadai sekitarnya.

“Aku pergi sekarang. Kontak hanya jika perlu. Meski bumi lebih luas dari samudra, tapi dunia hanya sedaun kelor. Waspadai musuh-musuh kita.” Dan iapun melayang kemudian berkelebat secepat cahaya ke arah kota Medan. Dari Medan ia terbang dengan pesawat menuju Jakarta dan—sedapat mungkin—menjalani hidup sebagai manusia biasa. Di Jakarta, ia mengurus pembangunan gedung Sekolah Menengah Atas Panca Warna yang bernaung di bawah Yayasan Bumi Nirmala Andalas yang telah berdiri setahun sebelumnya. Setelah itu ia berkali-kali pindah tempat dan pekerjaan, mengganti namanya, mengubah penampilannya untuk mengelabui orang-orang yang pernah bertemu dengannya, karena dirinya tak pernah berubah sejak ribuan tahun lalu.



Awang berdiri bengong di depan pintu gerbang sekolah. Hari pertama sekolah hanya berlangsung sebentar. Mereka hanya mencatat jadwal pelajaran dan kemudian disuruh pulang. Apakah ia harus menelpon Mamanya untuk dijemput atau ikut dengan Tiara dan Bimbim berpetualang menjelajah kota naik kendaraan umum? Ia tahu Mamanya bisa mendapat serangan jantung jika ia pergi sendiri tanpa dikawal. Aku tidak sendirian, tapi bersama Tiara dan Bimbim. Alasan yang pasti ditolak Mama. Tapi aku sudah gede!

“Hayo berangkat!” kata Tiara sambil menarik lengannya. Awang tentu saja sudah membaca pikiran Tiara sebelumnya, Ini anak harus dipaksa baru jalan, deh. Tapi Awang suka dipaksa oleh Tiara.

“Sekarang?” tanya Bimbim sambil mengikuti dari belakang.

Taon depan!” jawab Tiara jengkel.

Taon depan pan masih lama?” kembali Bimbim bertanya tanpa rasa bersalah.

Tiara hanya mendengus dan mengerucutkan bibirnya sambil menggandeng Awang yang terseret-seret bagai kerbau dicucuk hidung.

“Sebentar,” katanya. Ia berhenti untuk mematikan Samsung Galaxy S5 terbarunya. “Biar hemat batere,” katanya memberi alasan kepada Tiara yang memandangnya bingung. Hi hi hi….takut mamanya nelpon keles. Awang menghela napas dongkol mendengar pikiran Tiara yang mentertawakannya itu.

Dan bersamaan dengan itu mereka tiba di perhentian busway Pademangan.



Kamis, September 11, 2014

Bunian Metropolitan (Chapter 1)

Pengantar singkat:

Menterjemahkan karya orang lain seperti Sycamore Row menarik. Sebuah kesenangan membunuh waktu. Menarik, tapi hanya memberi kepuasan bathin. 

Lebih menantang lagi jika bisa menelurkan karya sendiri. Sebuah cita-cita yang terkubur lama, sejak masa SMA. Bukan berarti akan berhenti menerjemahkan fiksi luar. Tapi saat ini ide lama yang mencuat lagi seakan menolak padam, memohon agar dilahirkan.

Karena itu, aku menulis kisah fiksi ini. Sebuah kisah yang idenya lahir hampir 30 tahun yang lalu. Saat itu gaya penulisanku masih bergaya remaja, di bawah pengaruh Hilman Hariwijaya dan Arswendo Atmowiloto.Tulisan yang tak pernah dipublikasikan karena belum ada internet dan media sosial dan blog. Tulisan-tulisan yang diketik dengan aplikasi Wordstar dan disimpan dalam disket 3.5" yang raib entah kemana. Idenya tetap hidup di bawah alam sadarku.

Bunian Metropolitan adalah sebuah novel tentang dua dunia, salah satunya dunia gaib. Tentang anak hasil kawin silang manusia dengan orang bunian, sebutan untuk makhluk halus dalam legenda Melayu. Bukan bertujuan menghidupkan tahayul, tapi semata-mata mengembangkan ide sederhana.

Aku mengharapkan masukan dan kritik membangun dari para pembaca pertama (alpha readers) cerita ini. Apapun saran kalian, akan aku pertimbangkan. Terima kasih.


1




“Kau yakin ini legal?” gumam pria kulit putih yang bertubuh atletis, rambut lurus acak-acakan berwarna coklat gelap, usia sekitar 40 tahun, tinggi 188 cm, dengan bahasa Indonesia yang kaku tanpa mengangkat muka dari lembar kertas yang dipegang dengan kedua tangannya yang gemetar. Bukan disebabkan udara malam perkebunan yang dingin dan bertambah dingin dengan turunnya hujan sehingga dinginna sampai ke sumsum tulang. Wajahnya yang tampan dengan dagu tirus dan hidung yang mancung, khas Eropa Latin, diterangi hanya satu-satunya bohlam lampu 60 watt yang lebih banyak memberikan bayangan daripada cahaya dalam kamar berukuran 4 x 6 meter itu, menunjukkan keraguan.

“Seratus persen asli,” jawab pria di depannya, seorang lelaki dengan tinggi 165 cm, berbadan tambun, mungkin sekitar 90 kg. Kulitnya agak gelap dan hidungnya yang besar, patut diduga dalam tubuhnya mengalir campuran darah suku Tamil dari India. Tapi mungkin juga sepenuhnya suku Melayu asli.

Something wrong, caro mio?” tanya seorang perempuan muda bertubuh mungil, sekitar 28 tahun, wajahnya cukup cantik, layak berada di sampul depan majalah. Inggris dan Itali campur aduk dalam logat Sunda. Ia menggendong sesuatu, tepatnya seorang bayi mungil merah, yang tertidur tanpa suara. Bayi laki-laki yang tampan, kulit putih dengan rambut hitam yang tipis. Dari cara menggendongnya, terlihat sikap yang melindungi dan kasih sayang memancar dari mata wanita itu.

Pria kulit putih itu tak menjawab atau mengangkat wajahnya dan tetap menatap lembar kertas berukuran folio di tangannya. Pikirannya melayang ke masa tiga tahun silam.

*

Luigi Cavallaro sedang memeriksa laporan pembukuan perusahaan di ruangan kantornya yang sempit namun dengan pemandangan seluas-luasnya ke arah Vieux Port, pelabuhan Marseilles yang hiruk pikuk dengan teriakan para pelaut dan nelayan dalam berbagai bahasa yang masih aktif di muka bumi, celoteh camar-camar yang memekik di atas permukaan air laut yang tenang bergelombang menggempur tepi pantai dengan alunan tetap. Tiang-tiang layar perahu nelayan dan gerombolan kapal pesiar berbagai ukuran milik para petualang, penyelundup, mafioso atau pejudi yang baru datang dari Monte Carlo menutup permukaan laut seperti mobil bekas yang diparkir di halaman showroom Autorama di Rue Pierre. Agak di tengah laut tampak beberapa kapal barang besar dan tanker raksasa yang datang dari seluruh penjuru dunia melintasi tujuh samudra, berhenti di Marseilles untuk bongkar muat atau mengisi bahan bakar dan suplai. Sebuah kapal pesiar besar, Awani Dream, sedang melabuh di tengah laut. Luigi pernah ikut pelayarannya sebagai juru masak saat nama baptis kapal tersebut World Renaissance. Masa lalu, pikirnya.

Dan tiba-tiba dadanya sesak. Seakan-akan udara disedot habis dari paru-parunya dan jantungnya diremas-remas oleh tangan perkasa yang tak terlihat.

Mario! Sesuatu telah terjadi terhadap Mario! teriaknya tanpa suara.

Dan mendadak pintu ruang kerjanya terbuka. Nadia Konte, sekretarisnya menyerbu masuk dan berbisik, “Sambungan internasional dari Jakarta, Indonesia.”

“Anda baik-baik saja?” tanya Nadia dengan suara cemas sambil memegang tangan kirinya, membimbing bos-nya yang tampak pucat dan terengah-engah memegang dadanya, duduk di sofa pendek dekat pintu. Ia mengisi gelas dengan air dari dispenser yang terletak di dinding pojok dan bergegas menyodorkannya pada Luigi, yang meneguknya dengan rakus. Dalam hitungan detik darah kembali mengalir di wajahnya dan napasnya kembali normal.

“Sambungkan ke mejaku,” perintahnya kepada Nadia dan bangkit berjalan ke meja kerjanya. Meja ukuran setengah kabinet yang dijual bongkar-pasang produksi masal sebuah pabrik di Malaysia atau Vietnam, mungkin. Nadia keluar dan tak lupa menutup pintu. Lampu di telponnya berkedip menandakan Nadia telah meneruskan panggilan dari Jakarta, Indonesia itu. Tangannya kanannya mengangkat telepon dan tangan kiri memutar-mutar bola dunia berukuran sedang yang terletak di samping telepon.

“Luigi Cavallaro di disini,” katanya dalam bahasa Inggris dengan aksen Itali yang kental sambil mencari-cari posisi Indonesia di permukaan bola dunia.

Berikutnya kalimat yang diucapkan oleh seorang laki-laki dari belahan dunia lain yang terdengar gemerisik membuatnya terpana, tak mampu berkata-kata. Ia hanya mendengar, membisu, tegak mematung dan matanya beralih ke potret pudar berukuran 8x10 inci dalam pigura dari tembaga polos di depan mejanya. Ia berdiri tegak di kiri Mario dalam jas setelan sewaan saat kelulusan mereka dari sekolah menengah atas sembilan belas tahun yang lalu di studio foto kecil Massimiliano di Scicli. Tidak ada manusia yang bisa membedakan mana Luigi dan mana Mario, kecuali ibu mereka, Magdalena Puglisi Cavallaro. Bahkan ayah mereka tidak. Mereka kembar identik, sama-sama menyukai petualangan, tapi petualangan yang berbeda. Ia menyukai samudra luas, Mario menyukai gunung dan hutan rimba.

Akhirnya, setelah berhasil menyatukan kembali pikirannya ke masa kini, ia menggumam “Si…si…ya…. Saya akan mengambil penerbangan pertama ke sana. Grazie, merci…terimakasih.”

Luigi melangkah menekan tombol untuk memanggil Nadia.

“Pesankan tiket penerbangan pertama apa saja yang menuju Medan, Indonesia. Pronto.” ujarnya begitu wajah hitam manis sekretarisnya itu muncul di ambang pintu.

“Pulang pergi?” tanya Nadia.

“Sekali jalan.”



Lima jam kemudian ia sudah berada di atas pesawat Boeing 747-400 KLM dalam penerbangan menuju Singapura yang membosankan selama delapan jam ke depan. Luigi bukan penggemar perjalanan udara. Bahkan membencinya. Badai samudra seganas apapun tak membuatnya takut. Pernah selama tiga hari tiga malam kapalnya, sebuah kapal barang berbendera Panama terombang-ambing dalam badai Laut Utara yang bengis dengan gelombangnya yang sebesar rumah. Toh ia tak merasakan takut, bahkan merasa bergairah, seakan endorfin, bukannya adrenalin, yang mengalir deras dalam darahnya. Sementara sebagian besar anak buah kapal sudah kehabisan tenaga dan isi perut, ia tetap tersenyum dan bersiul dengan gembira menyiapkan makanan untuk semua orang. Tentu saja makanan itu akan terbuang segera, entah karena para awak kapal sudah tak mampu lagi membuka mulut atau karena dimuntahkan lagi ke laut beberapa saat setelah ditelan. Ingatan tentang kecintaannya pada lautan membawanya kembali pada percakapan di telpon tadi dengan laki-laki yang bernama Pyrmant—atau mungkin Freeman, ia tak yakin—yang mengaku dari agen perjalanan yang digunakan Mario.

“Tuan Luigi, dengan sangat menyesal kami mengabarkan berita duka tentang saudara Anda. Dari perwakilan kami di Medan, kami mendapat kabar bahwa tuan Mario Cavallaro telah hilang sejak dua minggu yang lalu, hanyut di sungai Alas, di pedalaman hutan Leuser. Tim pencari dan penyelamat telah mencarinya selama dua minggu tanpa henti, menyusuri sungai dari titik ia jatuh hingga di kedalaman sungai di hilir, dan kini tim telah kembali tanpa hasil. Diasumsikan tuan Mario tewas tenggelam dan mungkin menjadi mangsa buaya atau hewan buas lainnya.” Jeda sejenak. Luigi ingat bahwa saat itu ia hanya terbayang saat terakhir mereka bersama, 19 tahun yang lalu, di Scicli, Pulau Sicilia, Italia, sebelum akhir berpisah mengikuti takdir mereka.

“Jika Anda ingin datang untuk mengurus surat-surat dan barang-barang tuan Mario yang tertinggal, kami akan membantu pengurusan visa Anda segera. Anda tinggal mengabarkan kedatangan Anda dan orang kami akan menjemput dan mengurus Anda di bandara. Sekali lagi, belasungkawa yang sedalam-dalamnya buat Anda dan keluarga Anda atas kehilangan ini, dari saya dan juga mewakili perusahaan.”

Luigi merasa gamang. Rasanya tidak benar. Mario tak mungkin pergi, tak mungkin mati begitu saja. Memang tadi, di ruang kantornya, ia merasakan getaran batin menandakan Luigi dalam bahaya, tapi belum berarti mati. Mario telah menghilang selama dua minggu, tapi ia baru merasakan kontak batin hanya beberapa menit yang lalu. Apakah sebenarnya ia masih hidup tapi bingung dan tersesat dan berjalan menjauhi sungai sehingga gagal ditemukan oleh tim penyelamat? Apakah tim penyelamat terlalu cepat menyerah?

Begitu banyak pertanyaan belum terjawab. Dengan sejumlah pertanyaan berputar-putar di benaknya, ia tertidur setelah dibantu segelas cognac yang dipesannya dari pramugari. Tidur yang diganggu oleh mimpi buruk. Ia sedang berdiri di tengah hutan hujan tropis yang lebat. Suara-suara binatang yang tidak bisa diidentifikasinya membentuk simfoni yang mirip musik latar film horor yang pernah ditontonnya sewaktu umur enam tahun dan selama seminggu membuatnya mengigau dan terbangun di tengah malam. Ia lupa film nya tentang apa. Tapi Mario justru berbisik ke telinganya tepat setelah film berakhir dan lampu bioskop menyala: “Aku akan menjelajahi hutan rimba di seluruh dunia.”

Dalam mimpinya, ia melihat Mario melayang setinggi 2 meter dari tanah basah di depannya dengan posisi horisontal, bajunya compang-camping, sobek di-sana-sini, tanpa sepatu. Darah menetes dari kepala dan sela-sela jari tangan dan betis Mario. Wajahnya nyaris tak terluka kecuali beberapa goresan dangkal. Matanya terpejam rapat. Luigi melihat bahwa dadanya naik-turun dengan lemah.

Tiba-tiba mata Mario terbuka. Ia menoleh ke arah Luigi dan sambil menyeringai berkata: “Hutan yang indah, kan?

Luigi tersentak bangun. Sekujur tubuhnya basah kuyup oleh keringat, meskipun suhu dalam pesawat cukup sejuk oleh pendingin udara. Ia memandang keluar jendela. Langit gelap tanpa bintang. Ia melirik jam tangannya. Ia baru tertidur sepuluh menit.

**

Dari Singapura ia berganti pesawat melanjutkan penerbangan ke Jakarta yang ditempuh dalam waktu sekitar dua jam. Begitu mendarat di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Luigi disergap kebingungan dengan suasana bandara yang semrawut. Ia mendengar kata-kata yang keluar dari pengeras suara yang dalam bahasa yang bisa dipastikan bahasa Indonesia diikuti bahasa Inggris tapi tak begitu jelas karena suasana bising di ruang kedatangan. Dalam kebingungannya ia mendengar namanya disebut melalui pengeras suara: “Tuan Luigi Cavallaro ditunggu di ruang imigrasi oleh tuan Firman.” Ia membaca petunjuk arah dan ketika sedang berjalan menuju ruang imigrasi, ketika seorang laki-laki tinggi 180 cm, usianya tidak bisa ditebak karena rambutnya yang dipotong ala militer berwarna putih seluruhnya—bukan warna alami—tapi antara 35 sampai dengan 50 tahun, berkacamata hitam, berkumis tipis, kaus polo tanpa merk dan celana jins ketat setengah pudar, memakai topi loreng tentara tanpa tulisan atau tanda apapun, menyentuh pundaknya dan menyapa: “Tuan Luigi Cavallaro?”

“Ya, saya sendiri.” jawabnya bingung.

Lelaki itu mengulurkan tangannya. “Firman. Selamat datang di Indonesia. Sekali lagi saya mengucapkan dukacita yang sedalam-dalamnya atas hilangnya saudara Anda.”

Luigi secara otomatis menjabat tangannya

“Biar nona Wulan yang membantu mengurus bagasi dan surat-surat Anda,” sambungnya lagi sambil menarik paspor dari tangan Luigi dan menawarkan untuk membawakan tas tangannya. Luigi baru menyadari kehadiran seorang wanita muda di belakangnya yang dengan sigap menerima paspornya dari Firman dan berjalan menuju salah satu bilik imigrasi tanpa memperkenalkan dirinya ke Luigi.

“Tidak ada bagasi.” setengah berteriak ia berkata ke arah nona yang berjalan cepat itu dan kemudian terdiam malu sendiri. Ia berangkat dengan terburu-buru langsung dari kantornya ke bandara Provence, Marsailles, hanya membawa paspor yang selalu terletak di laci meja kantornya dan peralatan pria yang umum dibawa dalam perjalanan bisnis. Tak lebih.

Seakan waktu berkelebat tanpa disadarinya saat mereka keluar dari Terminal Internasional dan menumpang bis shuttle bandara yang kosong, hanya mereka bertiga dan supir, menuju Terminal Keberangkatan Dalam Negeri.

“Saya belum membeli tiket dari sini ke Medan,” ia menjelaskan kepada Firman yang bergegas dalam diam, diikuti nona Wulan—Wulandari Goeritna—nama yang diketahuinya dalam perkenalan buru-buru setelah urusan dengan imigrasi beres.

“Itu sudah kami urus. Kita akan berangkat dalam waktu setengah jam. Penerbangan ke Medan akan memakan waktu sekitar 2 jam. Nona Wulan akan bertindak sebagai penerjemah dan guide Anda dan mengurus semua hal yang Anda perlukan.”

Mereka bergegas menyusuri lorong yang ternyata menuju landasan pesawat. Udara sore itu cukup terik. Sebuah pesawat jet pribadi Gulfstream IV bercat putih dengan garis biru tanpa logo menanti mereka dengan tangga terbuka. Seorang pramugari berkulit kuning dengan seragam batik warna merah tersenyum dipintu masuk dan mengucapkan selamat datang, kemudian mengantarkan para penumpangnya ke tempat duduk di dalam. Interior pesawat terlihat mewah dan megah. Kapasitas penumpang yang aslinya untuk empat belas penumpang ternyata hanya mempunyai enam tempat duduk yang lebar dan dapat diputar dan diturunkan horisontal menjadi ranjang yang nyaman. Setiap tempat duduk terdapat televisi kecil 5 inci di dekat dudukan tangan Di sudut belakang dekat kabin pramugari dan dapur pesawat terletak sofa mewah cukup untuk tiga orang berbentuk L dan meja kecil lengkap dengan bantal duduk dari bulu angsa.

“Saya serahkan Anda kepada nona Wulan.” Kata Firman menunjuk kamar kecil di mana Wulan berada, mungkin membedaki hidungnya, dan sekali lagi menyalami Luigi.

“Anda tidak ikut?”

“Tidak. Urusan saya di Jakarta. Tapi jika ada hal-hal yang tidak bisa diselesaikan nona Wulan, yang saya ragukan, Anda boleh menghubungi saya. Nomor telpon kantor dan telepon satelit saya ada di sini.” Firman mengulurkan kartu namanya yang diterima Luigi dengan takjub. Telepon satelit! Dan Luigi lebih takjub lagi ketika membaca kartu nama yang dicetak dengan huruf timbul keemasan itu terdapat tulisan mobile phone yang diikuti deretan angka lagi selain nama (Firman), jabatan (Liaison), office dan sat. phone. Tidak ada nama perusahaan kecuali logo bergambar sejenis pohon palem yang dibelit dua naga. Bukan naga seperti yang biasa dalam buku-buku dongeng, lebih mirip ular bertanduk dengan empat kaki seperti ceker ayam.

Bahkan, di Eropa hanya orang yang benar-benar kaya atau selebriti yang mampu memakai telepon selular atau satelit.

Ketika ia menoleh Firman sudah lenyap dan Wulan muncul dan duduk di sampingnya.

Pramugari datang menawarkan minuman dan makanan kecil. Luigi memesan martini dan kentang goreng. Wulan hanya lemon tea. Pesanan datang dalam lima menit bersamaan dengan suara pilot yang terdengar jelas di pengeras suara. “Selamat sore, tuan Luigi Cavallaro dan nona Wulandari Goeritna. Kapten pilot Tonya Flicker bersama kopilot Warren Dahl mengucapkan selamat datang. Dalam waktu lima menit lagi kita akan terbang di ketinggian maksimum empat puluh ribu kaki dengan tujuan bandara Polonia, Medan yang akan ditempuh dalam waktu dua jam. Selamat menikmati.” Logatnya menunjukkan pilot berasal dari Australia . Luigi kembali tertegun. Pilot wanita. Menakjubkan.



Beberapa saat setelah pesawat lepas landas dan lampu tanda sabuk pengaman padam, Luigi menoleh ke samping.

“Siapa yang akan membayar semua ini?” tanyanya kepada Wulan.

Wulan memandangnya dengan bingung, tapi menjawab dengan bahasa Inggris yang sempurna nyaris tanpa aksen, “Menurut tuan Firman semua ditanggung perusahaan.”

“Apa nama perusahaan tempat tuan Firman bekerja? Dan sudah berapa lama Anda bekerja untuknya?”

“Apakah nama perusahaan tidak ada di kartu namanya?” Wulan mengerutkan kening tapi tetap menjawab dengan sopan, lebih karena ingin tahu.

“Tidak.” Jawabnya sambil berdiri membungkuk dan menyodorkan kartu nama yang masih dipegangnya ke seberang lorong tempat kursi Wulan berada.

Wulan mengamati kartu nama itu cukup lama.

“Dua hari yang lalu saya mendapat telpon dari tuan Firman yang mewakili perusahaan bernama Bunyan Worlwide Agency, meminta saya untuk datang wawancara ke Hotel Hoffman. “

Wulan kemudian bercerita bahwa ia berasal dan tinggal di Bandung, lulusan sebuah akademi pariwisata di kota itu empat tahun yang lalu. Meskipun ia merasa belum pernah mengirimkan lamaran ke perusahaan tersebut, tapi rasa penasaran ditambah sudah hampir tiga bulan ia menganggur setelah kontrak kerjanya di sebuah hotel bintang satu berakhir dan tidak diperpanjang, membuatnya datang memenuhi panggilan tersebut.

Di deretan ruangan yang biasa disewa untuk bisnis di lantai dasar hotel bangunan peninggalan Belanda di Jalan Asia Afrika itu, ia menemukan ruangan berdinding kaca dengan logo persis seperti yang ada di kartu nama dengan tulisan Bunyan Worlwide Agency bergaya kaligrafi Arab. Seorang sekretaris dari balik meja resepsionis yang terbuat dari kaca menyambutnya dan mengantarnya masuk ke ruangan dalam yang juga berdinding kaca gelap, yang anehnya cukup terang ketika ia masuk. Seorang pria memperkenalkan diri sebagai Firman berdiri dari balik meja besar tanpa laci yang juga terbuat dari kaca. Seluruhnya terbuat dari kaca. Kursi tuan Firman, kursi duduk tamu di depan meja, bahkan kursi panjang mirip sofa—tapi bukan.

Wawancara berlangsung singkat, dan tanpa berpanjang-panjang ia dinyatakan diterima sebagai penerjemah dan guide dengan gaji empat kali lipat dari bayarannya terakhir bekerja di hotel bintang satu, masih ditambah pula dengan tunjangan kesehatan kelas satu lengkap, biaya perjalanan dinas tak terbatas, dan lain-lain yang membuatnya serasa bermimpi. Hari kerjanya di mulai keesokan harinya.

Ketika tiba di kantor itu keesokan paginya, ia hanya bertemu sang sekretaris yang memberikannya peta Sumatera Utara dan peta kota Medan untuk dipelajari. Juga fotokopi dokumen-dokumen tentang seorang pria berkewarganegaraan Italia bernama Mario Cavallaro yang antara lain berupa pemesanan tiket, asuransi perjalanan, paspor, tanda terima kotak deposit hotel. Juga perintah untuk segera berangkat ke Jakarta . Ia memberikan nomor rekening tabungan seperti yang diminta sekretaris, dan ketika memeriksa saldo tabungan di atm bank depan hotel, jumlahnya sudah menjadi 8 digit, yang tadinya hanya lima angka. Ia segera bergegas pulang diantar supir yang mengendarai mobil perusahaan—sebuah BMW 325i warna perak, mengepak baju-baju dan perlengkapan perjalanan dalam sebuah koper kecil, kemudian berangkat ke Jakarta dengan mobil yang sama. Di Jakarta ia diantar ke sebuah hotel bintang lima di kawasan Jakarta Barat, di mana sebuah kamar deluxe dengan ranjang lebar telah dipesan dan dibayar atas namanya. Ia memesan makanan dari restoran hotel yang termasuk dalam pembayaran, dan menghabiskan malamnya di kamar hotel mengerjakan tugasnya dan tertidur tanpa sempat mengganti baju.

Keesokan paginya, pukul 5.00 tepat ia terbangun . Sambil berendam air hangat, ia memegang peta kota Medan. Jalan utama, bangunan penting, fasilitas umum dan lain-lain. Meskipun ia tak tahu apa gunanya, Wulan mempelajarinya seakan-akan untuk menghadapi ujian penting yang menentukan hidup dan matinya. Satu setengah jam kemudian ia sudah berpakaian lengkap dan turun ke restoran untuk menikmati sarapan pagi selama enam puluh menit. Kemudian kembali ke kamar dan mempelajari peta Sumatera Utara, juga semua fotokopi yang diterimanya kemarin.

Pukul 09.50 telepon kamar berdering dan resepsionis memberi tahu bahwa ia ditunggu di lobby hotel oleh tuan Firman. Supir akan naik mengambil barang-barangnya dan mereka akan berangkat ke bandara untuk menjemput tuan Luigi, saudara kembar tuan Mario yang hilang di hutan gunung Leuser dua minggu yang lalu. Dari fotokopi dokumen itu Wulan menyimpulkan bahwa Mario Cavallaro merupakan klien Bunyan Worlwide Agency. Nah, ia telah menceritakan semua yang diketahuinya.

Luigi kembali merenung. Belum dua puluh empat jam ia menerima telepon dari Firman tentang hilangnya Mario, tapi mereka merekrut Wulan dua hari sebelumnya. Dan belum pernah ia mendengar adanya agen perjalanan yang begitu bertanggung jawab kalau kliennya hilang. Apa yang kau lakukan, Mario?



Tiba-tiba suara pilot terdengar. “Beberapa saat lagi kita akan mendarat di Bandara Polonia, Medan. Mohon kencangkan sabuk pengaman dan tegakkan sandaran kursi. Waktu di Medan menunjukkan pukul delapan belas lewat sepuluh menit. Tidak ada perbedaan waktu antara Medan dan Jakarta. Saya kapten Tonya Flicker bersama kopilot Warren Dahl mengucapkan selamat jalan dan terima kasih telah terbang bersama kami.”

Pramugari datang membereskan piring dan gelas serta memastikan ikat pinggang mereka telah terpasang dengan benar. Wulan memperhatikan wajah sang pramugari dan kembali keningnya berkerut, ekspresi yang tak luput dari perhatian Luigi.

“Ada apa?” tanyanya.

Wulan hanya diam sambil menggeleng pelan. Ia memandang ke luar jendela, ke bawah di mana terletak kota Medan dengan jalan-jalannya yang lurus membentuk kotak-kotak berisi rumah-rumah bagai mainan. Beberapa gedung tinggi tapi tak terlalu tinggi, karena Polonia berada tepat di jantung kota sehingga tak mungkin membangun pencakar langit yang dapat membahayakan keselamatan penerbangan.

Tak beberapa lama kemudian, setelah berputar beberapa kali memberikan pemandangan kota yang temaram menjelang senja dari ketinggian beberapa ratus kaki saja, akhir Gulfstream IV tanpa nomor itu mendarat mulus di landasan pacu. Setelah pesawat berhenti benar dan lampu tanda sabuk pengaman dipadamkan, Wulan dan Luigi berdiri dan Wulan menurunkan koper kecilnya dari kabin di atas kepalanya dengan dibantu pramugari.

“Apakah kita pernah bertemu?” tanya Wulan sambil menyelidiki wajah pramugari yang tertera nama Darlina di dadanya.

Pramugari itu menyangkal. “Saye belum pernah bersua dengan puan, ini trip pertame saye ke Indonesia.” Logat Melayu yang kental.

Dalam perjalanan keluar pesawat menuju ruang kedatangan, Luigi kembali bertanya, “What’s up?

“Pramugari itu mirip dengan sekretaris perusahaan di Bandung. Bukan mirip lagi, tapi persis sama, meskipun dandanannya beda, Aku yakin mereka orang yang sama.”

Kembar identik? Luigi bertanya-tanya dalam hati.

Di dekat pintu kedatangan dari arah landasan menunggu seorang pria muda, nyaris masih remaja, berpakaian kemeja putih dan celana hitam dengan sepatu pantofel.

“Namaku Ismail. Aku yang mengantar kelien kemana pun kelien pergi.” Katanya dengan logat Medan yang khas. Ia mengambil alih koper dari tangan Wulan dan menuntun mereka keluar ke tempat parkir.

Yang luput dari perhatian Wulan adalah bahwa supir perusahaan yang tidak pernah bicara dan memperkenalkan diri itu juga wajahnya persis dengan supir bis shuttle di bandara Soekarno-Hatta yang mengantarkan mereka dari Terminal Internasional ke Terminal Dalam Negeri.

Wulan dan Luigi mungkin akan lebih kaget lagi jika tahu bahwa di kokpit pesawat tadi, suara kapten Tonya Flicker keluar dari mulut Firman, liaison Bunyan Worldwide Agency. Tidak ada kopilot Warren Dahl. Hanya seorang Firman. Dan yang lebih penting lagi, tidak ada manusia lain yang melihat sebuah pesawat Gulfstream IV tanpa nomor penerbangan lepas landas dari Cengkareng, Jakarta dan kemudian mendarat di Polonia, Medan senja itu.

***

“Something wrong, darlin’?” sekali lagi perempuan itu, Wulan, bertanya pada pria kulit putih yang memegang selembar kertas dengan tangan gemetar. Laki-laki itu Luigi Caravallo.

Kali ini Luigi mendengar suara Wulan dan membawanya kembali ke masa kini.

“It’s all right,” jawabnya sambil berbalik dan tersenyum menatap Wulan.

“Ibunya meninggal saat melahirkan dan ayah anak itu pergi meninggalkan tanggungjawabnya.” kata laki-laki yang mereka kenal sebagai Jalal.

“Baiklah.” ujar Luigi sambil mengumpulkan kertas lain yang berada di atas meja, sepotong kertas berjudul Surat Keterangan dengan kop sebuah Rumah Bersalin di kota Medan. Kertas berukuran folio ditangannya sendiri adalah sebuah Akte Kelahiran untuk seorang anak bernama Awang Mahkota Cavallaro, anak dari ayah Luigi Cavallaro dan ibu Wulan Goeritna Cavallaro, lahir di Medan pada tanggal 3 Desember 1998.

Jalal telah menjelaskan bahwa nama Awang Mahkota adalah pemberian ibu kandungnya sebelum menghembuskan nafas terakhir. Ibunya tidak memiliki siapapun di dunia ini. Hal yang membuat Wulan menitikkan air mata dan memeluk Awang lebih erat lagi, dan berbisik, “kamu punya aku dan papamu, anakku.”

“Tentang sisa pembayaran…..” kata Luigi sambil memandang Jalal dengan perasaan campur aduk. Ia tak tahu apakah harus menyukai atau membenci lelaki itu. Apakah ia mencari kehidupan dengan berdagang bayi? Atau hanya ingin menolong mereka seperti yang diklaimnya hampir setahun yang lalu? Negara ini sedang kacau balau dan berada dalam pusaran perubahan yang dahsyat. Tidak diragukan lagi ada saja orang-orang yang mungkin memanfaatkan situasi kemelut yang bernama reformasi.

“Tidak perlu,” jawab Jalal tegas. “Semua pengeluaran sudah tertutupi dengan uang muka kalian.” lanjut nya sambil mengibaskan tangan.Membuat Luigi merasa malu karena telah menduga Jalal seorang penjual bayi.Bahkan ia nyaris lupa tentang Mario yang membuatnya melakukan hal gila ini.

“Aku pulang dulu, masih jauh perjalanan ke Medan. “ katanya sambil menyalami Luigi dan Wulan. Tak lupa ia mencium kening bayi yang masih tertidur nyenyak. Apakah Wulan melihat kilatan matanya yang berkaca-kaca? Mungkin tidak.

Tak lama dari halaman depan suara pikap tua terdengar distater beberapa kali sebelum akhirnya menyala terbatuk-batuk, untuk kemudian menjauh meninggalkan rumah besar perkebunan semi permanen yang telah berdiri sejak Belanda masih berkuasa di tengah perkebunan sawit yang luas tak jauh dari kota Pematang Siantar. Hujan turun sedang-sedang saja. Setelah cukup jauh berjalan menyusuri jalan kecil beraspal tipis di tengah kebun sawit beberapa kilometer lagi dari jalan nasional, pikap tua itu menepi masuk ke dalam hutan sawit yang memerlukan peremajaan itu, dan akhirnya berhenti di antara pohon sawit tua di bawah cahaya bulan.

Jalal turun dan jika ada orang yang melihat, akan tampak bahwa wajah Jalal berubah menjadi muda. Jauh lebih muda. Tubuhnya juga menjadi lebih langsing. Dan seakan lahir dari udara, di hadapannya muncul tiba-tiba seorang laki-laki yang lebih dewasa dan jangkung, berpakaian adat Melayu.

“Bagaimana keadaan pangeran mahkota?” tanya laki-laki yang lebih tua.

“Baik-baik saja. Semoga.” jawab yang muda. Hujan telah berhenti dan langit jernih bertabur bintang. Cahaya bulan purnama menerangi wajah keduanya. Jika Luigi dan Wulan ada di situ, mereka akan mengenali laki-laki muda itu sebagai Ismail, supir Medan, dan yang tua sebagai Firman, liaison Bunyan Wordwide Agency yang telah mereka kenal lebih dari tiga tahun lampau.

"Setidaknya ia berada di tengah keluarganya sendiri," gumam Ismail yang diikuti anggukan setuju Firman.

“Mari kita pergi.” kata Firman melangkah lebih ke dalam kebun sawit menjauhi jalan aspal. Bersamaan dengan itu, baik ia maupun Ismail alias Jalal dan pikap tua yang tak jauh dari situ menguap seperti kapur barus menyublim dalam film yang dipercepat 1024 kali.

Hari itu Sabtu 5 Desember 1998, berlalu tanpa saksi atas peristiwa ganjil di tengah kebun sawit beberapa kilometer dari kota Pematang Siantar itu.