Senin, Januari 24, 2011

The Return of Totally Awesome Geek


Cukup lama blog ini vakum.
Bukan... bukan karena kehabisan ide. Tapi prahara kehidupan menimpaku, membuat ku terpuruk berbulan-bulan lamanya. Selama masa itu, emosiku naik turun bagaikan menunggang roller coaster pemacu adrenalin yang melaju dengan kecepatan suara. Malam-malam panjang kulalui dengan tangis tanpa suara. Meski tangis itu tak pernah ku undang, tapi pipi dan bantal tidurku selalu basah dengan air mata yang tak mau kering, untuk akhirnya tertidur dengan mimpi indah yang meneror dengan kekejian yang tak terperi.

Third Wave
Menurut Alvin Toffler, setelah kematian, perceraian adalah guncangan terbesar dalam kehidupan seseorang. Tapi menurut kebanyakan orang yang pernah mengalaminya, perceraian jauh LEBIH MENYAKITKAN daripada kematian. Apalagi jika perceraian terjadi karena pengkhianatan, pelanggaran terhadap kesucian lembaga perkawinan.
Dalam The Third Wave, Alvin Toffler menulis: Setiap individu gelombang ketiga siap mengikuti perubahan tanpa harus mengalami kejutan masa depan. Rahasianya, mereka mempunyai zona aman yang tetap, rutinitas yang terus dipertahankan. Zona amanku adalah keluarga. Selama dua puluh tahun aku adalah seorang family guy. Rumahku adalah surgaku. Istri dan anakku adalah tempat ku berlabuh dan memulihkan diri dari letih menjalani hiruk pikuk dunia yang semakin tak tentu. Diriku yang sebenarnya adalah mereka berdua. (lihat: The Geek Got The Girl dan Ayah Kasih.)
Dan tiba-tiba ketentraman itu sirna. Istriku mengucapkan kata berpisah hanya dua bulan menjelang peringatan 20 tahun perkawinan.
Duniaku runtuh....

Model Kübler-Ross
Dan mulailah aku menjalani five stages of grief. Seakan-akan setiap gerak dan pikiranku disesuaikan dengan model yang disusun Elisabeth Kübler-Ross dalam bukunya On Death and Dying.

Tidak masuk akal jika sebuah perkawinan yang telah berjalan 20 tahun hancur tanpa sebab-sebab yang jelas! Ini hanyalah kegilaan sesaat, pemberontakan seorang istri yang merasa jenuh dengan rutinitas keseharian dan mencoba mencari jati diri.... Denial: checked.

Tapi ternyata keadaan bertambah buruk. Helaan nafas dibalas makian panjang. Denting sendok beradu piring mengundang murka yang menggelegar. Api telah menjalar ke seluruh penjuru.
Aku bertanya-tanya: Mengapa terjadi padaku? Aku SUDAH mengikuti SEMUA petunjuk tentang bagaimana menjadi suami yang baik, dan dia sudah berjanji untuk setia sampai mati! Bahkan dia pernah menuntut kesetiaanku meskipun setelah dia mati kelak! Oh... dia tidak pantas melakukan ini padaku! Anger: checked

Akhirnya terbongkar juga alasan di balik alasan. Reason behind excuses.
Ketika aku berpikir bahwa dunia telah kiamat, realitas menyadarkanku bahwa aku belum kehilangan segalanya. Masih ada yang sangat layak diperjuangkan. Putriku. Anakku satu-satunya yang merasakan dusta-dusta dilontarkan bukan hanya untuk menutupi kesalahan, tapi juga untuk menghancurkan aku, ayahnya, yang sangat menyayanginya dan sangat ia cintai. Meskipun perasaannya terbelah, tapi ia telah menetapkan kemana harus berpihak. Bargaining: checked.

Usaha mempertahankan apa yang telah dibangun selama 20 tahun kulakukan dengan segenap daya upaya. Kuharapkan ada secercah cahaya yang mengantarkan kilas balik kehidupan kami. Pengalaman sejati orang lain yang berpengaruh terhadapnya kuungkapkan secara halus dan terbatas. Semuanya sia-sia, malah memperoleh tudingan membuka aib. Dan ajaib.... sesuatu yang telah kucoba sejak awal namun tak pernah berhasil sehingga ku berhenti mencoba, malah datang sendiri: Hatred. (baca: (It's Really Hard) to Not Thinking of Her)
Kebencian yang lahir di ujung perjuangan BUKAN karena pengkhianatan atau dusta-dusta, tapi karena aroma kebencian yang begitu kuat yang ditularkan kepadaku dalam satu pertemuan singkat.
Kuputuskan tiada lagi air mata. Menjalani hidup dengan energi kasih sayang dan tanggung jawab seorang ayah serta rasa benci yang membara.
Takdir telah kuterima, dan ku tutup pintu hati serta kuncinya kucampakkan ke samudera dalam. Depresion: checked.

Tapi takdir tak pernah terukur. Disaat aku berpuas diri bahwa aku survive dan sangat bangga sebagai ayah dengan karangan anakku untuk tugas bahasa Inggrisnya yang berjudul 'My Daddy, My Superhero'..... cinta menyelinap mengisi relung-relung hatiku dengan lembut dan indah (baca: Bersemi Menjelang Senja). Cinta bersemi sembilan bulan setelah kata berpisah, atau dua bulan setelah sertifikat jomblo ku terima.
Tadinya aku tak yakin akan mampu mengalami cinta lagi. Bukan karena aku sangat mencintai mantan istriku. Ingat.... aku SANGAT membencinya.
Tapi karena aku tak yakin akan ada wanita lain mendapat sebutan 'BUNDA' dari anakku.
Toh, aku jatuh cinta. Dan anakku memanggilnya 'Bunda' (malahan ia protes jika aku salah menyebutkan dengan 'tante')
Akhirnya, aku mampu berdamai dengan hatiku. Aku telah berdamai dengan dunia.
Dan kebencian terhadap mantan istriku sirna dengan sendirinya. Acceptance: checked

Dalam setiap tahapan, inspirasi untuk menulis tak putus-putus, namun tak pernah ku publish karena lahir dari energi negatif emosi yang meledak, kekecewaan yang dalam, dan rasa pedih yang menusuk. Setelah kutulis, kubaca, akhirnya ku-delete dalam dinginnya malam.

Mungkin ada yang menuding bahwa aku tergesa-gesa dalam melangkah. Tapi bagiku waktu adalah bagian dari relativitas Einstein. Bukan cepat atau lambat yang penting, tapi bahwa aku JATUH CINTA. Suatu hal yang aku kira telah hilang namun ternyata masih ada, dan utuh.

That's What Friends Are For
Selama tujuh bulan masa-masa sulit dan dua bulan recovery, aku selalu mendapatkan dukungan dari keluarga besarku. Selain itu, dukungan teman-teman sangat membantuku dalam berjuang dan bertahan. Hikmah dari peristiwa ini adalah aku menemukan teman-teman sejatiku. Yang bukan hanya hadir disaat ku senang, tapi juga ketika ku terkapar. Teman-teman yang mengulurkan tangan menarikku bangkit, menepuk pundakku disaat semangatku patah, mendengarkan keluh kesahku dengan sabar tanpa menghakimi atau menggurui. Kepada mereka semua aku berterima kasih. Because of you, I'm ALIVE!

Thanks to:
My Big Family
Genk Banda Aceh 80's

Special thanks to:
KAKTUS (KomunitAs Kaset puTUS) as part of Genk Banda Aceh 80's... meskipun aku berharap segera jadi ex-member dan komunitas ini secepatnya bubar karena nggak ada member lagi, tapi aku takkan melupakan kalian semua selamanya :)


Big Thanks to:
Sanusi and Family
Heri S.
Susanti & Sammi Groves (you're my BFF, no...... my soul sisters!)

Last but the most important:
Kasih Avisti








Jumat, Januari 21, 2011

Bersemi Menjelang Senja


'Kamu yakin?', sang wanita bertanya.

Pria itu memandang mata yang berbinar di hadapannya. Mencoba menangkap setitik ragu, jika ada.
Tapi mata itu adalah lautan teduh yang menelan seluruh dukanya. Duka yang dibenamkan dalam-dalam dan telah dicoba untuk dilupakan. Tapi kini lenyap begitu saja dalam samudera tenang yang menatapnya seakan membisik lembut: 'menyelam lah ke dasarku.....'

Ia menghela nafas perlahan. Apakah ia yakin?

Perasaan ini bukanlah hadir untuk membunuh sepi.

Tidak!

Setelah perjuangan usai, sepi bukanlah temannya lagi. Perasaan ini otentik, bukan artifisial.

Tapi apa yang harus dilakukan untuk meyakinkan sebuah hati yang juga pernah terluka?

Ya... ia percaya dan yakin.
Perasaannya kepada wanita itu bukanlah karena pelarian, tidak pula sebagai pelampiasan. Perasaan yang ada karena wanita itu sendiri, yang kini berdiri dengan anggun di sisinya.
Keberadaannya yang singkat telah memberikan kehangatan bagi hatinya yang dingin membeku. Gelak tawanya menjadi oase subur bagi jiwanya yang kerontang. Dan tatapan matanya..... kerling yang membasuh luka.

Dan ia tahu sang wanita menandai keyakinannya, karena pertanyaan berlanjut:

'Apakah ia setuju?'

Tanpa ragu-ragu ia menjawab:

'Ya... ia setuju.'

Mataharinya, rembulannya, telah menyetujui dari awal mula. Tentu saja ia takkan meminta tanpa approval dari satu-satunya buah hati yang menjadi alasan ia tetap tegar setelah dihantam badai. Persetujuan yang tanpa paksaan, malahan disambut dengan suka cita.

Ia telah bersumpah takkan mengeluh sebagai pelindung tunggal cahaya hidupnya. Jika ijin tak diperoleh, sekuat apapun perasaannya terhadap wanita itu, solitaire akan menjadi permainannya abadi. Kebahagiaan buah hatinya adalah mutlak.

Dan kata setuju diucapkan tanpa keraguan. Hal yang mestinya tak perlu ditakutkan lagi.

Dalam pertemuan singkat mereka bertiga, ia bisa merasakan hangatnya pertalian antara buah hatinya dengan wanita itu, sehingga seharusnya kebahagiaan mereka menjadi sempurna.

Tapi apa yang harus dilakukan untuk meyakinkan sebuah hati yang juga pernah terluka?

Angin berhembus membawa aroma asin ombak dari tepi pantai. Meniup lembut daun mahoni yang melambai malas menggayut di ranting-ranting yang tertidur pulas.

Sang wanita tersenyum. Senyum tanpa suara yang terdengar di telinganya bagai orkestra filharmoni memainkan seluruh opus Frédéric François Chopin tanpa cacat.

'Bagaimana jika kita mencoba dulu sebelum yakin?', tiba-tiba sang wanita berujar lirih.

Adakah yang salah dengan pendengarannya? Ini jauh melampaui pengharapan, menembus awan dan menggapai bintang di galaksi terjauh! Sekecil apapun kesempatan akan diraihnya, dan pertanyaan sekaligus jawaban ini mungkin takkan datang dua kali!

'Oh, okay....', jawabnya. Mudah-mudahan wanita itu tak menangkap getar gemuruh jiwanya dalam jawaban sesingkat itu.

Langit semburat jingga berpadu jutaan warna menjelang senja, bagaikan foto polaroid yang diplintir sehingga menghasilkan lukisan abstrak adikarya.

'Benih-benih itu telah bersemi... tinggal dirawat dan dijaga,' selintas asa dalam relung dadanya.

Perjuangan baru sudah dimulai.

Ia berbisik lirih -sangat lirih- sehingga tak terdengar oleh sang wanita:

'Janjiku untuk membahagiakanmu akan dibuktikan oleh waktu....'

Dan matahari memburu ke balik gunung, meninggalkan rona chromakey di langit senja. Dan burung-burung terbang melayang berputar-putar dimabuk pesona cinta....





Kutaradja, 22 Januari 2011