Minggu, Februari 13, 2011

Cinta 100%

Lewat tengah malam.
Kunyalakan TV. TV merupakan pilihan terakhir untuk menghibur diri belakangan ini. Tayangan fiksi, termasuk fiksi ilmiah atau komedi situasi favorit, seperti menyindirku. Atau setidak-tidaknya menggali duka yang justru ingin kulupakan. Ini adalah hari-hari (yang berlanjut menjadi bulan-bulan) dimana senyumku terkunci.
Setelah berganti-ganti saluran tanpa tujuan, aku berhenti pada salah satunya yang sedang memutar ulang The Bachelor: London Calling. Buat yang belum tahu, ini adalah reality show di mana seorang pria lajang memilih satu dari 25 gadis cantik sebagai calon pasangan hidupnya. Setiap episode berlanjut, satu atau beberapa gadis dieliminasi sampai pada akhirnya tinggal dua orang. Salah satunya dipulangkan dengan hati patah dan yang masih bertahan akan menerima cincin pertunangan disertai lamaran yang romantis.
Menyedihkan, bukan?
Sesungguhnya semua reality show menyedihkan. Nestapa, bahkan aib adalah bahan utamanya. Apalagi jika jodoh yang seharusnya diterima sebagai takdir Tuhan dijadikan komoditi hiburan belaka. Kumatikan TV dan berangkat naik ke tempat tidur sambil membaca buku kamus bahasa asing yang belum pernah kupelajari untuk mengundang kantuk yang tak kunjung datang.

***

"Kamu salah.... seharusnya kamu tidak mencintainya 100%"
Sore itu aku duduk di sebuah kafe yang sepi pengunjung di pinggiran kota dengan dua orang temanku. Berbincang dengan teman merupakan terapi yang bagus ketika kamu mengalami goncangan besar dalam kehidupan. Sekaligus untuk mengetahui siapa temanmu yang sebenarnya.
Aku bersalah karena mencintai seseorang 100%? Mencintai sepenuh hati selama dua puluh tahun adalah sebuah kesalahan besar?
Sedikit logika matematika.
Soal: Leo Sawyer dalam lagunya "More Than I Can Say" mengucapkan "I'll love you twice as much tomorrow".
Kamu bertemu seseorang dan jatuh cinta. Pada hari pertama, kadar cintamu 1%. Jika kamu mencintainya seperti dalam lagu tersebut, berapa persen kadar cintamu setelah 20 tahun?
Petunjuk: Pada hari ke-8 -> kadar cinta = 128%
Mungkin seharusnya mengukur cinta bukan dengan satuan persen. Seperti untuk mengetahui tingkat kecerdasan, seharusnya ada perangkat untuk menguji tingkat cinta. Love Quotation, kalau mau keren dan terkesan ilmiah.
Mungkin kalau rajin mengikuti kuis-kuis yang bertebaran di tween atau female mags siapa tau dapat diperoleh angka yang akurat, atau paling tidak mendekati. Benarkah? Bagaimana jika nilai kamu lebih tinggi daripada si dia-atau sebaliknya? Apa lebih baik putus saja? Oh, aku sudah pernah menonton beberapa sitcom dengan episode tentang hubungan yang kacau gara-gara hasil kuis majalah!

***

Lewat tengah malam.
Kunyalakan TV. Setelah berganti-ganti saluran, akhirnya berhenti pada salah satu yang sedang menayangkan The Bachelor: London Calling. Tinggal tiga orang kandidat. Lokasi: Bermuda. Timbul juga rasa ingin tahu, siapa yang akan dipilih Matt Grant, bujangan yang jauh-jauh datang dari Inggris ke USA untuk mencari belahan jiwa melalui sebuah reality show?
Melakukan assesment terhadap peserta dan membuat prediksi siapa yang akan dipulangkan saat itu. Sengaja aku tidak berselancar di internet sehingga hasil akhir tetap merupakan misteri.
Prediksiku tidak meleset. Amanda mengepak koper dan pulang dengan hati terluka. Ketidakterbukaan Amanda membuat Matt ragu memilihnya sebagai kekasih. Kalau ini bukanlah reality show, mungkin Matt akan memberi waktu bagi Amanda untuk mendalami perasaannya sendiri. (Ternyata Amanda adalah gadis pertama yang menerima mawar dari Matt, sehingga prediksiku bukan tanpa dasar).

Selama beberapa hari kemudian aku masih setia mengikuti sampai episode akhir, karena toh aku telah membuat prediksi siapa yang bakal dipilih Matt.
Sebelum Matt menentukan pilihannya, masih ada satu ujian yang harus dilalui kedua finalis. Dan pada saat itulah aku yakin bahwa cinta 100% itu masih ada, bahkan dari sebuah reality show....

***

"Kamu jangan mencintai dia 100%..."
Sore yang lain, kafe yang berbeda, dua teman, satu orang yang sama. Yang sebelumnya mengucapkan kalimat yang mirip.
Hanya saja kalimat yang barusan diucapkannya bukan untuk menunjukkan kesalahanku di masa lalu, tetapi sebagai peringatan agar aku tidak terluka lagi.
Aku tersenyum. Temanku memandang cemas karena tau bahwa senyum itu menandakan keras kepalaku tak kan hilang. Tapi siapa yang bisa menentukan perasaan hati?

***

Seperti perkiraanku, Matt memilih Shayne, seorang aktris mungil.
Dan walau prediksiku benar, aku tak yakin apakah memang sudah seperti yang seharusnya....
Sudah seharusnya Matt memilih Shayne, karena dalam pengamatanku Shayne mencintai Matt sepenuh hati.
Meskipun Shayne seorang aktris, untuk membuat kebohongan melalui tatapan mata memerlukan pengalaman panjang dan disiplin dalam berlatih. Hanya sedikit yang mampu melakukan itu.
Petunjuk lain adalah ketika Shayne melakukan parasailing atas permintaan Matt, jawabannya adalah ia bersedia hanya karena Matt. Dan ketika Shayne mulai membubung tinggi, ia meneriakkan: "Kalau terjadi sesuatu padaku.... aku doakan kamu dan Chelsea berbahagiaaaa!"
Tentu saja Shayne selamat. Dan ia menerima lamaran dari Matt.

Seharusnya ditutup dengan happily ever after... kalau ini merupakan filem animasi Disney.
Nyatanya kisah cinta terbaik selalu berakhir tragis. Romeo dan Juliet. Sampek Ingtay. Tristan dan Isolde. Pronocitro dan Rara Mendut. Dan masih sederet lainnya.
Hanya bertahan dua bulan, akhirnya pertunangan mereka kandas. Aku yakin Shayne mencintai Matt sepenuh hati pada saat itu. Tapi apakah Matt juga mencintai Shayne dengan kadar yang sama? Ada ujar yang berbunyi: lebih baik memilih seseorang yang mencintai kamu meskipun kamu tidak mencintainya dari pada memilih orang yang kamu cintai sementara ia tidak sepenuhnya mencintamu.
Matt mengikuti ujar ini, dan legenda kutukan The Bachelor terus berlanjut....

Dan aku tidak pernah menonton reality show lagi.