Minggu, Juni 06, 2010

(It's Really Hard) to Not Thinking of Her




Hujan lebat dan angin kencang mendera sejak senja. Langit hitam pekat tanpa cahaya. Seluruh kota gelap gulita.
Aku duduk berbincang di rumah seorang sahabat. Jarum pendek jam dinding berada pada angka sepuluh.
Dari dalam kamar anak sahabatku terdengar cekikikan putri kami berdua, layaknya gadis menjelang remaja.

Begitu lampu padam dan gelap menggulita, ia gelagapan dan terbangun. Nafasnya tersengal-sengal. Ia memanggilmu sambil berteriak:'mati lampuuuu!'

Ternyata hujan tak kunjung reda. Hari Minggu yang sungguh bukan untuk dinikmati dengan aktivitas luar ruangan. Syukurlah, kemarin sore orangtuaku mengantar rantang penuh berisi nasi dan lauk pauk lengkap. Pagi dan siang ini kami makan tanpa harus berwisata kuliner seperti hari-hari sebelumnya.

Ia merasa malas melakukan kegiatan apapun, bahkan untuk bangkit dari ranjang. Badannya terasa pegal semua. Kamu datang sambil membawa piring berisi sarapan pagi. Dengan manja ia menelan setiap suapan darimu, sampai akhirnya berbisik: 'minum....'

Akhirnya, setelah 24 jam lebih 'hujan kucing dan anjing' berhenti juga. Tapi langit masih kelam dan kota tetap tanpa cahaya, terkecuali dari tempat-tempat yang memiliki pembangkit sendiri.
Aku dan putriku memutuskan untuk makan malam di coffee shop yang hanya berselang satu rumah dari kediamanku.
Bertemu seorang sahabat.

'How are you? Long time haven't see you in humanitarian world...'
'Not fine... now just me and my daughter'
'What happen?'
'Ia menemukan hati yang lain....'
'I know you're strong, man. Keep stronger...'

Sewaktu melangkah keluar dari coffee shop, putriku melihat seekor anak kucing liar.
'Lucunya.....'

Ia menjerit keras. Seisi rumah makan tersentak kaget.
Ia berdiri dan menjauhi meja makan. Di kolong meja melintas seekor kucing belang yang bermaksud menyantap tulang ayam yang mungkin dijatuhkan pelanggan sebelumnya.
Kamu kemudian mengusir kucing tak tahu diri itu sejauh-jauhnya. Setelah kucing itu tak tampak lagi, barulah ia kembali menduduki kursinya. Tapi selera makannya telah lenyap....


Aku menyiapkan peralatan yang akan dibawa anakku wisata dalam rangka perpisahan sekolah besok. PSP harus diisi anime tentang musik klasik. Botol minum harus penuh. Batere kamera belum dibeli. Belum lagi cemilan, baju ganti, dan tetek bengek lainnya.
Untung ibuku sudah menyiapkan rendang daging setengah kilo lebih yang diwajibkan oleh gurunya untuk dibawa.
Sebentar lagi aku akan keluar ke toko 24 jam untuk membeli batere dan cemilan. Sambil menonton anime, anakku memberi ciuman selamat jalan dan sekaligus selamat malam, siapa tahu ia akan tertidur sebelum aku pulang.

'Kami memisahkan diri dari rombongan selama dua hari,' katanya.
Firasatmu mengisyaratkan sesuatu yang buruk akan terjadi. Meskipun kamu tetap menyetujui. Toh, semua demi kebahagiaan putrimu yang sedang menikmati hari liburnya.
Perubahan terasa setelah itu. Dan makin nyata ketika putrimu membisikkan tiga kata, yang bagimu tak ubahnya ledakan bom pengkhianatan sebuah janji suci... gaung dentang lonceng pertanda sebuah cinta telah mati...

Kamu tahu ia tidak lagi layak mengisi ruang imajimu,
tidak pantas untuk berada di relung sudut hatimu,
tidak berharga untuk setetes airmatamu,

Tapi kenapa kamu tak mampu menyingkirkannya dari pikiranmu?

Apakah karena setiap melihat buah hati yang menjadi pelita hidupmu
kepada siapa kamu berjanji akan tegar mengarungi waktu,
Kamu menemukan bayang-bayangnya yang tak mau pergi?