Selasa, Juli 28, 2015

Prolog Demam




Malam terbaring di kaki ranjang
Setelah tujuh bersin berkumandang
Terbit air mata menggalur pipi
Lupa diseka zigzag kanan kiri
Tersebab menerjang badai di hari siang
Selewat terminal Cicaheum macet menghadang
Isi media mengiris kehilangan wahana
Lebih tujuh belas hari sebelah selatan samudra
Mengakses satelit pengedar segala cuaca
Sebuah kepastian yang mengukir tanya
Kemana burung terbang semasa langit cerah
Apatah arus dingin bawah laut memeluk erat jenazah
Tidak terangnya sebuah pengkhianatan
Letupan gelembung ketidaktahuan
Usia berapa untuk menjadi bijaksana
Atau selamanya kurcaci birawa?

Bandung, 25 Maret 2014

Salah Sambung




Baru selesai mandi ketika nada dering meraung
Menatap bantal sarung coklat dan telepon genggam hitam retak
Ku tak punya ringtone yang semarah itu
Seharusnya ku berkeliaran di hutan lindung
Berteman bekantan, tapir, anoa atau badak
Bukan berselancar di dunia maya menggoogle 'how to let the universe work for you'
Gema suara telpon semakin garang
Membuat ku menelengkan kepala ke dinding
Telinga berdenging mengantar nyeri
Frekuensi yang mendistorsi waktu dan ruang
Membantun lututku tertekuk miring
Nyaris terkapar tak sadar diri
Udara mendadak terberangus kabut
Tangan menggapai nafasku tersekat
Hampir putus nyawa minggat dari raga
Merangkak gemetar mencapai sudut
Meraba mencari koleksi obat
Dan tiba-tiba saja sakit itu sirna
Ruang waktu kembali utuh
Sunyi mencekam setelah guruh
Panggilan dari nomor tak dikenal
Gumam perlahan: 'Sial!'

Bandung, 19 Maret 2014

Laron Menerjang Lilin



Terang hari dan kita nyanyi
Lagu yang belum tercipta
Karna bunyi terindah masih kuncup
Mesti dipupuk komedi romansa elegi
Di bawah sungai meriak harmonika
Bahana sejauh pandang dekat menyayup
Dan tiba pertanda opus kan mekar
Ketika bintang berkelip merah jambu
Menggurat langit hujan seharian
Ufuk sebelah barat merah terbakar
Di balik bayang rimbun hutan bambu
Balada anak manusia tiga zaman
Dan fokus pada satu titik api
Sekali berarti dan sekali mati

Bandung, 18 Maret 2014

Bangun dan Bingung



Terlalu letih 'tuk meniti puisi
Setengah terpejam di bilah nada
Menggantung awan yang esok hilang
Somnambulis menyusur tepi perigi
Hentakan dingin sedar terjaga
Nanar membenam malam tak tau pulang

Bandung, 17 Maret 2014

Diktum Rindu



Jeruji yang mengurung dunia luar
Pintu tak kasat mata hanya terbuka oleh kunci magis
Bertatahkan toleransi dan empati
Bila mantra terucap dari lidah yang sadar
Bahwasanya ekuilibrium mekar jika harmonis
Dan singularitas menutup kembang tak jadi
Berhenti karna keabadian tak menyisakan ruang
Kias asap jin menyublim dalam lentera
Waktu tak undur digagas relativitas
Sepasang kekasih adalah sejarah berulang
Berputar di aula laksana jentera
Meluncur anggun diiringi orkestra minuet megah
Bilangan bermula asal tiada
Kembali dalam siklus gasal
Membentuk titik empat dimensi
Diasuh lima gaya fisika
Sekali tertarik kedua terpental
Sepasal asmara berbalur problema
Tapi cinta tak kan lari
Biar diancam mata belati

Bandung, 16 Maret 2014

Mimpi Buruk Anak Adam




Jangan mengira ini akhir semua bencana
Ketika lubang menganga dan kau berdiri termangu menelan ludah
Gelembung misterius melayang memancarkan gelombang putus asa
Dan wajah-wajah tanpa nama mematung bertengadah
Tersihir sinar lembayung merah jingga
Menyapu kabut tebal di dasar lembah
Dari kitab yang menukil sembilan belas nubuat
Ini hanya awal dari rangkaian azab
Premis yang mutlak benar untuk suatu akibat
Yang dimulakan oleh sederet sebab
Ketika chaos dan entropi membuka gerbang kiamat
Mesin yang paling canggih gagal menghisab
Dan kau kan melihat kilas balik riwayat hidup
Terlontar ke dunia mungil dan merah
Di bawah matahari tua yang makin redup
Menghirup oksigen tipis tersengal gerah
Memangsa lebih dari bertahan hidup
Karena kau sangka itu kuasa sebagai kalifah
Dari berjuta spesies yang melata di wajah bumi
Kenapa cuma kau yang merusak ekologi?

Bandung, 15 Maret 2014

Rindu Tak Sudah Jua



Sejarak kerinduan yang tak kunjung sudah
Kasih, tak berlalu bintang meski dihalau mentari pulang
Jangan sendiri berkurung sunyi
Karena sebelum berakhir akan menjadi indah
Sebagai madah pujangga gemilang
Membayang rona bening cermin hati

Bandung, 11 Maret 2014

Menguak Tabir



Bulan Maret mengambang di langit pemukiman lengang
Tak satupun bebunyian yang mampir karena letih memburu hujan seharian
Menatap raut sedih menyimpan duka di mata nyalang
Kata tak bersuara membentuk citra yang terlupakan
Datang dan pergi luput pada janji saksi
Mengharap kebenaran dan hanya kebenaran yang ku beri
Takkan mengubah perpektif mu tentang aku yang dulu dan kini
Tak mengapa, tlah kuhapus data dirimu dari keping memori
Sahabat sejati bukan yang menggunjing di belakang pantatmu
Oleh sebab itu kau jadi musuhku

Bandung, 1 Maret 2014


Mengantar Badai




"Posisi lu masih terbuka?" tanya Evelyn kepada Rosa yang terpaku bengong menatap monitor layar datar di mejanya.

Rosa menghela nafas panjang.

"He eh, say. Masih stuck, nih. Kamu?"

"Gue kan day trader. Mana kuat gue nunggu lama-lama?" sahut Evelyn sambil duduk di meja Rosa. Rok mini merahnya tersingkap, kontras dengan warna pahanya yang putih mulus. Kalau lah ini peringatan hari kemerdekaan, mungkin akan ada psikopat yang berpikir untuk menggantung Evelyn di puncak tiang bendera.

Pembicaraan mereka terputus sejenak dengan kehadiran Malik, office boy perusahaan trading tempat mereka bekerja. Malik meletakkan segelas teh manis di meja Rosa.

"Kamu tahu apa doaku selama sebulan ini? Hokkaido diterjang badai besar. Biar aku terlepas dari dua puluh lima lot kacang merah sialan ini! Hi hi hi...." kikik Rosa yang disambut ledakan tawa Evelyn.

"Lu juga edan. Semua duit tabungan lu sendiri ditaruh dalam satu keranjang...." tawa Evelyn berubah menjadi nada simpati.

 "Iya, nih, nggak tau mengapa waktu itu aku nekad begitu.... Kalau mendadak jadi bear market, aku bakal kena MC, kere abis. Bisa-bisa mati berdiri..." keluh Rosa. Ia menoleh.

"Eh....Malik sayang, tolong bilang bu Parti Warteg kalau kasbon punyaku minggu depan baru bisa ku bayar, ya say?" pinta Rosa kepada Malik yang baru mau beranjak pergi setelah membereskan gelas-gelas minum yang kosong.

"Siap, mbak...."

"Kok mbak, siiih? Sayang, gitu lho!" goda Rosa yang membuat wajah Malik merah padam semerah rok mini Evelyn.

Tanpa menjawab Malik bergegas ke luar trading floor menuju pantry yang merupakan wilayah kekuasaannya.

"Sering-sering lu sayang-sayangin entar dia ge-er, beib!"

Rosa cuma tersenyum.

"Lu jadi berangkat entar malam?" Evelyn mengganti topik pembicaraan.

"Jadi, lah! Runi bisa membunuhku kalau aku batal hadir di pernikahannya!" kata Rosa membayangkan betapa cerewet kakak perempuannya satu-satunya yang akan menikah dengan lelaki asing itu.

Ia melirik arloji Cartier berlapis platina dan bertatah berlian di pergelangan tangan kirinya.

"Aku cabut dulu. Harus buru-buru ke bandara, say. Takut nanti macet."

Evelyn memeluknya erat.

"Titi deje, beib. Salam buat keluarga besar lu dan selamat berbahagia buat Runi dan suaminya."

Rosa bergegas keluar sambil melambaikan tangan kepada para trader yang masih memelototi monitor di meja masing-masing dan juga pada Raja, manajer mereka, yang berdiri di depan salah satu big screen yang menampilkan data perdagangan dunia hari itu.


***

Setelah mengunci pintu-pintu seluruh ruangan, Malik menuju lift yang akan membawanya turun dari lantai 24. Di dalam lift sudah ada Raja yang menahan pintu lift untuknya.

"Permisi, pak," sapa Malik sopan.

"Long weekend nggak pulang?" tanya Raja basa-basi.

"Tidak, pak," jawab Malik seperlunya. Selanjutnya mereka diam hanyut dalam lamunan masing-masing.

Malik bergegas ke Warung Tegal bu Parti yang terletak di jalan pintas belakang gedung berlantai 54 yang jadi langganan hampir semua karyawan di gedung tersebut. 

Bu Parti sedang merapikan etalase kayu. Selepas waktu makan siang, hanya sedikit  pengunjung yang duduk di warungnya.

"Bu Parti, tadi mbak Rosa nitip uang buat bayar kasbon." Malik mengeluarkan dompetnya.

"Nopekgo semuanya," jawab bu Parti dengan logat Tegal yang kental.

Malik mengeluarkan tiga lembar uang seratus ribu yang diterima bu Parti sambil senyum memamerkan deretan gigi emasnya yang berkilauan.

Setelah menerima uang kembalian, Malik menuju mal di seberang jalan utama. Ia membeli selembar peta dunia dan spidol merah di toko buku, tiga bungkus roti tawar putih dan dua botol besar air mineral di supermarket dalam mal.

Dari situ, dengan menumpang angkot ia menuju pasar burung. Setelah berputar-putar akhirnya ia menemukan apa yang dicarinya. Ketika keluar, di pundaknya sudah bertengger tas kiso berisi seekor ayam cemani hitam legam bermata merah. 

Tak jauh sepelemparan batu, terdapat pasar tradisional, tujuan terakhir Malik guna mendapatkan beberapa barang yang dibutuhkannya, sebelum pulang ke pemondokannya.

***


Selama tiga hari tiga malam, Malik mendekam di kamarnya. Jendela-jendela tertutup rapat seakan mengurung ruh jahat.

Pondokan itu sepi. Semua penghuninya pada mudik atau ke luar kota. Kalau tidak, pasti mereka akan mencium aroma kemenyan menyebar dari kamar Malik. Belum lagi suara geraman berupa mantera-mantera dalam bahasa yang terlupakan tak putus-putus bergema naik turun. 

Dan di hari ketiga, Minggu malam, terdengar kotek ayam yang berganti ngorok karena lehernya disembelih. Berakhir dengan sunyi yang mencekam. Dari jauh terdengar lolongan anjing berpanjang-panjang mengancam rembulan.

***

Keesokan harinya Malik menelpon kantor yang diterima oleh Virya, resepsionis. 

"Mbak Virya, saya minta ijin tidak masuk hari ini. Saya merasa kurang sehat...." suara Malik terdengar lemah tak bertenaga.

"Nanti mbak sampaikan ke pak Raja. Cepat sembuh ya." 

Virya menyampaikan kabar itu dan kabar lainnya kepada Raja yang sedang memandang salah satu big screen yang sedang menampilkan sesi pertama TOCOM pagi hari. 

"Apaaa? Serius?" tanya Raja tak percaya. Ia terhuyung sempoyongan, segera meraih kursi terdekat. 

Raja meraih remote tv dan mengganti saluran salah satu big screen tv di dinding ke saluran berita. Di layar besar lain terbaca harga Red Bean mencapai limit up pada sesi pembukaan.

***

Keesokan harinya Malik telat masuk kantor. Tabrakan antara metromini dan kopaja membuatnya dua jam terlambat.

Alangkah herannya Malik ketika menemukan suasana trading floor yang muram. Para trader berkerumun di depan tv layar lebar. Aneh. Semuanya menyiarkan berita. Biasanya selama sesi perdagangan, hanya pergerakan harga komoditi, saham atau mata uang yang muncul di layar. 

Dalam hati ia bertanya-tanya, apakah usahanya selama tiga hari kemarin sia-sia belaka? Diliriknya monitor di meja Evelyn. Harga kacang merah kembali mencapai limit up di hari kedua. Ya, Malik paham seluk beluk pasar komoditi, meskipun statusnya hanya sebagai office boy.

Ia tak menemukan bayang-bayang Rosa di antara kerumunan trader. Apakah yang ia lihat butiran air mata mengalir di pipi Evelyn?

Matanya mendadak terbeliak lebar. Layar tv dipenuhi gambar peta yang sangat dikenalnya, karena selama 3 hari 3 malam matanya tak terpejam menatap gambar wilayah tersebut. Sebagian peta itu tertutup persegi empat berupa inset pasfoto wajah seorang gadis.

"....seorang warga negara Indonesia ikut menjadi korban bencana badai taifun yang melanda utara Hokaido dan Honshu, Minggu kemarin. Korban yang bernama Rosa Lasang, usia 26 tahun, tewas ketika taksi yang ditumpanginya tertimpa pohon yang diterbangkan badai dengan kecepatan 160 kilometer per jam. Korban dalam perjalanan menuju hotel setelah menghadiri pernikahan saudaranya, Runi Labuan yang menikah dengan seorang pria Jepang--"

Pandangan Malik mengabur. Tubuhnya jatuh tak bersuara diredam karpet tebal dan musik ending berita televisi, ketika mendadak jantungnya berhenti memompakan darah untuk selamanya.


Senin, Juli 27, 2015

Takkan Jaim



Aku tak malu nongkrong di kaki lima
Menyantap soto pak Kumis atau dawet ayu Ponorogo
Merasa biasa saja bergala dinner di hotel bintang lima
Dalam acara amal mengeradikasi polio
Aku tak risih berbagi secangkir kopi
Dengan penyapu jalan di sejuknya angin pagi
Tak juga jumawa kala menyesap Earl Grey Tea yang dikirim dari Piccadily
Di pojok klub khusus laki-laki sejati
Aku tak sungkan bicara manga dan musik poprock dengan remaja belia
Yang memandang dunia dari lensa lunak berwarna-warni
Tak juga gagap berdiskusi sastra dan musik klasik dunia
Atau sains fiksi, pemanasan global, maupun bioteknologi
Tak asing dengan rai dari aljazair
New wave delapan puluhan dan ska
Kolaborasi musisi Jerman pada gamelan Bali yang mengalir
Petikan harpa maestra dari Vienna
Tak segan berkaos compang mengecat tembok halaman
Dibakar mentari diterpa hujan
Tak bangga berjas dasi mempresentasikan perusahaan
Karena memang tugas yang harus dilaksanakan
Tak kuhapus airmata karena derita busung lapar anak-anak di Afrika
Sementara kucing dan anjing eksotik makan minum bernutrisi melebihi manusia
Tapi juga tak kututup benci pada penipu dan pendusta
Yang bertanam tebu di bibir sambil menerkam mangsa
Aku bangga dan kagum dengan babu yang ke Hong Kong atau Malaysia
Sesungguhnya mereka pahlawan bangsa
Dan ku mencemooh cendikia yang melacur kepada penguasa
Hasil riset sesuai pesan sponsor semata
Karena ku bisa menangis mengadu pada Ilahi
Tersebab kejujuran yang aku maknai
Dipelintir, diputarbalik dan disalah arti

Bandung, 27 Februari 2014

Kupu-Kupu dan Badai



Membuka lembaran lama, tiap kalimat, kata demi kata
Kebolehjadian, dalam ragam struktur bahasa
Diri, dunia, semesta begitu banyak berubah
Titik noktah, awal dari garis linear bermula
Dimensi tak terhingga di batas cakrawala peristiwa
Rangkuman total jumlah sejarah
Meniti tangga lagu yang pernah hijau
Dua puluh empat nada musisi masyhur masa lampau
Ribuan tembang bertaut mengambang
Jenjang nirwana swarna kemilau
Merajah sukma di kala risau
Membuka gerbang dunia yang hilang
Mengingat garis biometrik tiap wajah
Yang pernah melintas jalan kehidupan yang sudah
Ada yang buram mengabur seakan angan
Terlebih lagi yang jelas terlukis indah
Tak pupus digerus waktu, tak kenal kalah
Masih tersisa raut getir yang ingin dilupakan
Mengilas balik fragmen setiap momen yang tlah usai
Bingkai berbingkai, gerak bisu petarung lihai
Hitam putih mimpi tak berwarna
Tak jarang pucat pasi, laun gemulai
Serupa khayal penyair mabuk terkulai
Terdedah menguak misteri takdir abadi cinta
Jangan menyerah
Terus menari
meniti senja merah

Bandung, 22 Februari 2014

Senja Peradaban



Tanpa sadar kita semua tlah menjadi zombi
Menggigit dan mencabik hati nurani
Terkapar mati untuk hidup lagi dini hari
Menyeret gontai tungkai dalam lapar abadi
Di satu masa kita bertransformasi menjadi mesin
Berganti musim mengulang kerja kemarin
Suku cadang dan pelumas penggerak turbin
Hanya nomor seri identitas penanda lain
Di dalam gelap kita adalah vampir drakula
Tak mampu melihat cermin muka
Menyedot darah yang lemah papa
Menebar virus rumor sumber derita
Terkadang kita jadi semut serangga
Menumpuk harta tak kira-kira
Main keroyok bila bersentuh murka
Menguasai bumi dan segenap daya
Akhirnya kita semua menulis puisi
Baris menyusun bait luapan hati
Stanzah, gurindam, syair dan elegi
Berdeklamasi di ruang pribadi
Dan matahari bergegas pergi berbenam

Bandung, 20 Februari 2014

Paradigma Pengolah Data



Malam hanyut di muara senja
Langit meredup menyisakan berkas larik jingga
Jalanan berhampar aspal tak henti dilindas guliran roda
Di atas pedati tak bersapi yang memuntahkan karbon monoksida
Manusia-manusia bingung mengejar rumah di sisi jauh kota
Atau sekadar mampir di cafe, mal, alun-alun atau plasa
Secangkir kopi, sepiring nasi begana, atau seloyang pizza
Atau mengharap goda dari bibir merah jambu pramuniaga kosmetika
Mencoba hapus tragedi demi tragedi dalam lintas berita
Setelah dari pagi pergi menghamba berkolusi berorasi berpeluh berkerut kening atas nama kerja
Ritual rutin yang bisa disusun sebagai bagan alir algoritma

Bandung, 18 Februari 2014

Ajari Aku Melangkah



Kembali belajar melangkah
Tertatih menggigit nyeri
Tiada luka yang terlalu dalam
Tak menakar benar salah
Tak guna telusur kembali
Meniup api tak kenal padam
Berjalan berlatih lagi
Setapak lanjut setapak maju
Terhuyung tak hendak jatuh
Dan jika rubuh bangkit berdiri
Menghela nafas satu satu
Tak sedar menjangkau jauh
Bukan berjuang hanya bertahan
Terbit gairah menukil kisah
Tentang jejak di lantai dingin
Asa terbang menggapai bulan
Menuntun arah petualang hijrah
Memilah pilih dari beribu mungkin
Melangkah tak ragu
Tertatih tak malu
Arah belum pasti
Kibar tekad satu
Mendaki pilu
Temukan cinta sejati

Bandung, 17 Februari 2014

Kisah Biasa



Kisah yang biasa sebenarnya, bisa terjadi di belahan dunia mana saja
Setting lokasi ternyata hanya sebuah kedai kopi yang buka tutup seenaknya, yang kebetulan pada saat peristiwa memang dibuka
Tidak begitu ramai pelanggan, lebih banyak pramusaji pria dan wanita
Pengeras suara kuadrofonik meniup lembut musik dari era lampau yang hampir terlupa
Dan aroma kopi dari ketel di atas tungku panas menyala disaring dengan rapi oleh barista
Nuansa nostalgik sangat, sangatlah berasa
Di meja belakang sudut dekat jendela dengan pemandangan taman gaya Jepang
Sepasang kekasih, mungkin cinta terlarang, saling pandang mabuk kepayang
Tangan saling genggam, bisik berbisik tak lupa terselip ujar sayang
Kadang sang putri terkikik dan mencubit lengan pangeran yang tertutup kain baju lengan panjang
Dan sang pria berpura mengaduh mengerang
Oh, dunia milik mereka berdua, yang lain cuma numpang....
Dua meja dari mereka, persis di tengah-tengah
Seorang pria paro baya menyeruput kopi panas dengan terengah-engah
Hanya saja matanya awas berputar tak kenal lengah
Maka sudah layak kau 'kan menduga bahwasanya dia mata-mata dari negeri tetangga sebelah
Yang sedang berusaha mencuri resep rahasia mengolah kopi mentah
Atau cara membuat roket angkasa dari tong sampah
Dan di meja paling sudut menghadap pintu masuk di sisi jendela ke arah jalan
Seorang wanita cantik misterius berkacamata hitam, anggun lagi elegan
Bersarung tangan kulit, rokok mungil di bibir merah mengepul asap beraroma menthol mengambang pelan
Secangkir kopi susu yang kini menjadi dingin tak tersentuh di atas tatakan
Dan bila kau seorang pengamat yang lihai, kan dapat menangkap isak perlahan
Mesti kacamata hitam menjadikan bulir air mata tak kelihatan
Setelah itu....sungguh ku tak tau bagaimana mengakhiri
Karena setelah membayar harga secangkir kopi, aku beranjak pergi
Seperti di awal cerita yang kututurkan tadi
Ini kisah yang sebenarnya biasa terjadi

Bandung, 16 Februari 2014

Ihwal Kota



Sebuah kota masa kini adalah rimba beton dan belukar aspal. Di sana-sini terselip taman yang dipaku dengan patung sebagai tanda, boulevard ornamental bertabur kembang puspa aneka warna, lapangan tempat raga diolah atau upacara dilaksanakan. Sliwer kendaraan lalu lalang yang bisa macet total, rayap melancar atau bebas hambatan di jalan verboden, contraflow, 3 in 1, persimpangan, terowongan, underpass, bypass atau melayang.
Sebuah kota masa kini adalah geliat manusia komponen roda gigi mesin birokrasi dan ekonomi. Pasar komoditi, properti, dekadensi serta harga diri. Rimba bagi pemburu dan mangsa, arena bagi petarung dan pengacara. Lumbung pengemis mengais jutaan dan perangkap urban para gelandangan.
Sebuah kota masa kini adalah rasa bangga sekaligus malu pada kenangan masa lalu, romantisme harapan masa depan yang dipasok oleh rencana umum tata ruang namun boleh dipelintir maaf diakomodasi, debat seru sampai ngantuk terangguk-angguk di sidang komisi, lobi dagang sapi impor dari ostrali.
Sebuah kota masa kini adalah brankas penyimpan lirih bait puisi tentang kerinduan pemilik hati, senandung malam yang tak kunjung sunyi, prosa cinta abadi.

Bandung, 13 Februari 2014

Sumpah Hijrah



Menguak misteri lapis demi lapis
dalam gerah malam
Lupa lelap yang berkubang
Memecah telik sandi antagonis
di lantai buram
Jejak rekam nyaris hilang
Sejuta kata di ujung lidah kelu
tak bermakna
Tanpa cermin di sisi ranjang
Memantulkan wajah ulung penipu
aliansi pendusta
Berkedok ayat-ayat panjang
Berkubanglah dalam lupa
Tapi ruang bukti
Menyimpan data garis sejarah
Yang membalik laras senjata
Tepat di ulu hati
Sutradara drama tragis tamsil fitnah
Jika kebohongan
yang kalian khutbahkan
Dan gosip murahan
sebagai kajian
perayaan milad nabi tuhan
Doaku akan jadi kutukan
Dan namaku akan tertulis di masing-masing batu nisan

Bandung, 9 Februari 2014

Keep Calm



Sebatang cokelat
menghadang demam
kepulan asap
membunuh
Berkhayal teknologi
mekanika fisika
mengunci diam
retak tulang sendi
Antara medieval
dan postmo
bukan antithesis
komplementari
Sebagai kata kunci
penunjuk jalan
alternatif solusi
inovasi
Mungkin diam
rujukan psikohistorian
sebagai jawaban
semesta soalan

Bandung, 8 Februari 2014

Oleh Karena



Menulis puisi mungkin karena genit berekspresi daripada bolak balik memperbarui gambar profil dengan foto selfie dibantu tongsis - tongkat narsis buat yang ingin motret diri sendiri dengan gawai canggih, buat yang belum tau sekarang aku kasih tau - yang diperhalus dengan kamera tiga enam puluh dan hasilnya lebih halus daripada wajah artis yang punya juru rias pribadi.
Atau muntahan lara isi tembolok remaja atau yang merasa usia kepala empat atau lima sebagai muda sedang galau bete karena jablay jomblo atau diselingkuhi sama temen sendiri atau bbm cuma delip tak dibaca inbox dicuekin malam minggu dianggurin kantong robek bahan bakar cekak.
Atau dapat wangsit lagi boci mimpi istimewa pakai telor karetnya dua jangan lupa dikasih acar bawang dan cabe rawit lima, nomer jitu atau perintah ikut mengusung partai jadi tim sukses memulai karir sebagai pemotivasi cara jadi kaya raya hanya dengan sepengki tanah atau apa sajalah.
Atau karena menulis puisi adalah sebuah rutinitas seperti bernafas bercinta dan bersedekah.

Bandung, 7 Februari 2014

Fraktal Rindu


Merehatkan sebelah kaki
Memberi jeda pada dinamika ragawi
Simpul pikir yang mengurai terburai
Mencamkan para cheb mengusung Rai
Kadang terlupa pada jera
Hingga sepucuk nyeri mendera
Namun tergerus rindu sebentuk hati
Penantian mengintai fajar dini hari
Mungkin jam dinding yang berdentang
Hanya sebaris puisi usang
Tapi perindu menjaring denting mandolin
Dari resah gelisah desahan angin
Dan ketika bulan tersaput halimun
Menyesatkan haluan perahu lanun
Pungguk tak surut dendam merindu
Di puncak gunung berkabut ungu
Merehatkan sebelah kaki
Menarik tegas garis demarkasi
Antara album berdebu masa silam
Dan sebuah cinta yang tak pernah padam

Bandung, 6 Februari 2014

Puisi Tanpa Puisi

Telanjang ku di sini
tanpa jubah puisi
dingin berpeluh
tunggu subuh

Bandung, 3 Pebruari 2014

Stanza Keheningan


Bunyikan sesuatu sebelum sunyi mendera
Tegakkan pataka cegah sandung petaka
Nyatakan daripada meneguk harga diri paksa
Lara diri hanya pelupaan mimpi
Pengisi dinding status ratapan terkini
Mencoba jawab tanya mengapa sebelum begini
Saat peluk menggapai hapus duka
Memilih damba cinta yang terpendam lama
Katakan kasih bila waktunya tiba
Karna selamanya satu kejap mata
Tak terhingga masih terbilang angka
Terjerembab di puncak piramida pesona
Bukan bertaman wijayakusuma pagi hari
Amsal ku ingin menggenggam hati
Hadir di sisimu dan tak pernah pergi
Bunyikan sesuatu sebelum sunyi mendera
Karna selamanya satu kejap mata
Di sisimu hadir janji pasti ku nyata

Bandung, 2 Pebruari 2014

Sagon L'Amour



Setoples sagon berbentuk hati
Mocaccino instan hangat seduhan sendiri
Lemburku melepas malam minggu ini

Bandung, 2 Pebruari 2014

Minggu, Juli 26, 2015

Gurita! Gurita!


Matahari belum membakar timur langit di pagi itu, namun orang-orang telah bersiap-siap melakukan aktivitas rutin mereka dengan perasaan mendongkol. Bagaimana tidak? Dari jam dua dini hari listrik ibukota padam, air ledeng mampat, jaringan telpon seluler semua operator hilang, begitu juga koneksi internet dan telepon saluran darat, baik melalui kabel tembaga atau serat optik. Seakan kembali ke jaman kegelapan bin jahiliyah. Akibatnya yang hendak berangkat kerja hanya mengandalkan semprotan parfum dan deodoran, mencuci muka sekadarnya dan menggosok gigi dengan air sisa dispenser. Masyarakat kota mana yang rumahnya masih ada sumur lengkap dengan timba?

Dan tepat pukul setengah enam pagi listrik kembali menyala. Seperti digerakkan tenaga gaib, televisi-televisi hidup dengan sendirinya. Semua saluran menampilkan tayangan yang sama, sosok gurita raksasa menatap kamera dengan sepuluh corong mikrofon di depan mulutnya yang mirip paruh burung kakak tua. Monster raksasa, sehingga ubun-ubunnya menyentuh langit-langit auditorium studio yang biasa dipakai untuk gelar acara anugerah terbaik pura-pura.Ke delapan tentakelnya melambai-lambai seakan mengancam dunia. Orang-orang terpana, ketika sang Gurita Raksasa berbicara:

"Selamat pagi manusia pemirsa. Saya adalah Ratu Gurita Lautan Hindia. Saat ini kami, para gurita, telah mengambil alih kota kalian."

Salah satu tentakelnya menggaruk jidatnya yang licin. Terdengar dehemannya yang mirip suara desah angin.

"Kalian adalah makhluk serakah. Makanan kami kalian ambil sesukanya. Ekosistem kami kalian racuni. Anak-anak kami kalian pukat dan kalian jadikan dendeng atau abon!" gelegar amarah Ratu Gurita yang membuat televisi layar tabung meledak. Hanya televisi LCD dan videotron di jalan-jalan utama yang masih bertahan.

"Untuk itu kami mengambil tindakan sebagai peringatan! Lihatlah ke atas gedung, atap rumah, puncak monumen atau tower komunikasi!".

Di layar televisi muncul gambar beberapa gedung dan menara yang diambil dengan longshot, medium shot maupun nyaris close up berganti-ganti. Di puncaknya masing-masing bertengger belasan bahkan puluhan gurita yang nyaris sama besarnya dengan sang Ratu.

Orang-orang berhamburan ke luar rumah. Penghuni griya tawang berdiri di balkon sedangkan penyewa rusunawa mengintip dari kaca jendela. Seluruh atap dan tempat-tempat tinggi tak bersisa diduduki para gurita dengan tentakelnya yang meliuk-liuk seperti sedang menarikan Serampang Dua Belas. Pemandangan yang mestinya lucu dan indah, tapi nyatanya orang-orang tercekam.

Dari televisi terdengar suara Sang Ratu Gurita membahana:

"INI HANYA SEBAGAI PERINGATAN!"

Dan orang-orang menjerit. Situasi menjadi kacau balau. Hiruk pikuk dengan isak tangis dan lolong panjang bercampur sumpah serapah. Chaos. Orang-orang saling tabrak berlarian menyelamatkan diri. Namun takdir tak bisa dielak....

***



Hari itu dikenang dalam sejarah sebagai HARI SERANGAN GURITA.
Selama sebulan penuh, masyarakat ibukota bekerja keras mengembalikan warna kota.

Dan media-media seluruh dunia memberitakan peristiwa itu lengkap dengan citra satelit tampakan seluruh kota dari langit sebagai noda hitam tertutup tinta.....



Minggu, Juli 19, 2015

Temporal Paradox

"Si... si... siapa kah Anda?", Annisa berseru ketakutan.

Pria yang tiba-tiba muncul dengan cahaya kemilau di sudut apartemen studionya itu dan membuatnya terkejut setengah mati, berujar:

"Annisa? Nama Anda Annisa?"

"Ya.... Namaku Annisa. Anda siapa? Dan bagaimana Anda bisa masuk ke apartemen saya?" 

"Namaku kelak Anda akan tahu sendiri. Mama..., aku adalah putramu 40 tahun dari sekarang. Aku datang dengan mesin waktu penemuanku," ujar lelaki yang usianya jelas lebih tua dari dirinya.

Entah mengapa, Annisa merasa lelaki itu jujur. Ia bahkan serasa melihat dirinya sendiri jika ia dilahirkan dengan jenis kelamin berbeda dan lebih tua lima belas tahun.

"Ijinkan aku bercerita, Mama...."

*** 

Dua hari dari sekarang, Annisa akan berkenalan dengan Radyan, putra tunggal konglomerat ternama yang masuk dalam daftar 500 orang terkaya versi majalah Forbes. Tiga bulan kemudian mereka menikah, dan setahun kemudian Annisa akan melahirkan Kalingga.

Malang tak dapat ditolak, saat umur Kalingga 1 tahun, mereka sekeluarga mengalami kecelakaan lalu lintas di jalan tol. Radyan dan Annisa tewas, hanya Kalingga yang selamat. Kalingga kemudian dibesarkan oleh kakek neneknya. Ia mendapat pendidikan terbaik, kasih sayang yang melimpah dan dimanjakan oleh mereka. Namun Kalingga merindukan ayah ibunya yang hanya dapat dilihat dalam album foto usang, atau hadir dalam setiap mimpinya.

Kalingga seorang jenius. Karena kerinduan pada orangtuanya, Kalingga menciptakan mesin waktu.... 

*** 

Annisa tercenung. Ia yatim piatu yang dibesarkan di panti asuhan. Dari kecil terbiasa hidup susah, bekerja keras untuk menghidupi dirinya sendiri sebelum meraih sukses sebagai penulis dan wartawan ibukota, akan menikah dengan putra konglomerat yang terkenal playboy itu?

"Bagaimana aku bisa mempercayaimu? Apa buktinya kamu datang dari masa depan?" Annsa bertanya lirih. Ia merasakan naluri kewartawanannya mengalahkan naluri keibuannya.

Kalingga menatap ke luar jendela. Dari lantai 6 terlihat ufuk timur mulai menerang.

"Apakah sebagai wartawan, Mama tau headline berita hari ini?"

Annisa menggeleng.

Kalingga menoleh. Ia melangkah dan mengambil selembar kertas dan pena dari atas meja kerja Annisa. Dengan cepat ia menulis 5 nama surat kabar dan 3 majalah mingguan yang terbit hari ini lengkap dengan kalimat serupa kepala berita, juga beberapa judul berita lain berikut nomor halamannya.

"Mama bisa mencocokkan ini di kios majalah di seberang pertigaan," ujar Kalingga sambil menyerahkan kertas tersebut. Dan Annisa pun bergegas keluar, menuju lift yang akan membawanya ke bawah.

Masih banyak yang akan ditanyakannya pada Kalingga, tapi ia ingin membaca salah satu berita yang ditulisnya dan menjadi headline di daftar Kalingga.

*** 

Kalingga mengamati ruangan apartemen dengan seksama.

"Persis seperti foto-foto di album Mama semasa gadis," pikirnya senang.

Akhirnya ia bisa bertemu Mama. Waktunya di 'masa lalu' tinggal dua jam lagi, sesuai dengan counter mesin waktunya. Setidaknya ia telah memberi peringatan tentang kejadian yang menimpa Papa dan Mama. Mungkin mereka bisa menghindari kecelakaan tragis tersebut, dan mereka akan selamat.

Ia membuka kulkas dan mengambil minuman kaleng. Ketika hendak mereguk isinya, kaleng itu terlepas jatuh dan isinya tumpah membasahi karpet.

"Oh, tidaak!" Kalingga menjerit ketika melihat tangannya mulai memudar, begitu juga bagian tubuhnya yang lain, menjadi transparan, sebelum akhirnya benar-benar menghilang.

*** 

Pagi baru beranjak. Orang-orang mengerumuni sesosok tubuh yang tergeletak di pertigaan jalan. 

"Aku tidak sengaja menabraknya! Ia menyeberang secara tiba-tiba!" ujar supir mobil pengantar surat kabar yang menabrak Annisa. Beruntung massa tidak menghakimi supir tersebut.

Dari jauh terdengar suara raungan sirene mobil ambulan. Dan matahari mendaki langit dengan pasti.