Sabtu, Mei 31, 2008

The Tune's Still Remaining.....

Seperti mayoritas geek umumnya, aku adalah seorang trekker.
Since day one.



Konsekuensinya adalah,

  • Merasa belum lengkap kalau belum menonton semua seri tv (termasuk animated) dan film-nya.

  • Dengan harap-harap cemas menunggu movie dan spin off terbaru.

  • Mengkoleksi komik, trading card, novel, dan merchandise lainnya yang berhubungan.

  • Bergabung dengan komunitas penggemar Star Trek dan tidak ketinggalan berita seputar star trek.
  • Harus mampu memahami bahasa Klingon dan Ferengi Rules of Acquisition

  • Tanpa sadar menggumamkan theme song Star Trek, terserah mau dari seri tv atau movie. Atau kalau mengaku ras Klingon: Khemorex Klinzhai! (Klingon Battle Anthem)


Karena itu berita bahwa tentang kematian Alexander 'Sandy' Courage di Pasific Palisades dalam usia 88 tahun tanggal 15 Mei lalu, menyebar DI SELURUH website sci-fi, entertainment dan IT.

Sandy merupakan maestro theme song. Meskipun banyak karyanya Tetapi mahakaryanya yang paling dikenang adalah opening tune Star Trek The Original Series. Karya yang menjadi standar theme song sci-fi seri.

Trekker seluruh dunia tenggelam dalam duka. Dan seluruh ras yang tergabung dalam Federation of Planet mengucapkan selamat jalan kepada komposer kelas jagat raya tersebut.

Bon voyage, Sandy. Long live and prosper.....

Rabu, Mei 28, 2008

Ayah Kasih Cuti

Karena Kasih mau ujian kenaikan kelas, aku memutuskan untuk mengajukan permohonan cuti. Selain untuk membantu anakku belajar, toh cutiku akan hangus percuma jika tidak kumanfaatkan.

Hari Senin silam aku mendapat kepastian bahwa permohonan cutiku dikabulkan boss. Kabar gembira ini kusampaikan kepada Bunda Kasih via telepon. Aku sendiri masih tertahan di Medan untuk suatu urusan sampai Selasa malam kemarin.

Bunda segera memberitahukan hal ini kepada Kasih.

"Kasih, ayah cuti selama ujian untuk membantu Kasih belajar."

Ternyata, sambil menepuk jidat anakku menanggapi dengan kalimat:

"Wad-duh! Mati Kasih........"

Selasa, Mei 27, 2008

Peramal Jati Diri

Itulah yang tertera di kartu namanya.

Aku masuk ke smoking room di ruang tunggu keberangkatan domestik Bandara Polonia, Medan. Ruangan khusus untuk merokok di pojok, dengan dua kursi deret menempel di tembok dan dua lainnya merapat ke dinding kaca. Merokok merupakan kebiasaan buruk yang sulit kutinggalkan. Aku duduk membelakangi kaca dekat asbak dan mulai menyalakan sebatang kretek filter.

Di sebelah kananku duduk seorang tua. Tebakanku ia seorang pensiunan. Di kursi deret satu lagi yang juga membelakangi kaca, seorang tua lainnya berpakaian serba hitam sedang mengisap rokok dengan pipa pendek dari tanduk. Dan yang membuatku tak dapat melepas pandang darinya adalah delapan buah cincin dengan batu akik yang besar melekat di jari-jari tangannya. Hanya kedua ibu jarinya yang tidak berhias cincin.

Mereka hendak ke Jakarta, penerbangan dengan saat boarding yang sama dengan punyaku. Dari pembicaraan mereka, terbukti dugaanku benar. Pak tua disebelahku adalah pensiunan sebuah BUMN. Tapi tentang lawan bicaranya tak dapat kusimpulkan siapa jati dirinya.

Akhirnya aku tak tahan lagi. Aku bangkit dan menghampiri pak tua yang berpakaian hitam-hitam dan meminta ijin untuk memotret cincin-cincinnya. Restunya kuperoleh.

"Dia saudaranya Tessy...", kata bapak pensiunan BUMN sambil tertawa. Tentu saja itu hanya canda. Tentu yang dimaksud bapak itu bukan lah Tessy Kaunang.

Setelah mengambil foto jari-jarinya, aku kembali ke kursiku. Tak lama ia pindah ke kursi di samping kiriku. Aku menanyakan namanya yang dijawab dengan pemberian kartu nama.

PERAMAL JATI DIRI
Paranormal

Abdullah Muslim


Kami bersalaman. Ia langsung memberikan jasa profesionalnya secara gratis.

"Anda mudah bergaul, tetapi banyak orang yang syirik dengan Anda," katanya. Aku rasa yang ia maksud adalah iri.

peramal jati diri"Anda juga punya perasaan yang peka, sehingga kalau ada masalah perut dan kepala Anda yang diserang.
Meskipun Anda suka membantu orang lain karena sifat sosial Anda yang besar, tetapi orang-orang yang Anda bantu sering mencelakakan Anda," sambungnya tanpa kuminta. Aku hanya tersenyum-senyum. Mau bagaimana lagi?

"Anda orang yang mudah diajak berdialog, tetapi keras dalam mempertahankan apa yang Anda anggap benar. Karena Anda memang benar. Anda punya kemampuan..." katanya sambil mengetuk-ngetuk dahinya dengan jari telunjuk, "...untuk mengetahui apa yang benar."

Aku risih juga dibilang keras kepala.

"Bapak orang mana?" aku mengalihkan topik dari diriku menjadi tentangnya.

Lahir di Pekalongan tahun 1946, awalnya bekerja sebagai salesman. Pekerjaan yang membuatnya menjelajahi Nusantara.
Dikaruniai enam anak dan delapan cucu. Hanya anak bungsunya yang masih belum berkeluarga. Lima menantunya berasal dari berbagai suku. Menantu pertama asal Tapanuli. Yang kedua dari Gayo, ketiga dari Langkat, yang keempat dari Simalungun dan yang kelima Melayu Riau.

Berdasarkan pengakuannya, ia mendapat wangsit saat berziarah ke makam Kartini. Ia juga meracik obat (yang trademark-nya aku lupa). Obat kuat. Greeeng...., menurutnya. Dan untuk Lhokseumawe saja ia baru mengantarkan obat tersebut ke salah satu toko obat di sana sebanyak 100 lusin bungkus. Hmmm, aku membayangkan bahwa pria satu kota Lhokseumawe jadi greeeng semua.

Tentang cincin yang ada di jari-jarinya, ia menyebutkan khasiat dari masing-masing akik yang diikat dengan suasa tersebut. Tidak semua species akik atau manfaatnya dapat kuingat. Ada yang namanya 'cula badak', 'galih asem', dan 'sepatbader'.
Dari sakunya ia mengeluarkan dua bentuk cincin lagi, salah satunya 'gigi badak' yang berkhasiat mengobati gigitan hewan berbisa. Yang satu lagi aku lupa namanya. Toh, aku tertarik dengan jumlah dan besar akik yang dipakainya, bukan nama dan khasiatnya.
Ia juga bercerita bahwa seorang tentara membarterkan 'mani gajah' dengan salah satu akiknya. Untung otakku tidak mampu mengolah image bagaimana seekor gajah jantan bermasturbasi.

Akhirnya pembicaraan kami banyak berhubungan dengan metafisik. Ia bercerita tentang wilayah-wilayah yang masih menggunakan ilmu gaib, termasuk yang ada di Aceh. Bakongan dan Dataran Gayo termasuk yang disebutkannya.
Kami juga berbicara tentang numerologi dan astrologi lokal. Juga tentang primbon dan pawukon Jawa. Hobbyku membaca membantuku dalam mengalirkan topik pembicaraan. Malahan belasan tahun yang lalu aku pernah membuat program komputer untuk menghitung pawukon. Aku membuatnya sebagai tantangan dalam menyusun algoritma.

Dari speaker di dinding terdengar panggilan menaiki pesawat yang menuju Jakarta dan Banda Aceh. Sebelum berpisah, ia menyalamiku sambil berkata:

"Anda harus hati-hati dalam mempercayai teman."

Aku menyampaikan terima kasih atas peringatannya, dan kami berpisah dengan lambaian tangan.

Kalau bukan teman, siapa lagi yang dapat kita percaya?
Aku jadi teringat motto sebuah toko komputer online: Paranoid is the best.

Hantu Rock

Tadi malam Kasih dan Bunda menjemputku dari bandara. Akhir-akhir ini aku selalu menggunakan last flight dari Medan. Paling cepat mendarat jam sembilan malam kalau on time. Tetapi karena kondisi cuaca, biasanya terlambat setengah sampai dua jam. Meskipun begitu, Bunda Kasih selalu menjemputku. Bukan karena kuminta, tetapi memang kemauannya sendiri. Mereka akan berangkat dari rumah beberapa menit setelah kuberi kabar bahwa aku boarding.

Sebetulnya Kasih sudah tidur saat diajak Bunda ke bandara. Sebetulnya ia tidak ingin pergi dan memilih tinggal sendirian (!) di rumah. Tapi karena tidak ingin meninggalkan Kasih (Banda Aceh masih sering gempa dan sangat sering lisrik padam), Bundanya memaksa dengan alasan takut pergi sendirian malam-malam.

Dalam perjalanan dari rumah ke bandara (kurang lebih 14 kilometer), Bunda Kasih heran kenapa ia diam saja.

"Mungkin tidur lagi," pikirnya. Bundanya memanggil untuk memastikan:

"Kasih... Kasih...."

Dengan cepat ia menjawab:

"Ada apa, Bunda?"

"Kasih tidur, ya?"

"Iya.... Tapi nanti kalau ada hantu, Kasih dibangunin aja..."

Dengan menahan gelak, Bunda Kasih bertanya:

"Kalau ada hantu, mau Kasih apain?"

"Tergantung hantunya. Kalau rambutnya gondrong, Kasih putar lagu rock!"

Jumat, Mei 23, 2008

Kasih Dimarahin

Kemarin Kasih kena marah karena malas belajar.
Anakku satu-satunya ini paling malas membaca. Ia sangat cepat menangkap sesuatu yang ditampilkan secara audio visual. Tapi jika harus membaca, nanti dulu...

Karena ujian kenaikan kelas sudah dekat, aku dan bundanya memaksanya belajar. Tentu saja yang dimaksud belajar adalah membaca buku teks. Ada saja alasannya untuk menghindar. Tunggu tayangan tv favoritnya selesai, memberi makan-kura-kura, kebelet ke belakang, haus, etc. Pokoknya bagaimana menghindar kewajiban belajar.
Setelah akhirnya berhasil dipaksa membaca buku pelajaran Agama selama satu jam, Kasih diuji oleh Bunda. Tidak ada jawaban yang benar. Akhirnya Bundanya meledak karena kesabarannya habis. Kasih diharuskan membaca ulang. Dan saat aku pulang sebentar untuk makan malam sebelum kembali kerja, aku diberi kewajiban untuk menghukum anaknya. Satu-satunya cara yang kutahu adalah dengan memberi hukuman besok (hari ini) jajannya akan kami kurangi. Selesai makan malam, aku kembali ke kantor.

Aku pulang lewat tengah malam. Kasih sudah tidur, tapi bundanya terbangun karena kedatanganku. Bunda Kasih bercerita, bahwa Kasih setelah membaca 15 menit sambil menangis tersedu-sedu, ternyata dapat menjawab semua pertanyaan (Kalau Bundanya marah, ia jarang sekali menangis. Tapi kalau yang menegurnya adalah ayahnya, tangisnya seperti sedang mengalami kesedihan yang mendalam).

Keesokan harinya (hari ini), ia berangkat ke sekolah diantar Bunda. Pulangnya aku yang menjemput. Begitu aku datang, ia memberiku uang.

"Uang apa ini, Sayang?" tanyaku.
"Kan jajan Kasih dikurangin.....," jawabnya
"Nggak apa-apa, kok" aku mengembalikan uang tersebut. Tapi ditolaknya.
"Katanya uang jajan Kasih dikurangin."

Aku masygul juga. Setiba di rumah, aku ceritakan hal tersebut pada Bundanya.

"O ya? Tapi dia bawa nasi, kok....." jawab Bundanya enteng saja.

Memang anak dan bunda sama saja. Sama-sama keras kepala......

Reading in the Dark

Aku digelari kutu buku bukan tanpa alasan.

born hereTerlahir di sebuah toko buku (!), menurut ayahku, umur tiga tahun aku sudah mulai membaca (meski aku tak ingat apa yang kubaca saat itu). Yang kuingat bahwa kelas 1 SD aku sudah membaca koran. Kelas dua SD, selain komik lokal dan terjemahan, aku sudah membaca serial silat karya Kho Ping Hoo dan buku-buku tebal seperti Baron von Münchhausen atau karya-karya Karl May.

Aku ingat bahwa setiap ayahku pergi dinas luar provinsi, yang aku minta sebagai oleh-oleh adalah buku, bukan mainan seperti anak lain umumnya. Kalaupun aku punya mainan itu karena ada yang memberikan sebagai kado ulang tahun dan tidak begitu aku pedulikan.

Hal lain, aku seorang penderita insomnia kronis. Menurut ibuku, sejak lahir aku sudah menjadi tukang bergadang.
Akibatnya malam-malam panjang kulalui dengan membaca. Mulai dari koran bekas pembungkus pisang goreng sampai ensiklopedi.

Ibuku yang khawatir akan kesehatanku karena (dianggap) selalu kurang tidur akibat membaca, menerapkan aturan bahwa lampu kamar sudah harus dipadamkan setelah pukul 10 malam. Toh mataku tetap nyalang terjaga sampai azan subuh. Akhirnya kuputuskan menggunakan lampu senter sebagai sumber penerangan, dan aku membaca dalam naungan sarung sebagai selimut. Efeknya baru kurasakan sekarang: indra penglihatanku sangat menurun kemampuannya.

Belakangan ini aku mulai membatasi membaca. Apalagi sekarang aku lebih banyak berhadapan dengan komputer, yang membuatku memilih format e-book daripada hardcopy. Dengan begitu banyak pilihan, aku mulai memilah mana yang masih bisa ditampung otak, mana yang hanya sekadar selingan, atau yang memang must read. Tapi kebiasaan membaca dalam gelap mutlak aku tinggalkan. Dan karena seringnya pemadaman listrik di Banda Aceh, aku jadi lebih banyak punya waktu untuk merenung daripada membaca. Renungan yang menjadi sumber tulisan di beberapa blog milikku. Dan mungkin tulisan-tulisanku dapat membuat segelintir orang menjadi gemar membaca.

Hanya satu saranku : jangan membaca dalam gelap.

Rabu, Mei 21, 2008

Ali nyang Sadikin

Bang, aye kaget denger berite Abang ude kagak ade. Aye shock, bang!
Biarpun aye bukan warga Jakarte, tapi aye perne tinggal di Jakarte biar cuma setaon. Waktu entu nyang jadi gebernur juge bukan Abang lagi. Tapi peninggalan Abang selame sebelas taon jadi gubernur aye ikutan ngerasain.

Aye paling seneng same TIM, Bang. Banyak senimannye, ye? IKJ entu sekole tingginye seniman ye, Bang?

Abang pegi pas kite-kite lagi memperingatin seratus taon Kebangkitan Nasional.
Angke seratus kalo dibagi due pan jadi lime puluh, kayak waktu Abang bikin petisi same temen-temen Abang nyang peduli same bangse. Abang berani, ye?

Abang ude perne jadi Angkatan Laut. Letjen purnawirawan ye, Bang? Ude jadi menteri laut waktu kabinetnye cepek menteri.

Juge ude perne jadi Gubernur nyang paling hebring. Sebelas taon, gitcu loh! Jakarte kagak ade ape-apenye kalo bukan karene Abang. Padalan Soekarno milih Abang jadi gubernur karene Abang koppig, bahase kumpeninye.
Sekarang Jakarte banjir mulu, Bang. Demo ampir tiap ari, ngalahin tabloid mingguan aje. Sampah... duille, bingung mau dikemanain.

Nyang namenye Bappeda, nyang ngerencanain pembangunan daerah, entu pan ide-nye Abang. Coba kalo bukan karene inisisatip Abang taon 1968 dulu, mane ade nyang ngerencanain daerah mau dibangun kayak ape? Nyang istile tertib pemerintahan bise jadi juge karene Abang orangnye.

Abang ude dapet Bintang Mahaputera Adipradana untuk jase-jase Abang bangun Jakarte. Jadi orang pertame yang ngedapetin Anugerah Cipta Utama karene jase Abang buat kesenian. Abang juga digelar guru bangse taon due rebu lime kemaren.

Nih kalo aye bole ngomong jujur, pas repotnasi dulu aye nyalonin Abang jadi Presiden. Sumpe!

Aye sedih bener, Bang. Tapi aye pecaye Tuhan pasti sayang same Abang. Rume Abang di sorga pasti gede, ye Bang? Doa aye buat Abang. Barengin salam aye buat Mpok Nani....


Farewell, our great leader!

(in memoriam: Ali Sadikin. 7 Juli 1927 - 20 Mei 2008)

Selasa, Mei 20, 2008

Nation's Awakening

Gambar di sebelah kukopat dari
Bad grammar in a tourism ad campaign getting the boot

Tadi judul maunya Boedi Oetomo(?).

Tapi karena relevansi tulisan ini dengan "100 Tahun Kebangkitan Nasional", makanya diganti dengan potongan slogan Visit Indonesia Year 2008 yang dihubung-hubungkan dengan peringatan tersebut. Kenapa sepotong? Karena '100 tahun' juga merupakan rentang waktu yang diragukan.

Dari SD kita diajarkan bahwa tanggal pendirian kelompok mahasiswa sekolah kedokteran STOVIA merupakan milestone pertama kebangkitan sebuah nation yang bernama Indonesia. Sayang, sampai sekarang belum jelas apakah tujuan pendirian perkumpulan Boedi Oetomo memang memiliki visi 'Indonesia', atau hanya perkumpulan mahasiswa asal Jawa yang tercermin pada namanya.

Dari segi penggunaan bahasa Melayu yang kemudian diakui sebagai bahasa Indonesia, lebih layak Sarekat Islam/Sarekat Dagang Islam yang lahir pada tahun 1905 sebagai awal bangkitnya kesadaran suatu bangsa. Tetapi Islamophobia yang menjangkiti setiap penguasa mulai dari penjajah Belanda sampai Orde Baru menafikan fakta sejarah ini.

Bangsa ini hidup dalam slogan-slogan kosong yang gagal menjadi picu kesadaran berbangsa. Seperti slogan 'Indonesia Bisa'. Bisa apa? Di Banda Aceh, yang notabene merupakan 'gerbang barat' Indonesia, bahkan orang lebih tahu bahwa 20 Mei kemarin libur Waisak. Hampir tak tampak spanduk atau logo yang berhubungan dengan 'hari nasional' tersebut.

Keindonesiaan hanya dapat diresapi orang-orang di daerah jika 'pusat' tidak memperlakukan daerah sebagai bagian yang potensial untuk dikuras, tetapi penduduknya terlalu malas dan bodoh untuk maju.

Minggu, Mei 18, 2008

Luigiy Hilang!

luigiy dan hiliyHari Rabu sore, 14 Mei, diketahui bahwa salah satu kura-kura hijau milik Kasih yang bernama Luigiy hilang. Aku juga baru tahu kalau cara nulisnya Luigiy, bukan Luigi, dari coretan Kasih di kalender.
Coretannya pada tanggal 14 berbunyi: "By (maksudnya bye) Luigiy. dan ada gambar hati yang bermaknakan love.

Sore itu, dengan terisak-isak ia menelponku:
"Ayah.... Luigiy hilang!"

"Nanti Ayah cari, nak. Mungkin Luigiy sembunyi di bawah tempat tidur...." jawabku mencoba menenangkan Kasih.

"Nggak ada, Yah. Padahal.. padahal cuma Kasih tinggalin bentar...." terbata-bata sambil masih terdengar isakannya.

"Tenang aja dulu, Sayang. Nanti pasti ketemu," aku meyakinkannya. Rumah kami yang merupakan dunia luas bagi kura-kura hijau kesayangan anakku itu, tetap saja berukuran 5m X 6m.

Malam harinya, aku mencari Luigiy ke seluruh sudut rumah. Kolong ranjang, kaki lemari, sudut dapur, dan bisa dikatakan habis seluruh lokasi rumah kusisiri. Tapi karena mati lampu, aku dan Kasih menggunakan senter sebagai penerangan.

Akhirnya setelah tiga jam, aku menyerah. Keringatku bercucuran.

"Sayang, kalau Luigiy masih ada di dalam rumah, pasti dia akan keluar nyari mbak Kasih", kataku sambil menatap matanya yang berkaca-kaca. (Ia membahasakan dirinya 'mbak' kepada hewan peliharaan dan boneka-bonekanya).

"Apa ada yang ngambil Luigiy, Ayah?" ia bertanya. Pertanyaan yang wajar, mengingat rumahku dalam kompleks sekolahan taman kanak-kanak. Aku yakin ia tidak bermaksud menuduh siap-siapa, tapi kalau ternyata Luigiy sampai nyelonong keluar rumah, siapa yang menjamin tidak ada yang mengantonginya?

"Kalau ada yang ngambil pasti Luigiy dipelihara baik-baik sama yang ngambil," hiburku sekali lagi.

"Kasih nggak rela.....," dan airmatanya kembali berlinang.

Dan tanggal lima belas malam, sepulang dari kerja, aku melihat tulisan di atas tadi pada kalender meja di atas tv.

Aku menghiburnya dengan berjanji akan membelikan kura-kura lain. Ia hanya menggangguk tanpa semangat.

Hingga kemarin pagi saat kutinggalkan rumah, anakku kelihatan lemas dan hampir tak mau makan. Hiliy, kura-kura hijau yang seekor lagi tetap diberi makan, tetapi kelihatan kalau ia tak begitu bersemangat lagi. Mungkin Kasih merasa berdosa telah menghilang Luigiy. Ia juga tak menagih janjiku untuk membeli kura-kura yang baru.

Kemarin sore, aku masih berkutat dengan persoalan di tempat kerjaku. Telepon berdering. Dari Kasih.

"Ayah! Luigiy ketemu! Di dalam sajadah Bunda!"

Aku jadi lupa dengan problem pekerjaan yang sedang kuhadapi. Suara riangnya terdengar begitu indah, mengobati galau dihatiku.

Menurut perkiraanku, Luigiy bersembunyi di bawah lemari dekat sajadah untuk shalat. Pada malam pencarian kami, ia tertutup kaki lemari pada angle yang susah dilihat, karena lemari menempel dinding. Setelah tiga hari, ia merasa lapar dan keluar dan masuk ke dalam lipatan sajadah. Saat Bunda Kasih hendak shalat Asyar, ia mengibaskan sajadah dan Luigiy terpental. Untuk saja kibasan istriku tidak terlalu kuat.

Malamnya, aku menemukan tulisan "Luigiy ketemu disajadah bunda" pada kotak tanggal 17 Mei di kalender.

Dan akhirnya kutemukan lagi canda riang Kasih anakku tersayang.
Kesadaran baruku timbul. Persoalan seberat apapun tak akan terasa berat selama yang kau kasihi bahagia. Mudah-mudahan hal ini berlaku juga pada pembaca.

Kaffah


  1. Apakah sih, artinya Kaffah?

  2. Artinya sempurna. Kalau menjalankan syariat Islam harus secara lengkap dan menyeluruh



  1. Syariat Islam yang mana?

  2. Seperti dalam Al-Qur'an dan Hadist, lah!


  1. Sama-sama pegang Al-Qur'an dan Hadist, tapi kenapa antara sesama muslim bisa nggak klop? Misalnya Sunni dan Syiah di Irak, sampai bunuh-bunuhan, lebih dari binatang. Ngakunya berdasarkan Al-Qur'an, tapi apakah dalam Al-Qur'an dibenarkan saling membunuh?

  2. Itu politik dan kekuasaan, bung! Bukan Qur'an dan Hadist.
    Yang penting kita menjalankan apa perintah dalam Al-Qur;an dan Hadist, serta menjauhi apa yang dilarang.


  1. Yang masalah kan kalau ada yang mengklaim kalau ia yang paling benar dalam menjalankan syariat agama. Padahal para ahli tafsir tidak semuanya memiliki satu persepsi tentang ayat-ayat Qur'an dan nash Hadist

  2. Memang, sih. Pemahaman terhadap Qur'an dan Hadist tergantung masing-masing hati manusia.



  1. Yang bahaya, banyak yang menafsirkan menurut enaknya perut sendiri

  2. Betul. Memang susah kalau merasa diri sendiri yang paling benar. Malah kadang-kadang melebihi Tuhan.


  1. Ya, seperti Qanun yang mengatur bagaimana kita harus berpakaian, bersikap dan menjalankan ibadah. Kenapa apa yang sudah diatur dalam Al-Qur;an, masih harus diatur lagi oleh manusia?

  2. He he he, aku jadi ingat sebuah pameo: peraturan dibuat untuk dilanggar. Entah berapa banyak undang-undang, peraturan, ketetapan, keputusan, yang implementasinya menyimpang.


  1. Seperti gambar-gambar iklan di kota kita ini. Semua wanita memakai jilbab. Waktu saya keluar kota, ternyata iklannya sama, wanitanya sama, tapi tidak berjilbab.

  2. Jadinya seperti iklan sesuai syariat, ya?


  1. Tapi ada faham yang mengatakan bahwa tidak boleh ada bentuk buatan manusia yang menyerupai manusia atau binatang, karena dapat mendorong kepada musyrik.

  2. Benar juga. Makanya senirupa Islami lebih berupa kaligrafi atau ornamen bukan manusia atau hewan, ya?


  1. Sebenarnya, yang penting kita tidak hanyut dalam waham benar sendiri. Seperti kata pepatah: Semut di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tidak tampak.

  2. Ya iya, lah! Kalau gajah nempel, mata ketutup!

Jumat, Mei 16, 2008

Iago

Isu SMS Ring in Red yang menghebohkan mengingatkanku pada Iago, salah satu karakter Shakespeare dalam Othello. Tipikal provokator masa kini yang dengan tepat dihidupkan oleh Shakespeare dalam karyanya tersebut.

Sebagai provokator, Iago tidak mempunyai kesadaran moral. Ia mampu berbohong meyakinkan Othello bahwa Desdemona istrinya sendiri telah berselingkuh, yang dipercayai Othello meski Desdemona membantah.

Iago adalah psikopat.

Agatha Christie juga mengangkat tema yang sama dalam novel terakhirnya "Curtain" (1975) yang merupakan kasus terakhir detektif cemerlang berkepala seperti pentol korek, Hercule Poirot.

Dalam zaman modern kini, psikopat seperti Iago berkeliaran dimana-mana. Tanpa rasa bersalah, mereka menebar racun fitnah, menggunakan mulut dan tangan orang lain untuk kepuasan atau kepentingannya sendiri. Mereka akan menebarkan kebohongan kepada suami atau istri, atasan, tetangga, dan akan diyakini sebagai kebenaran tanpa pembuktian. Apapun yang dapat membuat orang lain melakukan hal-hal yang tak mungkin dilakukannya tanpa dorongan tertentu. Mereka menciptakan kriminal yang tidak seharusnya ada.

Bagaimana menghadapi Iago-Iago zaman sekarang?

Agatha Cristie mempunyai jawaban sederhana. Hercule Poirot yang tahu bahwa ajalnya sendiri hampir tiba, melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nuraninya dan dianggap akan menodai karirnya yang cemerlang: ia membunuh sang provokator dalam hujan badai malam hari.

(foto diambil dari Washington Informer, Sept 15, 2005)

Rabu, Mei 14, 2008

Traitor, Traitor

Julius Caesar terbaring bersimbah darah. Luka-luka tikaman belati ditujahkan ketubuhnya oleh para senator Roma yang tidak mengehendaki ia terus berkuasa. Penguasa perkasa yang telah menaklukkan Galia, Nubia dan Egypt itu dalam sekarat memandang tak percaya ke arah Marcus Junius Brutus, sahabat dekat sekaligus tangan kanan yang menghujamkan belati ke jantung Caesar.

"Et tu, Brute?" kalimat terakhir yang diucapkannya dalam bahasa Yunani itu menjadi sangat terkenal berabad-abad kemudian. Ia menghembuskan nafas terakhir dengan mata terbuka penuh kecewa.

Soeharto pada saat kejatuhannya menyebut Harmoko, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat saat itu, sebagai Brutus.
Mungkin diluar dugaannya bahwa orang kepercayaannya, bekas Menteri Penerangan tiga kali berturut-turut yang menjadi corong kebijakannya itu, ikut menjadi aktor yang memakzulkannya dari singgasana kekuasaan yang tekah ia diduduki selama tiga puluh dua tahun.
Sekarang ini Harmoko hanya tersenyum bila ditanyai tentang momen bersejarah tersebut. Toh, ia bukan Brutus. Sebagaimana Soeharto bukan Julius Caesar.

Saat Judas Iskariot menciumnya di Taman Getzemani, Isa Al-Masih bersabda dengan sedih:
"Kamulah orangnya, Judas..."

Sang Nabi yang dielu-elukan sebagai Raja Kaum Yahudi itu sudah tahu bahwa Judas akan menjualnya demi keping-keping perak kepada para rabbi yang kebakaran kumis dan jenggot karena merasa terancam posisi mereka yang tinggi di masyarakat.

Dan Judas disalib sebagai pengganti Isa seperti dalam Kitab Al-Quranul Karim.
Dan Judas menjalankan takdirnya sebagai pengkhianat paling ternama dalam sejarah, bersama-sama Brutus.

Kisah pengkhianatan bersimbah darah sudah dimulai dari awal hadirnya manusia, ketika Kabil membunuh Habil. Dan turun-temurun beranak cucu mencicit piut dari generasi ke generasi sejarah selalu berulang, merepetisi kejadian-kejadian yang seharusnya jadi pelajaran.

Brutus atau Judas ada di sekitar kita, bahkan mungkin tidur di bawah satu selimut dan makan sepiring nasi denganmu.
Mungkin intuisimu cukup tajam, sehingga kamu tahu bahwa Judas telah menerima tawaran untuk memenggal kepalamu.
Atau ketika kamu terbaring bersimbah darah, memandang Brutus, yang tadinya adalah orangmu nomor satu.

Atau, jangan-jangan, kamu adalah Brutus bagi Julius garis miring Judas bagi Al-Masih.....

Selasa, Mei 13, 2008

Kematian yang Indah

Wahai Kekasihku,
Ketika kudengar kabar bahwa seorang pemujaMu,
Kau berikan kesempatan bersanding disisiMu,
dengan upacara megah meriah mengharu biru,
dengan tersungkur di kakiMu dalam memuji ketinggianMu
dan Riaddul Jannah tempatnya Kau berikan

Kasihku,
Aku cemburuuuuuuu!
Aku sedar tak selalu kutepat waktu jadwal janji sua denganMu
yang hanya lima kali dari terbit matahari hingga terbit kembali keesokan hari,
bahkan meski dekat kadang ku jauh dan lupakanMu
alpa insan yang sempurna dalam ciptaan
hanyut dalam ujian

Tapi, Kekasihku
Kau adalah Penyayang yang Paling Pengasih
dan Pengasih nan Maha Penyayang
pintu maafMu selalu terbuka jembar
takkan pernah terkunci tertutup rapat
dosa makhluk yang hina bukanlah noda hitam anti luntur

karena itu aku memohon kepadaMu
bila tiba saat bersatu
entah detik ini atau seratus tahun lagi,
berikanlah kemuliaan yang sama
dengan dia yang Kau ijinkan menemuiMu dalam format ruh
saat bersujud menyembah mengagungkanMu

(foto seorang pria yang meninggal saat bersujud dalam shalat di Masjidil Nabawi)

Senin, Mei 12, 2008

Having Religion, Being Religious, Or Not?

"Setiap hari Minggu saya dua kali ke gereja," katanya dalam bahasa Indonesia dengan logat yang lucu.

Sebetulnya masih terlalu pagi, baru jam sembilan malam. Tapi kami bertiga sudah terdampar di sebuah pub terbuka, di jalan Braga. Aku dan ia memesan bir, sedangkan teman yang satunya meminta minuman bersoda. Pub itu masih sepi. Hanya kami bertiga dan dua pelanggan lain. Kelihatan dua wanita berpakaian seronok dan make up yang tebal sedang bermain bilyar. Mungkin pelacur, atau mungkin hanya penggemar dunia gemerlap.
Jumat malam itu kota Bandung diguyur gerimis. Rinai hujan tak menghentikan kehidupan malam yang baru memulai geliatnya.

"Untuk mengantar dan menjemput istri dan anak-anak," sambungnya sambil terkekeh.

"Saya sendiri tidak percaya Tuhan," lanjutnya lagi sambil meneguk bir impor dari Jerman.

Tadinya aku mengira ia berasal dari Jerman atau Austria. Tapi menurut pengakuannya, ia keturunan Nordik. Istrinya wanita pribumi dan ia sudah tinggal di Indonesia selama hampir 20 tahun.

"Apakah Anda seorang Muslim yang taat ?" selidiknya. Mungkin karena melihatku menenggak bir lokal dalam sekali angkat hanya bersisa setengah gelas.

"Me praying, yes. Mostly. Fasting every Ramadhan, frequently. But if you mean about my faith in God, absolutely. There is no doubt about God," jawabku menunjukkan kemampuan bahasa Inggrisku yang berantakan.

"Tapi kamu minum bir. Saya dengar bir haram untuk umat Islam," tuduhnya.

"Depends on criteria you've used to categorize an item into haram," jawabku yang tak sudi dituduh sebagai 'umat yang tak taat'.

"Booze becomes haram because it make ones drunk. It makes you drunk because the high level of alcohol mixed with it. Low level alcohol drink like beer, if does not make you drunk, there is no reason to put in as haram. I were able to take a dozen bottles and still drove home, only got to go to john all the night," jelasku memberikan argumen, yang tentu saja berdasarkan keinginan mau menang sendiri.

"In tapai or durian you will find alcohol. But no one told them as haram. The booze, not the alcohol," aku bicara untuk lebih meyakinkannya , meskipun dari mimik wajahnya kulihat ia berusaha menahan tawa.
Rekan kami hanya mengangguk-anggukkan kepala menikmati musik brit yang membahana dari soundsytem pub.
Jalan Braga orang yang lalu lalang semakin ramai. Pub kecil itu mulai terasa sesak dengan tambahan selusin pengunjung yang baru masuk.
Tampak beberapa keluarga gelandangan menggelar dus-dus karton sebagai alas tidur di trotoar jalan protokol kebanggaan kota. Keluarga-keluarga yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak dalam usia sekolah.
Kehadiran kami di Bandung untuk acara tahunan sebuah organisasi amal Internasional terbesar di dunia, yang bercita-cita menghapuskan penyakit, kemiskinan dan kebodohan dari muka bumi. Dan kami bertiga merupakan anggota aktif organisasi tersebut.

"Bagaimana dengan rokok?" ia bertanya setelah kami cukup lama terhanyut dengan pikiran masing-masing.

"Cigarettes? Haram. More damage than benefit," jawabku sambil mengepulkan asap dari rokok kretek dari bibirku.

"But, if you addicted to it, like I do now, then you are a sicko. You need to be heal, not to be condamned."

Jawabanku membuatnya terbahak-bahak.

Seorang wanita berbaju tank-top dan dandanan yang menor yang baru datang duduk disampingnya. Mereka kemudian berbicara berbisik-bisik. Tak lama, wanita itu pergi meninggalkan kami ke arah meja bilyar. Sendiri.

"Di negara asal saya orang-orang bebas menganut agama apa saja. Termasuk tidak beragama," tiba-tiba ia kembali berbicara.

"Sayang, segelintir bigot memanfaatkan kebebasan untuk menghina yang lain," gumamnya sambil menghela nafas panjang. Aku tahu yang dimaksud adalah kartun yang menghina Nabi Muhammad SAW.

Gerimis masih terus membasuh jalan Braga. Keluarga-keluarga gelandangan terlihat sudah mulai tidur. Seorang ibu menyusui bayinya sambil berselimutkan kain kumal.

Pub bertambah ramai.
Dari speaker besar quadrophonic di sudut pub terdengar John Lennon melantunkan Imagine :

Imagine there's no countries
It isn't hard to do
Nothing to kill or die for
And no religion too
Imagine all the people
Living life in peace


"Mimpi absurd seorang seniman," pikirku.
Mungkin kalau John Lennon hidup kembali, ia akan mengganti liriknya :
Imagine there's no human....

Tapi kalau tidak ada manusia, siapa yang akan menciptakan lagu?

Minggu, Mei 11, 2008

Kasih, Princess @ Animal Kingdom

Berbeda dengan bundanya yang tidak suka hewan dan malahan cenderung phobia, Kasih adalah seorang pencinta binatang. Bahkan, saluran televisinya favoritnya adalah Animal Planet! Saking seringnya menonton tayangan-tayangan saluran tv kabel tersebut, ia hapal setiap hewan-hewan dan tokoh-tokoh yang muncul. Bahkan siaran ulang pun tetap dilahapnya berkali-kali.

Ia tidak mengijinkan saya untuk menyakiti hewan, termasuk laba-laba dan semut.
Jika Bunda Kasih memasak ikan, kepiting atau udang dan ia melihat proses 'pembersihannya', maka dapat dipastikan ia tidak akan menyentuh masakan bundanya tersebut.

Sebenarnya ia ingin memelihara kucing, bahkan monyet, tetapi bundanya tak pernah setuju. Akhirnya kami hanya memelihara peliharaan air.

Sewaktu masih di Jambi,kami memelihara maskoki jenis ranchu berbagai warna. Kasih memberi nama satu per satu ranchu-nya, tapi aku sudah tak ingat lagi nama-nama apa yang ia berikan. Yang jelas, bukan nama yang umum.
Kami juga memberinya seekor bayi kura-kura brazil (red ear slider) yang diberi nama "Turtle" (he he he......)

Seekor ikan palmas (Polypterus palmas polli) yang disebut juga ikan naga juga menjadi peliharaan kami. Kami pelihara mulai dari panjang 5 cm hingga terakhir sebelum pindah ke Banda Aceh sudah 25 cm panjangnya. Memiliki hewan peliharaan memang membuat kita harus disiplin. Setiap pergi selalu teringat bahwa ikan peliharaan belum diberi makan, airnya apakah masih bersih, apakah filternya sudah waktunya diganti, dan lain-lain. Kalau keluar kota terpaksa mencari orang untuk mengawasi makanannya.

Ketika musim ayam teletubbies (anak ayam sortiran yang diberi pewarna, Kasih tak luput merengek minta dibelikan sepulang dari les bahasa Inggris di pasar Angso Duo. Karena tak tega, akhirnya kami membelikan 3 ekor. Tapi karena namanya ayam reject, tiga hari kemudian salah satunya mati. Satunya lagi menyusul seminggu kemudian.
Tak sanggup menahan kesedihan, kemudian Kasih memberikan sisanya yang seekor ke seorang anak temanku. Eh, malah usianya cukupnya panjang juga, sampai kami pindah dari Jambi, si Teletubby masih hidup.

Rumah kami yang kecil di Banda Aceh tidak memungkinkan untuk memiliki akuarium yang besar. Tapi karena Kasih sangat ingin memelihara hewan, ketika ke Medan aku membelikan tiga ekor kura-kura hijau untuknya. Ia memberi nama: Luigi, Hili dan Kura (!)
Kura ternyata tak beruntung, hanya berumur tiga bulan dan kemudian terpaksa kami kebumikan. Aku tak sanggup menceritakan tentang kesedihan Kasih saat itu.
Sekarang yang tertinggal adalah Luigi dan Hili (yang aku dan bundanya tidak bisa membedakan antara Luigi dan Hili). Hampir setiap saat Kasih bermain dengan keduanya, kadang dibawa jalan-jalan, atau diajak bermain di tempat tidur. Lucunya, hewan itu sangat patuh padanya. Jika Kasih memberi perintah: "Ayo main!", maka keduanya akan mengeluarkan kepala dan berjalan mendekatinya.

Dan kalau ia mau berangkat sekolah, tak lupa Kasih mencium kura-kuranya itu!

Birma

Nargis datang, dan bangsa yang terkurung di balik terali junta militer itu harus menderita lebih dalam lagi. Diperkirakan 15.000 jiwa melayang (maybe more), hampir satu juta setengah lainnya kehilangan harta benda dan tempat bernaung, dan rusaknya infrastruktur yang belum dapat ditaksir.

Toh, nyawa yang hilang hanya angka-angka statistik. Apalah beda satu atau lima belas ribu nyawa? Atau ratusan ribu seperti pada bencana gempa dan tsunami 26 Desember 2004 yang merupakan bencana dunia?
Bencana silih berganti untuk menjadi headline news dan segera hilang begitu ada perisitiwa spektakuler lain terjadi. Hanya pekerja kemanusiaan yang bersimbah peluh mengurangi beban derita korban hidup dan saat tidur mengalami mimpi buruk yang panjang.

Di Myanmar, seorang Aung San Su Kyi hanyalah dissident bagi junta penguasa. Ancaman bagi stabilitas yang tidak boleh ada sehingga harus dibungkam dan diberangus kebebasannya.

Apa yang kita ketahui tentang Myanmar?

Nama "Myanmar" berasal dari Myanma Naingngandaw yang dipersingkat. Nama Myanma (atau Mranma Prañ) telah digunakan sejak abad 13 tetapi artinya sampai saat ini tetap merupakan misteri. Dalam dokumen kuno berbahasa Inggris pernah disebutkan Bermah, dan kemudian Burmah. Burma dalam Perancis dikenal dengan Birmanie, Birmania dalam bahasa Italia dan Spanyol serta Birmânia dalam bahasa Portugis. Kita sendiri lebih dulu menyebutnya Birma. Saudara kita serumpun. Tetangga kita dalam suatu dusun global yang disebut Asia Tenggara. Tetangga yang menutup pintu dari cahaya demokrasi.

Bagaimana kisah aftermath badai siklon Nargis menghancurkan sebagian wilayah Myanmar, Jumat, 2 Mei lalu?

Dalam sebuah dongeng kuno Tiongkok, tercantum sebuah petuah bijak : bencana adalah berkah terselubung vis-à-vis.

Mudah-mudahan apapun story endingnya, bukan bukti bahwa manusia memang tidak layak menjadi khalifah di bumi ini.

Jumat, Mei 09, 2008

Geli, Tau!

Alhamdulillah, Kasih sudah tidak demam lagi. Berganti dengan pilek dan batuk.
(Dasar Melayu, apapun kejadian tetap untung....)

Artinya Kasih terkena flu biasa.

Tapi hidungnya yang buntu membuat tidurnya gelisah. Ia sering mengigau sehingga aku dan bundanya tidak dapat tidur nyenyak. Alhasil pagi harinya kami berdua berangkat kerja dengan badan pegal linu dan mata kuyu.

Di tempat kerja Bunda Kasih, siang itu kedatangan sales alat pijat elektrik berbentuk lumba-lumba.
Berkat kepiawaian sang sales ditambah kondisi tubuh Bunda Kasih yang pegal-pegal, akhirnya satu alat massaseur itu menjadi milik kami. Bunda Kasih bermaksud segera mendayagunakan alat tersebut setibanya di rumah sore hari.

Malang tak dapat ditolak mujur tak dapat diraih, malam itu giliran wilayah rumah kami mendapat jatah pemadaman arus listrik. Niat hati untuk berpijat ria terpaksa ditunda sampai listrik kembali menyala.

Jam sepuluh malam akhirnya berakhir jatah gelap gulita kami. Kasih tertidur satu jam sebelumnya.
Tanpa membuang waktu Bunda Kasih segera menancapkan stekker buntut ikan dolphin itu ke dalam stop kontak. Dan kemudian terdengar suara dengung dari motor pemijat dan kalimat Aduh.... enaknya!" dari mulut Bunda Kasih.

Kasih gelisah dan mengigau (hidungnya masih buntu oleh ingus). Bunda Kasih yang merasa kasihan kemudian memegang pergelangan kaki kanan Kasih dengan tangan kiri dan menggetarkan telapak kaki putri kesayangan kami itu dengan alat yang dipegang dengan tangan kanan. Setelah dirasakan cukup, pindah ke tapak kaki sebelah kiri. Kasih tak bergeming. Ia berhenti mengigau dan tidur dengan lelap sampai pagi.

Kamis, keesokan harinya, sekalian pulang istirahat makan siang aku menjemputnya dari sekolah. Di tengah perjalanan , ia bertanya:

"Ayah, Ayah tadi malam pijit kaki Kasih pake Dolphin, ya?"

Belum sempat aku menjawab bahwa bundanya yang melakukan itu -bukan aku, ia sudah mengajukan komplain:

"GELI, TAU!"

Demokrasi

- “Aku tak setuju dengan demokrasi,” katanya kepada temannya. Ia meletakkan koran pagi di atas meja. Headline halaman depan: "Partai Nasional bersaing dengan Partai Lokal". Kemudian menyeruput teh susu dingin yang baru diantarkan pelayan kedai kopi.

- “Mengapa?” tanya temannya.

- “Demokrasi adalah tirani mayoritas terrhadap minoritas,” jawabnya sambil mengusap sisa teh susu yang menempel di ujung kumis.

- “Tidak selalu. Demokrasi merupakan cara satu-satunya untuk memilih wakil atau pemimpin. Pihak yang kalah harus menerima dengan legowo, Itu namanya sportivitas,” lawan bicaranya berargumen sambil mengocok telur setengah matang dalam gelas dengan sendok kecil.

- “Bagaimana jika di negeri yang mayoritas penduduknya terdiri dari pencuri, dan karena sistem demokrasi maka terpilih pemimpin yang juga pencuri? Siapa yang akan melindungi minoritas non-pencuri?”

- “Metafora yang absurd. Bahkan seorang percuri mikir dua belas kali untuk milih sesama maling sebagai pemimpin. Karena ia tahu bahwa harta miliknya tidak aman jika pemimpin kleptomania,” sanggah kawannya sambil terus mengaduk telor.

- “Tidak juga. Maling akan berpikir jika yang menjadi leader bukan dari kaumnya, maka leader itu akan membatasi usaha permalingan,” ngotot orang pertama.

- “Dan jika -hanya jika- yang terpilih ternyata non-pencuri, toh dalam waktu yang tidak terlalu lama ia akan menjadi pencuri juga, karena sadar bahwa konstituennya mayoritas pencuri. Seorang leader tidak dapat menjadi pemimpin tanpa pengikut yang mendukungnya,” sambungnya. Ia berhenti untuk menyalakan rokok.

Setelah yakin bahwa telor setengah matang rata terkocok, pembicara kedua menghabiskannya dengan sekali teguk.
Pertanyaannya kepada orang pertama:

- “Jadi kalau bukan dengan demokrasi, bagaimana caranya memilih pemimpin?
Kepemimpinan saat ini bukan jabatan turun-temurun seperti harta warisan. Jaman raja-raja sudah tidak mungkin diterapkan di era moderen ini. Sudah kadaluwarsa..”

- “Yang terbaik adalah seperti ‘Republik’ Plato. Pemimpin ditentukan oleh segelintir elite jenius -crème de la societe- yang bertanggungjawab terhadap hal-hal penting penyelenggaraan negara serta tidak memiliki kepentingan pribadi,” jawab orang pertama, meskipun sebenarnya ia belum pernah membaca hasil pemikiran Plato, hanya mengutip dari artikel majalah tentang filsafat Yunani kuno.

- "Tapi di negara modern yang menganut paham tiga pilar institusi menurut Adam Smith dalam Wealth of Nations, pembagian tugas antara pembuat kebijakan, pengambil keputusan dan penyelenggara keadilan membuat demokrasi layak dipertahankan," ngotot pembicara kedua yang juga mengetahui tentang Wealth of Nations dari pelajaran ilmu sosial semasa sekolah menengah.

- "Pembuat kebijakan membuat undang-undang berdasarkan kebutuhan kelompok maling, pengambil keputusan berdasarkan rampasan yang dapat diraup, dan penyelenggara keadilan atas dasar jumlah uang sogok. Bagian mana yang layak dipertahankan?" sahut orang pertama.

- “Baiklah. Jika pemimpin dipilih oleh sekelompok elite jenius, siapakah yang akan memilih para elite tersebut?“ pembicara kedua bertanya.

Orang pertama itu diam. Ibarat bermain catur, maka pertanyaan tadi adalah schakmaat.

Alih-alih pembicaraan berganti haluan.

- “Tahun depan pilih partai mana?”

- “Aku memilih untuk jalan-jalan ke Thailand. Kau?”

- “Aku akan datang ke tempat pemilihan dan masuk ke bilik pencoblosan, tapi golput. “

Orang pertama kemudian menjelaskan karena melihat dahi pembicara kedua yang berkerut:

- “Kalau nggak milih nggak enak dengan si Fulan, si Fulin, si Fulun dan si Filun. Aku sudah janji untuk milih mereka semua, tapi kan nggak mungkin. Makanya perlu pura-pura. Jadi, siapapun yang menang nanti tetap punya backing vocal di parlemen,” jawab orang pertama sambil nyengir.

- “Sudah dapat paket proyek untuk tahun ini?” topik pembicaraan berganti lagi.

- “Belum,” desah pembicara kedua.
- “Kalau kau?”

- “Masih negosiasi dengan panitia dan pimpro untuk pengadaan korek kuping di dinas A. Mereka minta fee lebih besar lima persen dari yang biasanya.
Ada juga tawaran untuk proyek pengadaan tusuk gigi dan tisu wc dari pejabat kantor B. Nanti malam janji jumpa di lobby Hotel M,” jawab kawannya tadi sambil menghabiskan teh susu dingin.

- “Kalau butuh perusahaan pendamping, pakai saja punyaku,” usul yang kedua.

- “Beres, semua bisa diatur” sahut orang pertama.

Tak lama kemudian mereka bubar meninggalkan kedai kopi yang penuh dengan orang berseragam pegawai negara itu.

Rabu, Mei 07, 2008

Majnoon

Kulihat ia sedang mengorek-ngorek tong sampah di depan sebuah rumah makan yang masih tutup. Tangannya menjumput segenggam nasi basi berwarna kuning kecoklat-coklatan, mungkin oleh sebab kuah gulai bercampur jamur. Nasi buangan sisa santapan pelanggan dari rumah makan itu tadi malam.
Wajahnya yang gurat retak tak hendak menyamarkan ketampanan yang mengalahkan pesona aktor tonil Dardanella yang paling masyhur, jika saja pakaian yang dkenakannya tidak tercabik di sana sini dan rambutnya yang kusut masai panjang sebahu berkenalan dengan gunting tukang cukur dan cairan pencuci rambut.
Kulihat mulutnya menggumamkan sebaris kalimat yang tidak begitu jelas sebelum mengantar gumpalan nasi tadi ke liang mulutnya. Perlahan-lahan ia mengunyah sambil terus bergumam meracau terputus-putus dengan nada suara yang rendah.

Tak terduga tiba-tiba ia menangis tersengguk-sengguk.

“Laila….., Laila……,” ratapnya berkali-kali dengan sedu sedan yang menyayat hati. Bahkan sukmaku seakan ikut terhanyut terisak bersamanya.
Dan seperti mulanya yang tanpa isyarat, mendadak tangisnya berganti gelak membahana liar menggedor gendang telinga.

‘LAILAAAAA!” teriaknya meledakkan udara dalam paru-paru seraya menengadah menantang langit. Kedua tangannya terangkat tinggi seperti hendak meraih rembulan purnama yang mulai memudar di dingin pagi.
Ia bertahan dalam posisi tegak mematung dalam waktu lama, seakan membeku menjadi karang batu Malin Kundang yang dikutuk ibu nan durhaka.
Aku tak berlama-lama karnakan pegal kaki berdiri. Kutinggalkan ia yang diam membisu di tengah lalu lalang orang-orang yang bergegas ke tempat kerja.

***

Ternyata itu bukan pertemuan yang terakhir.
Suatu siang kulihat ia saat melintas di pusat ramai kota. Segerombolan anak kecil berseragam sekolah mengikuti dari belakang dan dengan bengis melontarnya dengan sampah dan kerikil sambil bersorak-sorai:
“Majenun cinta Laila! Majenun cinta Laila!”

Ia tak terusik dan tetap melangkah dengan gontai. Mulutnya terus berkomat-kamit seperti mendaras:
“Laila, Laila, Laila Laila….”
Sampai akhirnya seorang nenek renta membubarkan barisan berandal itu dengan ayunan gagang sapu dan sumpah serapah yang ditujukan kepada ibu mereka yang dikatakannya telah melahirkan jadah tak tentu ayah.

***

Beberapa hari kemudian saat makan malam sendirian di sebuah warung tenda kaki lima, aku bergidik sebab rasa semilir angin sejuk menghembus tengkuk. Aku menoleh ke balik pundak dan kulihat ia berdiri sejauh lemparan batu, sedang menatapku dengan matanya yang dalam dan cekung.

Rasa iba membuatku menyuruh pemilik warung untuk membungkuskan nasi sayur dan sepotong daging rendang untuk diberikan pada orang gila itu atas tanggunganku.
Kulihat ia menerima pemberianku dengan mulut bergerak-gerak, meski aku yakin yang diucapkannya bukan kata-kata terima kasih. Tapi untuk menuntaskan rasa penasaran, kutanyakan juga kepada pemilik warung:
“Bibi, ia bilang apa?”
Empunya warung tertawa sambil menjawab:
“Laila… Laila…”
Saat aku melangkah menyusur jalan pulang sesudah santap malam itu, kulihat ia sedang berjongkok dihadapan segerombolan anjing jalanan. Nasi bungkus yang kubeli untuknya dihabiskan oleh kumpulan hewan liar yang kelaparan.

***

Pulang menjelang pagi dari perjalanan jauh membuatku mampir di surau batas kota. Masih ada waktu untuk Isya. Menggigil kedinginan oleh air wudhu, aku masuk ke dalam surau menuju mihrab. Ternyata di sana kulihat si gila sendirian sedang berduduk tahhiyat akhir. Entah untuk shalat fardlu atau sunnah yang mana, aku tak tahu.
Sebelum aku membisik nawaitu dengan sir, sempat kulihat ia menggeleng mengucap salam sementara air mata membanjir di relung pipinya.
Sampai selesai empat rakaatku, ternyata ia masih duduk bersila hanya mengeluarkan suara lirih yang hilang timbul terkurung dinding mihrab:
“Laila…. Laila…. Laila…”
Tapi mengapa aku merasa bukan hanya aku yang mendengar?

***

Setelah peristiwa-peristiwa itu, masih beberapa kali lagi takdir menjumpakanku dengannya. Dalam berbagai waktu dan beraneka suasana. Tapi aku tetap tak kenal siapa namanya sebenar, tak tahu di mana kampungnya berasal, atau keluarga asalnya berkaum.
Ada yang bilang kalau sebetulnya ia anak hartawan yang diguna-guna. Ada juga yang berkisah bahwa ia adalah putra mantan petinggi yang kejam saat berkuasa. Versi lain menyebutkan tentang seorang anak haram artis-tempo-dulu-hamil-diluar-nikah yang seharusnya mampus karena aborsi. Masih banyak cerita-cerita yang kudengar, kesemuanya simpang siur dan tak dapat dibuktikan kebenarannya.

Sampai akhirnya suatu pagi belum lama silam kuterima berita kalau Majnun telah menjadi mayat di emperan toko pekan kota. Jenazahnya akan dikebumikan di kuburan umum pinggiran setelah dishalatkan ba’da Jumat di mesjid raya. Seorang warga keturunan telah menyumbangkan biaya pemakaman si orang gila.
Aku mengikuti seluruh prosesi penyelenggaraan mayat mulai dari memandikan, mengkafani, menyembahyangkan sampai pemakaman. Yang mengantar ternyata cukup banyak. Mulai dari petinggi-petinggi sampai ulama.

Di antara para pengantar terdapat muda mudi yang sebaya dengan almarhum. Mereka ternyata anggota remaja mesjid raya. Aku mencari diraut wajah gadis-gadis pengantar siapa yang tampak paling berduka. Para perwan belia berkerudung itu semua cantik dan sedang tenggelam dalam air mata. Aku tak bisa menentukan satu Laila dari mereka.

Kepada bapak ustadz yang memimpin proses pemakaman aku bertanya:
“Maaf ustadz, siapa di antara mereka yang bernama Laila?”
Bapak ustadz memandangku heran, meskipun akhirnya ia mahfum.
“Maksudmu, Laila yang membuat Majnun gila?”
Aku mengangguk penasaran.

“Tidak satupun dari gadis-gadis itu yang bernama Laila,” jawab pak Ustadz sambil tersenyum misterius.

“Jadi Laila tak hadir di sini?” tanyaku menuntut sebuah kepastian.

“Laila yang dimaksud Majnun bukanlah seorang perempuan, dik” jelas pak Ustadz lagi.
“Bahkan bukan juga manusia……” sambungnya sambil menghela napas.

Aku masih belum paham.

Setelah berpikir sejenak, ia melanjutkan perkataannya.
“Cinta kepada-Nya membuat Majnun bahkan tak mampu menyebut nama-Nya….
Rindu kepada-Nya membuat Majnun gila sehingga lebih mencintai-Nya….
Damba kepada-Nya membuat Majnun semakin jauh dari dunia dan lebih dekat kepada-Nya….”

Pak Ustadz berhenti dan terdiam cukup lama, sebelum menutup dengan kalimat:
“Sekarang Majnun telah pergi untuk bersatu dengan Dia kekasihnya.”

Kuburan itu sepi. Para pengantar sudah lama hilang. Terdengar panggilan shalat Ashar dari surau kecil di kampung dekat tempat pemakaman.
Sebelum beranjak pergi, aku menoleh ke gundukan tanah yang masih baru itu. Di sela-sela kelopak kembang yang ditaburkan gadis-gadis berkerudung tadi, tampak sebatang mawar merah hidup tumbuh dan berbunga indah.

“Pasti ditanam oleh salah satu gadis itu …..,” bisikku dalam hati sambil melangkah keluar gerbang kuburan menuju suara Azan.

-Lalijiwo

Sabtu, Mei 03, 2008

Kasih Panas

Tadi malam Kasih badannya panas. Suhu tubuhnya hampir 38°C.
Bundanya langsung panik. Apalagi aku, ayahnya.
Sekarang yang namanya penyakit menyerang tanpa tanda-tanda. Sedikit panas bisa berarti blood fever, avian flu, atau tifus.

"Ke Dokter ya, Sayang?" bujukku.

Ia menggeleng. Airmatanya mulai berlinang.

Kami semakin panik. Kasih bukanlah anak yang gampang menangis meskipun sedang sakit.
Akhir setelah dibujuk-bujuk dengan susah payah, ia bersedia minum obat penurun panas.

Episode kedua adalah membujuknya untuk makan.
Ini tak mau, itu tak sudi. Akhirnya aku melempar pertanyaan terakhir:

"Kasih mau makan apa, Sayang? Mau bubur ayam dekat Putroe Phang? Atau Sop Sumsum Kutaraja?"

Dengan suara lirih ia memilih bubur ayam. Alhamdulillah!

Terburu-buru aku berangkat. Syukurlah yang jualan bubur ayam masih ada.

Aku bergegas pulang dengan dua bungkus bubur ayam dalam genggaman. Melihatnya mau makan, meskipun tak habis, hatiku agak tenang.

Kasih tertidur tak lama kemudian.

Bunda Kasih bercerita kepadaku:

"Tau kenapa Kasih tadi nangis?"

"Dia nangis karena melihat kita panik. Waktu Sayang (kami masih memanggil masing-masing dengan 'Sayang') beli bubur ayam, dia minta kita jangan panik karena akan membuat ia sedih.
Waktu Bunda bilang kita panik karena anak satu-satunya sakit, dia tetap ngotot kita jangan panik. Dia hanya panas sedikit, bukan kenapa-kenapa....."

Aku tak tau mau ketawa atau nangis. Orang tua khawatir karena anaknya sakit, anaknya sedih karena orangtuanya kuatir......

The Geek Got The Girl

Meskipun berjudul sama dengan lagu hit dari American Hi-Fi, tapi ini kisah tentang geek yang lain. Maaf buat yang nyasar karena nyari lirik.....)

Apakah cinta?

Adalah tatapan Mulder terjaga sepanjang waktu di sisi Scully yang sedang koma
Adalah kerana Shalla-Bal maka Silver Surfer memandu Gah Lak Tus mendapatkan mangsa
Adalah modulasi maksimum yang lahir dari superposisi frekuensi gelombang denting dawai piano semesta jagad raya
Adalah Mary-Jane menyentuh Peter Parker simbiot Venom dalam 'What If''
Adalah kupu-kupu putih yang terbang di atas pusara Sampek
Adalah gelombang sebagai cahaya dan materi sebagai cahaya
Adalah bilangan Fibonacci di setiap helai daun dan kelopak bunga
Adalah e=mc² yang kamu formulasikan, bukan Einstein

Adalah bagimu jazz kontemporer sumringah gelak tawanya
Adalah tak sengaja beli boneka garfield
dan permen dalam kotak kayu berbentuk hati di hari ulang tahunnya
Adalah ikut tenis dan berenang meski kamu tak suka olah raga
Adalah tidur di emperan toko jalan Malioboro menunggu dia kembali dari mudik
Adalah tanpanya duniamu ruang hampa volume tak terhingga
Adalah bilang "Om, saya mau melamar putri Om..." padahal kamu belum punya apa-apa
Dan setelah hampir dua puluh tahun, begitu juga untuk tahun-tahun yang belum eksis
Adalah kamu tetap memanggilnya: Sayang.....

- Luckiest Geek

Meet the Geek Mediocre

(Tulisan ini TIDAK berhubungan dengan posting sebelumnya ataupun postingan lain. Siapa bilang mirip? Nggak, ah! Nyenggol aja kagak! Suer!)

Kali pertama kami bertemu di sebuah keudee kupi (kopitiam, haiyya...) yang belum lama opening tapi sudah ramai kastemer. Kami memilih meja nomor 13 di teras belakang. Meja lain penuh dengan pengunjung yang diantaranya masih berpakaian dinas. Ada wajah-wajah yang kukenal, tapi ada juga yang tak kenal maka tak sayang.
Di luar hujan turun keras menghujam tanah. Deru angin meraung menebar daun menghajar atap seng. Dahan dan ranting pohon petai cina basah semua. Beberapa butir bijinya yang menua terbang berharap jatuh di atas kotoran sapi yang berkhasiat sebagai pupuk organik kadar tinggi.
Kesan pertama tentangnya biasa saja, kalau bukan tanpa kesan. Tapi pesannya jelas, teh susu dingin dan telor setengah matang dua butir: diaduk, bukan dikocok. "Takut muncrat," katanya.

"Halfklingon," ia memperkenalkan diri. "Online user name," jelasnya sambil menyedot asap rokok dalam-dalam lewat filter batangan Gudang Garam International (Peringatan Pemerintah: Merokok dapat menyebabkan kanker dst, dst), untuk kemudian terbatuk-batuk: "Uhuk.... uhuk.... uhuk... cuih!"

Sambil mengunyah kue lapis, dengan malu-malu ia membuat pengakuan: "I am a geek."

Rambutnya yang sudah menipis dipotong crew cut. Kumisnya yang berantakan tampak tergaris beberapa helai uban. Aku tak tahu apakah yang bertengger di hidungnya kacamata atau pantat botol.
Dalam usia yang tak muda lagi, jelaslah ia termasuk geek angkatan pertama yang lahir paro awal 60-an.Kelompok ini lahir pada era pancaroba (panca=lima, roba=roboh. pancaroba = roboh di kaki lima -blogger)

Saat itu kondisi sosial ekonomi masyarakat berada di titik nadir.
Negara nyaris bangkrut karena mendanai propaganda 'Ganyang Malaysia' dan operasi 'Rebut Kembali Irian Barat'. Belum lagi proyek-proyek mercusuar yang menguras devisa yang aslinya tidak seberapa.
Rakyat antri beras (eh, sekarang juga, ya?).
Telekomunikasi payah (memang penemuan masih terbatas telegrap, radio tabung dan telepon engkol. Itu juga hanya dikuasai beberapa gelintir elit.)
Atmosfir politik seperti kawah Krakatau yang mau ereksi, eh..., interupsi, eh.... erupsi, eh..., oh, udah bener. Komunis vs Islam, Islam vs Nasionalis, Nasionalis vs Komunis. Persis kisah benci segitiga yang tiada habisnya. Culik-hilang seperti masa Orde Baru terjadi lagi.... (anakronis, ya? Atau deja-vu?)

Bisa dimaklumi jika bayi yang lahir pada masa itu umumnya kurang gizi atau busung lapar. Dampaknya dirasakan sekarang: korupsi merajalela, psikopat dimana-mana, olahraga tak pernah jaya, narapidana jadi anggota dewan atau ketua asosiasi sepakbola, anggota dewan atau mantan walikota jadi narapidana, kemiskinan jadi makalah seminar di hotel berbintang lima, bencana jadi ajang profit taking mumpung selagi bisa.
(Eh, kok jadi kajian ekososial? Masuk lagi, ah! Masih gila!)

Geek generasi pertama ini tumbuh besar bersama Bobo dan Paman Kikuk. Ikut dalam misi mencari orangtua Deni si Manusia Ikan yang hilang.
Berpetualang dalam fantasi komik lokal: Godam, Gundala Putra Petir, Maza Jagoan Kancutan, Si Buta Dari Gua Hantu, Walet Merah, Mandala Siluman Sungai Ular, termasuk Petruk Gareng dari Tumaritis.
Menguak misteri bersama Imung, Lima Sekawan, Trio Detektif, Kojak dan Mannix.
Belajar kungfu di Siaulimpay dan Hoasanpay pada Pendekar Super Sakti Suma Han dan Bu Pun Su Lu Kwan Cu yang seperguruan dengan ngkoh Ping Hoo.
Mengembara di padang prairie bersama Old Shatterhand dan Winnetou berharap mendapatkan Bonanza, ketemunya Laura yang burik dan Marie yang buta tapi cantik.
Mengidolakan Unyil. Tergoda jin Jeanny.
Menuju batas terjauh antariksa di bawah komando Kapten Kirk. Bisa menghilang bareng Invicible Man. Tersesat di angkasa gara-gara Dr. Smith. Maju mundur dalam sejarah lewat Time Tunnel. Ke dasar samudera: Voyage To The Bottom Of The Sea. Irwin Allen abisss!
Nonton bioskopnya: Ateng Kaya Mendadak..., oh, bukan, ya? Apa? Serial Ultraman?

Kembali kepada subyek kita, yang ternyata keberaniannya mengungkapkan jati diri sebagai geek bukanlah sejak dulu.

"Menjelang akhir milenium kedua," desahnya sambil menyeruput teh susu dingin sebelum mencomot ketan bakar dari piring.

"Waktu itu menjadi geek nggak cool. Susah dapet gebetan. Sebelumnya aku selalu berkedok di balik berbagai aktivitas dan pekerjaan."

Menurut pengakuannya, semasa sekolah menengah ia ikut genk kebut-kebutan meskipun tidak punya motor. Waktu kuliah pura-pura aktif di kampus supaya dapat nyicip konsumsi rapat panitia.
Pekerjaan yang pernah dijalani antara lain sebagai guru piano, sales, konsultan bursa komoditi berjangka, mandor pabrik, field supervisor heavy equipment drilling maintenance untuk oil company, kontraktor fisik, supplier mekanikal elektrikal, dan sebagainya.
Meskipun (kadang-kadang) incomenya lumayan, tetapi menurutnya hidup pada waktu itu terasa hampa.

"I was lost in life... ssssh.." , desisnya kepedasan karena makan tahu goreng dengan sambal kemasan.

Kehadiran putrinya hampir sepuluh tahun silam membuatnya sadar bahwa tak mungkin selamanya bersembunyi. Dunia geek yang tadinya hanya hobbi kembali dijalaninya. Dengan semangat empat lima (enam tujuh delapan sembilan sepuluh), Halfklingon kembali melahap baris-baris kode yang telah ditekuni sejak tahun 1983. Mulai saat itu ia resmi terjun bebas ke dalam kancah geek kang ouw.
Awalnya diakui tantangan yang dihadapi sangat berat. Banyak proyek yang dikerjakannya mendapat penghargaan tengkiu. Namun (tak kan mudah bagiku, meninggalkan jejak hidupku yang kan terukir abadi sebagai kenangan yang terindaaah, hoooh...), perlahan-lahan berkat upaya yang ogah-ogahan dan omong besar, tidak sampai setahun pengakuan sebagai anggota komunitas geek diperolehnya juga.

Berapa penghasilan seorang geek lokal?

"Tidak beda dengan hasil survey...." katanya sambil menggigit sepotong roti selai srikaya.

Menurut survey majalah WEB tahun 2002, salary top geek yang bekerja di tech company rata-rata sekitar Rp. 7 juta per bulan. Sedangkan yang bekerja BUKAN di tech company memperoleh salary JAUH DI BAWAH rata-rata tersebut. Umumnya setelah bekerja enam bulan sampai dengan dua tahun, setelah sistem informasi non tech company tersebut berjalan baik, geeknya ditendang.

Halfklingon menenggak habis telor setengah matang.

"Modal begadang," alasannya. Ia melambaikan tangan ke arah waiter keudee dan menoleh padaku.

"Tolong bayarin dulu. Dompetku ketinggalan," katanya sambil berdiri. Tak lupa meraih korek mancis dan bungkus Gudang Garam International (Peringatan Pemerintah: Merokok dapat dst, dst...) serta memasukkannya ke dalam saku baju.

"Sorry, aku duluan. Ditunggu klien penting janjian ketemu di kantor habis magrib," ia meminta maaf sambil menyambar sepotong pisang goreng dan bergegas ke tempat parkir.

Hujan telah reda. Angin berhembus sepoi-sepoi sejuk bikin menggigil yang sedang bugil. Langit semburat lembayung sinyal senja menjelang pelukan malam. Ia masuk ke dalam mobil yang diparkir di bawah pohon petai cina. Sambil memberikan lambaian terakhir, mobilnya mundur keluar parkiran untuk kemudian melaju ke arah pusat kota dan menghilang di tikungan sebelah gereja.

Sambil menerima uang kembalian dari waiter dengan tangan kanan, tanganku yang satunya cebok, eh, menjepitkan sebatang ------- kretek tanpa filter di bibir (mereknya tidak boleh disebut karena bukan pemasang iklan di blog ini- blogger). Saat hendak membakar rokok baru aku sadar bahwa korek mancis yang dikantonginya tadi adalah punyaku.

Geek sialan!

- Oel McHalim

Meet The Geek Elite

(Tulisan ini merupakan saduran bebas dari Meet The Geek Elite, artikel dalam WIRED Magazine issue 14.07 July 2006)

Ketika pertama berjumpa, yang terkesan adalah hampir tidak ada yang dapat dibedakan antara Koota Umeda dengan jutaan karyawan Jepang lainnya. Ketika kami bertemu di sebuah bar di Tokyo untuk minum bir, pria berusia 23 tahun ini mengenakan pakaian yang pantas dan menyodorkan kartu nama dengan tata krama yang sopan (ia bekerja pada sebuah perusahaan besar teknologi di Jepang). Tetapi tata rambutnya yang tidak umum sudah menjadi petunjuk bahwa ada sesuatu yang tidak biasa pada dirinya. Hal ini terbukti begitu ia mengeluarkan kamera digital dan menunjukkan foto koleksi manga miliknya yang luar biasa banyak dan tertata rapi, tersimpan dalam kamar ia tidur di rumah orangtuanya.

Umeda adalah seorang otaku menurut pengakuannya sendiri, sekelompok pria Jepang yang terobsesi dengan anime, komik, action figure (boneka yang dibuat berdasarkan karakter komik atau anime) dan videogame. Dan status otaku yang diakunya bukan hanya omong kosong belaka. “Ini bukti nyata,” ujarnya, seraya menunjukkan selembar sertifikat dan kartu anggota yang menyatakan bahwa ia merupakan “otaku elite.” Umeda berhak atas peringkat tersebut setelah memperoleh nilai sangat tinggi dalam ujian ketat National Unified Otaku Certification Test musim panas yang lalu.

Hal yang diuji menyangkut apa-apa yang menjadi obsesi seorang Jepang, bukan hal-hal yang hanya terdapat di majalah Elfics sebagai bonus, yang menampilkan kue keju bergambar pangeran tampan gagah perkasa dengan sampul gadis bau kencur. Kuis 15 halaman berisikan soal-soal sulit yang membutuhkan jawaban tajam dan detail, dari nama penjahat-penjahat buas bin kejam dalam videogame hingga fluktuasi harga saham pabrik mainan robot Bandai.

Umeda dapat menjawab hampir semua soal, tetapi ia masih harus melakukan tinjauan lapangan untuk menjawab satu soal tentang sebuah landmark di Akihabara, yang juga dikenal sebagai Electric Town. Kiblat berbelanja barang teknologi tinggi di Tokyo ini juga bertaburan pedagang komik, videogame, action figure, dan pornografi. Istilah akiba-kei – komunitas Akihabara – yang kini bermakna hampir sama dengan otaku. Umeda mengirimkan jawabannya, dan selang dua bulan kemudian ia mendapatkan dokumen yang membuktikan bahwa ia tidak hanya mengalahkan teman-temannya sesama anggota anime club di kampus, tetapi juga merupakan salah satu dari 100 top scorer seplanet, crème de la geek.

Kemampuan Umeda menjawab kuis budaya pop memang menakjubkan. Tetapi yang mengherankan sebenarnya adalah kebanggaanya sebagai seorang otaku. Ketika kata ini lahir pada tahun 80-an, sebenarnya merupakan ejekan untuk pria remaja kutu buku yang lebih tertarik dengan merakit model dan film Godzilla daripada cewek dan pekerjaan bergaji lumayan, kelas pariah yang sering tersingkirkan dari peran baku laki-laki dalam kehidupan dan usaha keluarga.

Tetapi sepasukan otaku berdedikasi tinggi telah mengubah apa yang tadinya sebuah budaya pop marjinal menjadi industri skala besar dan bahkan gaya hidup trendi yang mendunia. Umeda mengaku bahwa tiga per empat dari penghasilan bersih dan seluruh waktu luangnya dihabiskan untuk hobbi otaku. Laporan terakhir memperkirakan nilai pasaran manga dan anime di Jepang saja mencapai US$900 juta.

“Otaku telah bergabung dengan mainstream untuk menjadi ikon budaya utama,” demikian menurut jurnalis dan pengamat sosial Kaori Shoji dari Tokyo. “Bertahun-tahun mereka menyembunyikan diri. Saat ini mereka sudah sah sebagai kaum.” Dalam sebuah kolom Japan Times, Shoji menulis tentang cewek-cewek yang berusaha keras 'menormalkan' pacar-pacar otaku mereka dan kesulitan yang mereka alami ketika harus bersaing dengan pasangan romantis idaman para 'ultrageeks’ - gambar gadis cantik sempurna anime idola yang tersedia gratis online.

Ketika Umeda saya tanya apakah ia memiliki pacar; ia mengaku belum, walau banyak teman-temannya sesama otaku tidak kesulitan dalam menggaet gebetan. Tetapi ia telah mendapatkan manfaat dari budaya baru otaku. Pada saat bekerja pertama kali setelah lulus perguruan tinggi, ia terus berceloteh tentang kegiatannya di luar kantor. Tak lama kemudian, dia menemukan bahwa ternyata boss-nya juga seorang otaku. “Sekarang, kalau aku mau,” katanya sambil tersenyum, “Aku dapat minta cuti sehari untuk menghadiri konvensi komik.”

– Tony McNicol

Jumat, Mei 02, 2008

Semesta Sejajar (Paralel Universe)

(Posting ini merupakan repost dari blog yang lain postingan 21 Nopember 2006, yang saya hapus karena redundant dengan blog yang sekarang.....)

Tayangan tv sekarang memang sudah dalam taraf 'nggilani'. Entah sinetron untuk anak-anak, remaja, dewasa atau manula; baik genre komedi, drama, tragedi (apalagi horror), semuanya memasukkan makhluk dari alam ghaib.
Well, sebagai manusia yang agak religius dan juga sedikit 'sok ilmiah', saya percaya ada alam lain. Istilah kerennya 'parallel universe', gitchu! Ini juga kira-kira :)
Untuk penggemar sains fiksi, pasti pernah nonton serial SLIDERS yang pernah diputar salah satu stasiun tv swasta. Mallory (Robert Floyd) berpindah-pindah semesta dengan menggunakan piranti khusus, tapi 'gak ketemu jalan pulang ke semesta kita.
Setelah beberapa kali nonton, akhirnya saya bosan.
Tapi saya jadi berpikir, apakah ada portal untuk berwisata ke semesta lain?
Mungkin ada. Segitiga Bermuda, Himalaya (Yeti's there), tempat dimana saja Bigfoot alias Sasquach muncul, bisa saja merupakan portal ke semesta lain.
Atau kalau lokal punya cerita, Bukit Barisan dimana banyak 'orang bunian', dan banyak tempat-tempat yang ditengarai lokasi 'penampakan' makhluk ghaib.
Pikir pikir lagi, akhirnya saya capek. Kalau ada pembaca yang nemuin portal ke semesta lain. tolong kabarin.

Omniverse, Multiverse, Mojoverse

"We share the same omniverse,
Please clean your room,
We share the same omniverse,
And even though you are over here and not there,
There's just one everywhere"

("One Everything" by The Might Be Giants)

Jagat semesta kita hanyalah sepotong ranting kecil pada salah satu cabang multi semesta (multiverse) dari sebuah pohon yang bernama omniverse.

Eksistensi manusia sebagai khalifah hanyalah pada sebongkah batu ketiga dari sebuah bintang kecil bersinar kuning di sisi luar sebuah galaksi yang jauh dari pusat episentrum dentuman besar yang melahirkan jagad raya. Bongkahan cadas yang menjadi rumah manusia bernama bumi. Bintang sumber energi yang disebut matahari. Dan kumpulan benda antariksa sebagai galaksi tempat kita bergabung dikenal dengan sebutan Jalan Susu.

Dimana posisi kita, serangga semesta, yang terbuat dari lempung, tanah, arang dan air?

Mengapa kita masih bersifat sombong seakan-akan dunia diciptakan Sang Maha Pencipta hanya untuk kita, dan kita berhak untuk menghancurkannya?

Hampir setiap nanodetik yang berharga dari eksistensi kita terbuang sia-sia. Jangankan untuk menikmati keindahan dan kemegahan ciptaan-Nya pada skala jagat raya atau sub-atomik, memahami diri sendiri yang disebut sebagai kreasi-Nya yang sempurna, kita tak ingin!
Konon pula untuk mencintai jati Sang Maha Kreator!




Mojoverse?

Itu sih, komik!

Masih?

Tadi malam ketika hampir separuh kota gelap gulita (krisis energi) kami menonton Indonesian Idol di RCTI via handphone Kasih.

Ketika Anang mengomentari salah satu calon Idol, Bunda Kasih memberitahukan kepada Kasih (seakan-akan salah satu jawaban untuk ujian naik kelas):

"Itu Anang, suaminya Kris Dayanti....."

Kasih bertanya: "Masih?"

Bunda Kasih: "Masih apanya, sayang?"

Kasih: "Masih suaminya Kris Dayanti?"

Terheran-heran, Bunda Kasih me-reply: "Ya, masih. Memangnya kenapa?"

Dengan polos Kasih berkata: "Sekarang kan biasa artis cerai....."

Kamis, Mei 01, 2008

In The Beginning

Genk,

Apa yang dapat mempengaruhi pola pikir, gaya hidup, dan langkah seseorang?

In my case, ternyata banyak hal.
Mulai dari orang-orang di lingkungan sekitarku, buku yang kubaca, filem yang kutonton, musik yang kudengar, peristiwa yang kusaksikan, dan yang paling besar: kepercayaan yang kuanut.

Not for a long time ago, semesta berputar mengelilingiku. Cabaran hanya dapat diselesaikan dengan satu pilihan: caraku. My egocentric universe.

Evolusi cara berpikir terjadi karena hal-hal yang kusebut di atas. Semesta tidak selebar daun kelor (atau tak selebar kolor......)

Blog yang kubuat ini tidak bermaksud memprovokasi cara berpikir pembaca.
Aku hanya ingin merekam apa yang ada dalam benakku.
Kalaulah ada cara mengkopat (kopi paste), apa yang ada dalam otakku ke dalam semacam harddisk atau cakram rekam seperti blue ray, pasti kulakukan.
Bukan karena pemikiranku berharga. Hanya karena isi otakku sudah overload. Padahal jarang dipake!