Sabtu, Mei 03, 2008

Meet The Geek Elite

(Tulisan ini merupakan saduran bebas dari Meet The Geek Elite, artikel dalam WIRED Magazine issue 14.07 July 2006)

Ketika pertama berjumpa, yang terkesan adalah hampir tidak ada yang dapat dibedakan antara Koota Umeda dengan jutaan karyawan Jepang lainnya. Ketika kami bertemu di sebuah bar di Tokyo untuk minum bir, pria berusia 23 tahun ini mengenakan pakaian yang pantas dan menyodorkan kartu nama dengan tata krama yang sopan (ia bekerja pada sebuah perusahaan besar teknologi di Jepang). Tetapi tata rambutnya yang tidak umum sudah menjadi petunjuk bahwa ada sesuatu yang tidak biasa pada dirinya. Hal ini terbukti begitu ia mengeluarkan kamera digital dan menunjukkan foto koleksi manga miliknya yang luar biasa banyak dan tertata rapi, tersimpan dalam kamar ia tidur di rumah orangtuanya.

Umeda adalah seorang otaku menurut pengakuannya sendiri, sekelompok pria Jepang yang terobsesi dengan anime, komik, action figure (boneka yang dibuat berdasarkan karakter komik atau anime) dan videogame. Dan status otaku yang diakunya bukan hanya omong kosong belaka. “Ini bukti nyata,” ujarnya, seraya menunjukkan selembar sertifikat dan kartu anggota yang menyatakan bahwa ia merupakan “otaku elite.” Umeda berhak atas peringkat tersebut setelah memperoleh nilai sangat tinggi dalam ujian ketat National Unified Otaku Certification Test musim panas yang lalu.

Hal yang diuji menyangkut apa-apa yang menjadi obsesi seorang Jepang, bukan hal-hal yang hanya terdapat di majalah Elfics sebagai bonus, yang menampilkan kue keju bergambar pangeran tampan gagah perkasa dengan sampul gadis bau kencur. Kuis 15 halaman berisikan soal-soal sulit yang membutuhkan jawaban tajam dan detail, dari nama penjahat-penjahat buas bin kejam dalam videogame hingga fluktuasi harga saham pabrik mainan robot Bandai.

Umeda dapat menjawab hampir semua soal, tetapi ia masih harus melakukan tinjauan lapangan untuk menjawab satu soal tentang sebuah landmark di Akihabara, yang juga dikenal sebagai Electric Town. Kiblat berbelanja barang teknologi tinggi di Tokyo ini juga bertaburan pedagang komik, videogame, action figure, dan pornografi. Istilah akiba-kei – komunitas Akihabara – yang kini bermakna hampir sama dengan otaku. Umeda mengirimkan jawabannya, dan selang dua bulan kemudian ia mendapatkan dokumen yang membuktikan bahwa ia tidak hanya mengalahkan teman-temannya sesama anggota anime club di kampus, tetapi juga merupakan salah satu dari 100 top scorer seplanet, crème de la geek.

Kemampuan Umeda menjawab kuis budaya pop memang menakjubkan. Tetapi yang mengherankan sebenarnya adalah kebanggaanya sebagai seorang otaku. Ketika kata ini lahir pada tahun 80-an, sebenarnya merupakan ejekan untuk pria remaja kutu buku yang lebih tertarik dengan merakit model dan film Godzilla daripada cewek dan pekerjaan bergaji lumayan, kelas pariah yang sering tersingkirkan dari peran baku laki-laki dalam kehidupan dan usaha keluarga.

Tetapi sepasukan otaku berdedikasi tinggi telah mengubah apa yang tadinya sebuah budaya pop marjinal menjadi industri skala besar dan bahkan gaya hidup trendi yang mendunia. Umeda mengaku bahwa tiga per empat dari penghasilan bersih dan seluruh waktu luangnya dihabiskan untuk hobbi otaku. Laporan terakhir memperkirakan nilai pasaran manga dan anime di Jepang saja mencapai US$900 juta.

“Otaku telah bergabung dengan mainstream untuk menjadi ikon budaya utama,” demikian menurut jurnalis dan pengamat sosial Kaori Shoji dari Tokyo. “Bertahun-tahun mereka menyembunyikan diri. Saat ini mereka sudah sah sebagai kaum.” Dalam sebuah kolom Japan Times, Shoji menulis tentang cewek-cewek yang berusaha keras 'menormalkan' pacar-pacar otaku mereka dan kesulitan yang mereka alami ketika harus bersaing dengan pasangan romantis idaman para 'ultrageeks’ - gambar gadis cantik sempurna anime idola yang tersedia gratis online.

Ketika Umeda saya tanya apakah ia memiliki pacar; ia mengaku belum, walau banyak teman-temannya sesama otaku tidak kesulitan dalam menggaet gebetan. Tetapi ia telah mendapatkan manfaat dari budaya baru otaku. Pada saat bekerja pertama kali setelah lulus perguruan tinggi, ia terus berceloteh tentang kegiatannya di luar kantor. Tak lama kemudian, dia menemukan bahwa ternyata boss-nya juga seorang otaku. “Sekarang, kalau aku mau,” katanya sambil tersenyum, “Aku dapat minta cuti sehari untuk menghadiri konvensi komik.”

– Tony McNicol

Tidak ada komentar: