Minggu, Juli 26, 2015

Gurita! Gurita!


Matahari belum membakar timur langit di pagi itu, namun orang-orang telah bersiap-siap melakukan aktivitas rutin mereka dengan perasaan mendongkol. Bagaimana tidak? Dari jam dua dini hari listrik ibukota padam, air ledeng mampat, jaringan telpon seluler semua operator hilang, begitu juga koneksi internet dan telepon saluran darat, baik melalui kabel tembaga atau serat optik. Seakan kembali ke jaman kegelapan bin jahiliyah. Akibatnya yang hendak berangkat kerja hanya mengandalkan semprotan parfum dan deodoran, mencuci muka sekadarnya dan menggosok gigi dengan air sisa dispenser. Masyarakat kota mana yang rumahnya masih ada sumur lengkap dengan timba?

Dan tepat pukul setengah enam pagi listrik kembali menyala. Seperti digerakkan tenaga gaib, televisi-televisi hidup dengan sendirinya. Semua saluran menampilkan tayangan yang sama, sosok gurita raksasa menatap kamera dengan sepuluh corong mikrofon di depan mulutnya yang mirip paruh burung kakak tua. Monster raksasa, sehingga ubun-ubunnya menyentuh langit-langit auditorium studio yang biasa dipakai untuk gelar acara anugerah terbaik pura-pura.Ke delapan tentakelnya melambai-lambai seakan mengancam dunia. Orang-orang terpana, ketika sang Gurita Raksasa berbicara:

"Selamat pagi manusia pemirsa. Saya adalah Ratu Gurita Lautan Hindia. Saat ini kami, para gurita, telah mengambil alih kota kalian."

Salah satu tentakelnya menggaruk jidatnya yang licin. Terdengar dehemannya yang mirip suara desah angin.

"Kalian adalah makhluk serakah. Makanan kami kalian ambil sesukanya. Ekosistem kami kalian racuni. Anak-anak kami kalian pukat dan kalian jadikan dendeng atau abon!" gelegar amarah Ratu Gurita yang membuat televisi layar tabung meledak. Hanya televisi LCD dan videotron di jalan-jalan utama yang masih bertahan.

"Untuk itu kami mengambil tindakan sebagai peringatan! Lihatlah ke atas gedung, atap rumah, puncak monumen atau tower komunikasi!".

Di layar televisi muncul gambar beberapa gedung dan menara yang diambil dengan longshot, medium shot maupun nyaris close up berganti-ganti. Di puncaknya masing-masing bertengger belasan bahkan puluhan gurita yang nyaris sama besarnya dengan sang Ratu.

Orang-orang berhamburan ke luar rumah. Penghuni griya tawang berdiri di balkon sedangkan penyewa rusunawa mengintip dari kaca jendela. Seluruh atap dan tempat-tempat tinggi tak bersisa diduduki para gurita dengan tentakelnya yang meliuk-liuk seperti sedang menarikan Serampang Dua Belas. Pemandangan yang mestinya lucu dan indah, tapi nyatanya orang-orang tercekam.

Dari televisi terdengar suara Sang Ratu Gurita membahana:

"INI HANYA SEBAGAI PERINGATAN!"

Dan orang-orang menjerit. Situasi menjadi kacau balau. Hiruk pikuk dengan isak tangis dan lolong panjang bercampur sumpah serapah. Chaos. Orang-orang saling tabrak berlarian menyelamatkan diri. Namun takdir tak bisa dielak....

***



Hari itu dikenang dalam sejarah sebagai HARI SERANGAN GURITA.
Selama sebulan penuh, masyarakat ibukota bekerja keras mengembalikan warna kota.

Dan media-media seluruh dunia memberitakan peristiwa itu lengkap dengan citra satelit tampakan seluruh kota dari langit sebagai noda hitam tertutup tinta.....



Tidak ada komentar: