"Posisi lu masih terbuka?" tanya Evelyn kepada Rosa yang terpaku bengong menatap monitor layar datar di mejanya.
Rosa menghela nafas panjang.
"He eh, say. Masih stuck, nih. Kamu?"
"Gue kan day trader. Mana kuat gue nunggu lama-lama?" sahut Evelyn sambil duduk di meja Rosa. Rok mini merahnya tersingkap, kontras dengan warna pahanya yang putih mulus. Kalau lah ini peringatan hari kemerdekaan, mungkin akan ada psikopat yang berpikir untuk menggantung Evelyn di puncak tiang bendera.
Pembicaraan mereka terputus sejenak dengan kehadiran Malik, office boy perusahaan trading tempat mereka bekerja. Malik meletakkan segelas teh manis di meja Rosa.
"Kamu tahu apa doaku selama sebulan ini? Hokkaido diterjang badai besar. Biar aku terlepas dari dua puluh lima lot kacang merah sialan ini! Hi hi hi...." kikik Rosa yang disambut ledakan tawa Evelyn.
"Lu juga edan. Semua duit tabungan lu sendiri ditaruh dalam satu keranjang...." tawa Evelyn berubah menjadi nada simpati.
"Iya, nih, nggak tau mengapa waktu itu aku nekad begitu.... Kalau mendadak jadi bear market, aku bakal kena MC, kere abis. Bisa-bisa mati berdiri..." keluh Rosa. Ia menoleh.
"Eh....Malik sayang, tolong bilang bu Parti Warteg kalau kasbon punyaku minggu depan baru bisa ku bayar, ya say?" pinta Rosa kepada Malik yang baru mau beranjak pergi setelah membereskan gelas-gelas minum yang kosong.
"Siap, mbak...."
"Kok mbak, siiih? Sayang, gitu lho!" goda Rosa yang membuat wajah Malik merah padam semerah rok mini Evelyn.
Tanpa menjawab Malik bergegas ke luar trading floor menuju pantry yang merupakan wilayah kekuasaannya.
"Sering-sering lu sayang-sayangin entar dia ge-er, beib!"
Rosa cuma tersenyum.
"Lu jadi berangkat entar malam?" Evelyn mengganti topik pembicaraan.
"Jadi, lah! Runi bisa membunuhku kalau aku batal hadir di pernikahannya!" kata Rosa membayangkan betapa cerewet kakak perempuannya satu-satunya yang akan menikah dengan lelaki asing itu.
Ia melirik arloji Cartier berlapis platina dan bertatah berlian di pergelangan tangan kirinya.
"Aku cabut dulu. Harus buru-buru ke bandara, say. Takut nanti macet."
Evelyn memeluknya erat.
"Titi deje, beib. Salam buat keluarga besar lu dan selamat berbahagia buat Runi dan suaminya."
Rosa bergegas keluar sambil melambaikan tangan kepada para trader yang masih memelototi monitor di meja masing-masing dan juga pada Raja, manajer mereka, yang berdiri di depan salah satu big screen yang menampilkan data perdagangan dunia hari itu.
***
Setelah mengunci pintu-pintu seluruh ruangan, Malik menuju lift yang akan membawanya turun dari lantai 24. Di dalam lift sudah ada Raja yang menahan pintu lift untuknya.
"Permisi, pak," sapa Malik sopan.
"Long weekend nggak pulang?" tanya Raja basa-basi.
"Tidak, pak," jawab Malik seperlunya. Selanjutnya mereka diam hanyut dalam lamunan masing-masing.
Malik bergegas ke Warung Tegal bu Parti yang terletak di jalan pintas belakang gedung berlantai 54 yang jadi langganan hampir semua karyawan di gedung tersebut.
Bu Parti sedang merapikan etalase kayu. Selepas waktu makan siang, hanya sedikit pengunjung yang duduk di warungnya.
"Bu Parti, tadi mbak Rosa nitip uang buat bayar kasbon." Malik mengeluarkan dompetnya.
"Nopekgo semuanya," jawab bu Parti dengan logat Tegal yang kental.
Malik mengeluarkan tiga lembar uang seratus ribu yang diterima bu Parti sambil senyum memamerkan deretan gigi emasnya yang berkilauan.
Setelah menerima uang kembalian, Malik menuju mal di seberang jalan utama. Ia membeli selembar peta dunia dan spidol merah di toko buku, tiga bungkus roti tawar putih dan dua botol besar air mineral di supermarket dalam mal.
Dari situ, dengan menumpang angkot ia menuju pasar burung. Setelah berputar-putar akhirnya ia menemukan apa yang dicarinya. Ketika keluar, di pundaknya sudah bertengger tas kiso berisi seekor ayam cemani hitam legam bermata merah.
Tak jauh sepelemparan batu, terdapat pasar tradisional, tujuan terakhir Malik guna mendapatkan beberapa barang yang dibutuhkannya, sebelum pulang ke pemondokannya.
***
Selama tiga hari tiga malam, Malik mendekam di kamarnya. Jendela-jendela tertutup rapat seakan mengurung ruh jahat.
Pondokan itu sepi. Semua penghuninya pada mudik atau ke luar kota. Kalau tidak, pasti mereka akan mencium aroma kemenyan menyebar dari kamar Malik. Belum lagi suara geraman berupa mantera-mantera dalam bahasa yang terlupakan tak putus-putus bergema naik turun.
Dan di hari ketiga, Minggu malam, terdengar kotek ayam yang berganti ngorok karena lehernya disembelih. Berakhir dengan sunyi yang mencekam. Dari jauh terdengar lolongan anjing berpanjang-panjang mengancam rembulan.
***
Keesokan harinya Malik menelpon kantor yang diterima oleh Virya, resepsionis.
"Mbak Virya, saya minta ijin tidak masuk hari ini. Saya merasa kurang sehat...." suara Malik terdengar lemah tak bertenaga.
"Nanti mbak sampaikan ke pak Raja. Cepat sembuh ya."
Virya menyampaikan kabar itu dan kabar lainnya kepada Raja yang sedang memandang salah satu big screen yang sedang menampilkan sesi pertama TOCOM pagi hari.
"Apaaa? Serius?" tanya Raja tak percaya. Ia terhuyung sempoyongan, segera meraih kursi terdekat.
Raja meraih remote tv dan mengganti saluran salah satu big screen tv di dinding ke saluran berita. Di layar besar lain terbaca harga Red Bean mencapai limit up pada sesi pembukaan.
***
Keesokan harinya Malik telat masuk kantor. Tabrakan antara metromini dan kopaja membuatnya dua jam terlambat.
Alangkah herannya Malik ketika menemukan suasana trading floor yang muram. Para trader berkerumun di depan tv layar lebar. Aneh. Semuanya menyiarkan berita. Biasanya selama sesi perdagangan, hanya pergerakan harga komoditi, saham atau mata uang yang muncul di layar.
Dalam hati ia bertanya-tanya, apakah usahanya selama tiga hari kemarin sia-sia belaka? Diliriknya monitor di meja Evelyn. Harga kacang merah kembali mencapai limit up di hari kedua. Ya, Malik paham seluk beluk pasar komoditi, meskipun statusnya hanya sebagai office boy.
Ia tak menemukan bayang-bayang Rosa di antara kerumunan trader. Apakah yang ia lihat butiran air mata mengalir di pipi Evelyn?
Matanya mendadak terbeliak lebar. Layar tv dipenuhi gambar peta yang sangat dikenalnya, karena selama 3 hari 3 malam matanya tak terpejam menatap gambar wilayah tersebut. Sebagian peta itu tertutup persegi empat berupa inset pasfoto wajah seorang gadis.
"....seorang warga negara Indonesia ikut menjadi korban bencana badai taifun yang melanda utara Hokaido dan Honshu, Minggu kemarin. Korban yang bernama Rosa Lasang, usia 26 tahun, tewas ketika taksi yang ditumpanginya tertimpa pohon yang diterbangkan badai dengan kecepatan 160 kilometer per jam. Korban dalam perjalanan menuju hotel setelah menghadiri pernikahan saudaranya, Runi Labuan yang menikah dengan seorang pria Jepang--"
Pandangan Malik mengabur. Tubuhnya jatuh tak bersuara diredam karpet tebal dan musik ending berita televisi, ketika mendadak jantungnya berhenti memompakan darah untuk selamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar