Rabu, Desember 13, 2017

Berteman Bayangan

"Mas, kejadian tadi benar-benar membuatku ketakutan!" suara Linda yang cemas sama seperti waktu mengabari Heru senja tadi lewat telepon.
"Sekarang Liam sudah tidur. Tadi ia menangis karena bertengkar dengan Jeni, teman bayangannya itu..."
Heru melangkah menuju ruang makan dan menemukan situasi seperti lapak-lapak pedagang sayuran di pinggir jalan sehabis diobrak-abrik petugas pamongpraja: pecahan piring dan gelas bertebaran di lantai parket kayu jati, ceceran kuah gulai opor ayam dan sambal bajak bahkan menjejak tembok hijau mentha membentuk lukisan abstrak ekspresionis, sendok garpu yang berbaris meliuk-liuk di bawah meja kursi makan 5 set....
"Ini sudah ke tujuh kalinya teman bayangan Liam mengobrak-abrik rumah kita, mas," bisik Linda yang mencengkeram lengan Heru sehingga menimbulkan nyeri.
Setelah Linda melepaskan cengkeramannya untuk mulai membenahi , Heru menuju meja teh di sisi kulkas dan membuat dua cangkir teh hangat. Earl Grey untuk dirinya dan Chamomile dengan 10 mg Valium cair dalam ampul yang dipatahkannya tanpa suara dari saku celananya untuk Linda.
"Kita harus minta bantuan orang pintar, mas!" suara Linda yang menuntut membuat Heru menoleh. Linda sedang merangkak memunguti sendok dan garpu.
Heru menarik napas panjang dan melepaskannya dalam satu hembusan cepat. Ia mengulurkan cangkir kepada Linda.
"Minum lah teh ini dulu, biar kamu tenang, sayang--"
"Aku tak kan bisa tenang!" nyaris melengking.
"Setelah minum teh, kita akan menemui orang pintar."
Linda meneguk habis tehnya.
"Aku ganti pakaian dulu sekaligus memastikan Liam baik-baik." Linda menaiki tangga ke labtai atas menuju kamar tidur utama.
Heru menggeser layar telpon genggam, mengetuknya beberapa kali sampai menemukan nomor yang dicari, mengetuk 'panggil'. Nada sambung terdengar samar tiga kali dan...
"Heru? Baik-baik saja?" tanya Agil dari ujung sana.
"Tidak. Ini tentang Linda. Kita harus bertemu. Sekarang."
"Datanglah. Aku lagi di rumah sakit, lembur memeriksa laporan."
"Segera."
Sambungan diputus.
Suara langkah Linda menuruni tangga.
"Liam tertidur nyenyak. Mudah-mudahan ia tak terbangun sampai kita pulang nanti," kata Linda sambil menutupi mulutnya yang menguap dengan tangan.
"Aku sudah menghubungi seseorang yang bisa membantu kita. Sebaiknya kita segera berangkat sebelum keburu larut malam." 
Heru menggandeng tangan Linda dan setengah bergegas mereka keluar rumah, mengunci pintu dan berlari menuju mobil Mitsubishi Outlander Sport 2014 berwarna hitam yang masih terparkir di depan garasi. Hujan mulai turun gemulai, berkilau butiran air di bawah sorot lampu jalan.
***
Udara dalam ruang kerja Agil terasa dingin menusuk tulang. Heru bersedekap setelah mengencangkan simpul dasi yang belum dilepaskannya dari pagi tadi.
"Linda tertidur di mobil. Aku memberinya Valium," Heru menjelaskan kepada Agil yang duduk tegak di seberang meja kerja yang tampak chaos dengan tumpukan berkas.
"Bukankah aku memberimu Xanax?"
"Linda menolak minum obat."
Heru menatapnya dengan sorotan mata ganjil.
"Linda tak pernah pulih sejak keguguran empat tahun yang lalu, Gil," ujarnya yang tentu telah diketahui Agil. Agil sahabat karibnya sejak Sekolah Menengah Pertama.
"Semakin hari bertambah parah. Magrib tadi Linda menelponku, mengatakan bahwa teman bayangan Liam mengobrak-abrik ruang makan." Heru menghela napas. Agil diam mendengar tanpa berkata sepatahpun. Dasar dokter!
"Liam, anak kami yang tak pernah lahir...," kembali Heru mendesah, pandangan matanya menerawang jauh. Berkaca-kaca.
Dari luar terdengar suara petir menyambar-nyambar. Hujan bertambah lebat ditandai dengan hantamannya mendera kaca jendela nyaris horisontal disapu angin kencang.
"Aku minta kau merawat Linda di sini. Lakukan yang terbaik untuknya..., untukku." Air mata Heru mulai mengalir sederas hujan malam.
"Kau yakin?" tanya Agil setelah tertegun sejenak.
"Yakin. Cuma kau yang kami percaya, Gil."
Agil menekan tombol di bawah meja kerjanya tiga kali.
Tak lama terdengar suara ketukan di pintu. Dua perawat pria berbadan gempal masuk dan langsung meringkus Heru. Heru yang kaget langsung memberontak dan berteriak-teriak:
"Agil! Apa-apaan ini? Linda tidur di mobil!", kakinya menendang liar mengenai tulang kering salah satu perawat yang memegangnya, tapi tetap tak berhasil membebaskan diri.
"Agiiil! Aku meminta padamu untuk melakukan yang terbaik! Mengapa kau lakukan ini pada ku?" teriakan Heru masih menggema dari lorong yang menuju ruang rawat inap bagi pasien kelas berat.
Ratih asisten Agil masuk membawa segepok dokumen yang harus ditandatangani segera karena besok akan ada pemeriksaan kelengkapan administrasi. Agil mengeluh pendek.
"Akhirnya harus dirawat juga ya, dok?" tanya Ratih penuh simpati. Agil hanya mengangguk lemah.
"Tolong siapkan surat-suratnya. Aku yang akan bertanggungjawab."
Ratih meletakkan tumpukan dokumen di atas tumpukan lainnya.
"Siap, dok."
Ia kemudian melangkah keluar.
Agil termenung murung. Masih jelas dalam ingatannya bagaimana empat tahun yang lalu tubuh Heru dan Linda yang berlumuran darah dengan tergesa-gesa dibawa dengan ambulan ke rumah sakit swasta dari lokasi kecelakaan beruntun di jalan bebas hambatan akibat pengemudi truk kontainer yang mengantuk menghajar mobil-mobil yang antri di pintu keluar tol. Selama delapan jam tim bedah rumah sakit berjuang untuk menyelamatkan nyawa Linda dan bayi yang dikandungnya hanya untuk akhirnya menyerah kepada takdir yang Maha Kuasa. Heru sendiri secara ajaib hanya cedera luar dan gegar otak ringan. Tapi kesehatan jiwanya terganggu, dan hanya Agil yang mampu memahami Heru.
Kini satu-satunya cara menyembuhkan Heru hanya dengan observasi dan terapi penuh di ruang rawat inap. Yang terbaik untuk Heru.
***
Agil mengunci pintu ruang kantornya yang bertuliskan: Dr. Agil Pratama, Sp.KJ, berjalan menuju area parkir melalui lobby Rumah Sakit dimana Klinik Kejiwaan tempatnya bekerja. Satpam yang mengantuk mengangguk-angguk melompat kaget dan segera meraih payung berlogo rumah sakit di sisi kursi jaganya. Hujan masih turun dengan hebatnya. Sesekali kilat menyambar menampakkan pencakar langit yang mengurung rumah sakit itu.
Agil sampai dengan selamat di mobil Toyota Corolla Altis 2003 miliknya di tempat parkir khusus dokter, hanya celana dan sepatunya lembab terkena hujan. Setelah empat kali memutar kunci, mesin akhirnya menyala.
Perlahan-lahan mobilnya melaju ke jalan raya meninggalkan areal parkir rumah sakit yang sepi. Hanya ada sebuah Mitsubishi Outlander Sport 2014 hitam yang terparkir di bagian pengunjung. Dan jika ada yang memperhatikan mobil tersebut saat cahaya terang kilat menyambar, akan terlihat sosok perempuan tertidur lelap di kursi penumpang sebelah depan.

Bandung, 22 Agustus 2015