Rabu, Agustus 28, 2013

Dituduh Seniman


Untuk kesekian kalinya aku dituduh sebagai seniman. Bahkan justru akhir-akhir ini beberapa wanita cantik tega melontarkan tudingan itu padaku.

Mestinya aku bangga diberi gelar terhormat tersebut, tapi aku khawatir malah akan membuat cemar para seniman yang benar-benar tulen! Apa mau gara-gara aku kelak ada yang  ngomong begini:

"Hoalaaaah.....ternyata jadi seniman itu gampang, tho! Liat aja wong edhan itu.... ndak punya karya apa-apa, tapi diakui sebagai seniman!"

Jadi, karena tudingan itu bertubi-tubi datang padaku, aku merasa perlu melakukan klarifikasi. I have the right to remain in silence! Maaf, maksudku membela diri.
Eeeh, bahasa Inggris bela diri adalah martial art. Ada 'art'nya juga, ya?

Klarifikasi ku sebagai berikut:

Karirku sebagai perupa (kalau memang pernah punya karir, nyatanya tidak) tamat pada saat aku mengetahui diriku buta warna (color vision deficiency) 32 tahun silam.
Namun beberapa bulan yang lalu, seorang teman menghasutku sehingga aku percaya bahwa aku sesungguhnya seorang perupa. Buntutnya, jadilah aku sebagai juru urus cabang sekolah melukis miliknya! Dan baru beberapa hari yang lalu, lagi-lagi aku dibujuknya untuk ikut workshop melukis dengan cat minyak. Hasilnya adalah mukaku jadi merah semerah wajah dalam 'lukisan'ku. But.....mana ku tahu merah atau bukan? Tapi lumayan lah.... dapat kaos t-shirt dan sertifikat. Yang terakhir sebagai penambah halaman curriculum vitae yang tak tau mau ku lempar ke mana.

Kesusatraan, terutama puisi, adalah salah satu cinta hidupku. Blog ini dan kronologi facebook menjadi jurnal puisi yang ku tulis. Tapi jujur saja.... siapa sih, yang tidak pernah bikin puisi?
Sebagai prosais, tulisanku lebih tepat dikatakan catatan pemikiran manusia galau yang dicoret kapan kebelet. Seperti tulisan ini. Absurd. Surealis. Abstrak. Ngaco.
Apalagi 'karya' yang ku publikasikan lewat blog atau jejaring sosial hanya di'suka' oleh segelintir kenalan yang harus ku ancam  dulu baru ngasih jempol. Lebih mengenaskan lagi jika disensus berapa manusia yang meluangkan waktu untuk mengisi kotak komentar atas hasil ketukan keyboard laptop-ku.

Sebagai deklamator, adalah masa lalu ku yang manis. Sempat malang melintang di lingkungan sendiri. Menderu debu antara karawang bekasi, binasa di atas ditindas, bertukar tangkap dengan lepas. Tak perlu sedu sedan itu!
Tapi sekarang getar suaraku hanya berguna untuk mengusir kucing garong pencoleng ikan asin yang dijemur di atas awning.

Dalam bidang seni pertunjukan....misalkan akting? Memerankan diriku sendiri saja banyak yang tidak percaya bahwa aku adalah aku. Sebagai buktinya adalah kejadian yang melahirkan judul tulisan ini!

Yang namanya menari, aku hanya mampu bean-style. I mean, I dance like Mr. Bean.
Ujung-ujungnya, kalaupun suatu saat aku harus tampil di atas pentas, peranku pastilah joker atau harlequin dengan lelucon vulgar atau slapstick, bukan komedian yang menghadirkan guyonan cerdas.

Tentu saja musik! The true love of my life! Aku yang dapat menciptakan komposisi dari gemeretak roda kereta api melindas sambungan rel! Menentukan nada absolut deru menyayup suara sember laju sepeda motor ditelan malam atau erangan pendingin ruangan tua yang terengah-engah menebar freon! Memisahkan suara instrumen dalam orkes simponi! Menaksir tempo detak jantung!
Namun aku juga teriris hati karena nyanyian sumbang meleset 1/16 nada, atau cenat-cenut dihajar migrain lantaran lantunan tembang tak berjiwa....
Dan orangtuaku tercinta memupuskan mimpiku karena si sulung ini harus menjadi contoh bagi adik-adiknya. Jadi dokter atau insinyur atau 'sarjana'. Jangan jadi seniman. Seniman tak punya masa depan.
Sehingga aku tak pernah menjadi.

Aku tak menyesali nasib. Tidak dulu, tidak sekarang dan tidak juga nanti.

Hanya saja, jangan tuduh aku seorang seniman.
Terlalu besar kehormatan itu untuk seorang majenun pengelana jiwa.


Banda Aceh, 29 Agustus 2013


Tidak ada komentar: